FOTO. WARTAWAN TEMPO DOELOE. Jongkok kiri Hifnie Effendy, sampingnya Ardin Katoeng. Paling kanan Sjahranie Sjafei wartawan Masjarakat Baroe. Berdiri kanan, AA Adiwijaya (Pacifik). Satu-satunya perempuan Titiek Roelia (pembina). Foto diambil saat perpisahan dengan Pimpinan Umum SK Pembina, Anang Sulaiman (1955). Dk. Oemar Dachlan.
PADA tahun 1920-an Kalimantan Timur yang pada waktu itu lebih dikenal dengan sebutan dalam bahasa Belanda Oast Borneo, sudah mulai mengenal pers atau persurat-kabaran. Yang dimaksud “mengenal” dalam hal ini, bukan hanya karena Kalimantan Timur (Kaltim) sudah tersebar juga koran-koran dan majalah-majalah dari luar daerah, sebagian besar yang terbit di Jawa–tetapi juga Kaltim sudah menerbitkan sendiri mass-media cetak tersebut.
Pada akhir tahun 1922 atau awal tahun 1923 di Samarinda, yang menjadi tempat kedudukan Asisten Residen (Belanda) afdeeling Kutai dan Pasir, terbit 2 surat kabar : Persatoen dan Perasaan Kita.
Saya tidak ingat lagi, yang mana di antara 2 koran ini yang lebih dulu terbit, namun yang manapun di antara keduanya yang terbit lebih dulu, beberapa bulan saja selisihnya dari terbit yang belakangan. Yang jelas, sekitar pertengahan tahun 1923, Samarinda sudah mempunyai 2 koran, yang masing-masing bernama Persatoen dan Perasaan Kita.
Seingat saya, Persatoen mula-mula terbit 10 hari sekali, kemudian mingguan, yang waktu itu lazimnya disebut Weekblad. Sedangkan Perasaan Kita terbit langsung sebagai mingguan. Yang menjadi Directeur & Hoofdredacteur Persatoen ialah Maradja Sayuti Loebis (demikian ditulis ejaan namanya), yang menunjukkan bahwa dia berasal dari Tapanuli.
Persatoen adalah sebuah koran nasional yang berdasar Islam. Selain sebagai wartawan (yang pada zaman penjajahan dulu lazimnya disebut jurnalis). M. Sayuti Loebis adalah juga seorang propogandis Sarekat Islam, sebuah organisasi Islam yang pada waktu itu cabang-cabangnya sudah tersebar di berbagai daerah di Indonesia, juga di Kalimantan Timur.
Dia adalah seorang pembicara ulung yang pidato-pidatonya banyak mengeriti dengan tajam politik penjajahan Belanda, s eperti yang tulisannya dalam Persatoen yang dipimpinya.
Sebelum di Samarinda, Sayoeti Loebis untuk waktu yang singkat tinggal di Banjarmasin.
Berhubung dua tulisan dalam Persatoen terkena persdelict (ranjau pers), M.Sayoeti Loebis, sebagai penanggung-jawabnya oleh Landraad (pengadilan kolonial) di Samarinda dalam sidangnya pada tanggal 22 Desember 1926 dijatuhi hukuman penjara selama 2 tahun 4 bulan, yang harus dijalaninya di penjara Cipinang, Batavia (Jakarta sekarang).
Atas hukuman yang dijatuhkan oleh Landraad Samarinda itu M. Sayuti Loebis naik banding ke Raad Van Justitie di Surabaya, yang memutuskan mengurangi masa hukumannya menjadi 5 bulan saja. Namun tetap harus dijalani di Cipinang.
Dengan dipenjarakannya M. Sayuti Loebis, Persatoen sesudah berusahaan kurang lebih 6 tahun tidak terbit lagi. Sebab sesudah dia keluar dari penjara dia tidak tinggal di Samarinda lagi.
M. Sayuti Loebis, selanjutnya menetap di Jogyakarta dan menerbitkan koran baru (yang juga berdasar islam), sampai dia berpulang ke Rahmatullah pada tanggal 4 Oktober 1943, semasa pendudukan Jepang dalam usia 43 tahun.
Mengenai Perasaan Kita, yang menjadi Directeur & Hoodfdredacteurnya ialah Anang Atjil Kesoema Wira Negara yang berasal dari Kalimantan selatan. Dia adalah pensiunan Jaksa, sehingga di kalangan masyarakat Samarinda, lazimnya disebut Jaksa Anang Atjil.
Perasaan Kita kemudian berganti nama menjada Bendahara Borneo dan kemudian berganti nama lagi menjadi Soeara Rakjat Kalimantan, disingkat SORAK.
Anang Abdul Hamidan lazimnya disebut/ditulis AA Hamidhan (putera AA Kasoema Wira Negara) yang pada permulaan tahun 1930-am menerbitkan harian (dagblad) Soeara Kalimantan di Banjarmasin, memulai karirnya sebagai wartawan di bawah “pimpinan” ayahnya.
Menjelang Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, AA Hamidhan duduk dalam Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia, sebagai satu-satunya wakil Kalimantan.
Kalau saya tidak salah ingat, pada awal tahun 1923, SORAK yang merupakan lanjutan dari Bendahara Borneo dan sebelumnya Perasaan Kita, tidak terbit lagi, menyusul Persatoen yang beberapa tahun sebelumnya sudah “tutup usia”.
Sehingga sejak saat itu Samarinda dan Kaltim umumnya mengalami kevacuum-an dalam persurat-kabaran. tetapi tidak sampai 2 tahun kemudian, yakni pada akhir tahun 1933, di Samarinda terbit surat kabar baru yang bernama Pewarta Borneo. Bersambung
(sumber : tulisan H. oemar Dachlan berjudul Riwayat Singkat Pers di Kalimantan Timur (Sampai berakhirnya kekuasaan Belanda pada akhir tahun 1949).