INI adalah kisah salah seorang sahabat Rasulullah, Abdurrahman bin Auf yang kaya raya, miliarder pembela Islam. Beliau selalu sukses dalam menjalankan bisnis, namun beliau tidak pernah diperbudak harta. Ia melakukan bisnis dengan cara yang halal, bahkan menjauhi perkara syubhat dan hasilnya tidak dinikmati oleh dirinya sendiri.
Selain untuk keluarganya ia memberikan hartanya untuk kerabat, sahabat dan masyarakat. Bisa dikatakan seluruh penduduk Madinah pernah merasakan kekayaan Abdurrahman bin Auf, bahkan Utsman bin Affan yang terbilang kaya pun pernah mengambil bagiannya. Ia berkata “harta kekayaan Abdurrahman bin Auf halal dan bersih. Memakannya akan membawa keselamatan dan berkah.”
Suatu hari Abdurrahman pernah berkata “Aku heran terhadap diriku sendiri. Seandainya aku mengangkat batu, di bawahnya aku temukan emas dan perak.” Begitulah Abdurrahman bin Auf yang selalu berhasil dalam bisnis sampai-sampai dikatakan orang yang ditakdirkan untuk menjadi kaya. Sesungguhnya kekayaan Abdurahman bin Auf juga merupakan ujian dari Allah SWT apakah beliau menggunakan hartanya dijalan yang Allah ridhai atau tidak.
Abdurahman bin Auf adalah satu dari delapan orang yang pertama masuk Islam, ia masuk Islam sebelum Rasulullah Saw menjadikan rumah Arqam sebagai tempat pertemuan para sahabat. Cahaya iman yang dari pertama merasuk ke dalam jiwanya terus terjaga hingga akhir hayatnya.
Sungguh Abdurrahman bin Auf yang sifatnya sarat dengan takwa ini tidak pernah memiliki sifat sombong atas kekayaan yang dimilikinya. Bahkan ia selalu teringat akan pesan dari Rasulullah untuk dirinya “Wahai putra Auf, kamu ini orang kaya, kamu akan masuk surga dengan merangkak. Karena itu pinjamkan kekayaanmu kepada Allah. Allah pasti mudahkan langkahmu.”
Sejak itu ia selalu menginfakkan hartanya di jalan Allah. Walhasil, kekayaannya justru semakin bertambah. Jika kesuksesan bisnis dihitung dari jumlah simpanan dan keuntungan yang diperoleh, maka kesuksesan Abdurrahman bin Auf dihitung dari jumlah kekayaan yang ia gunakan untuk kepentingan perjuangan di jalan Allah. Ia pernah menyumbangkan 500 ekor kuda untuk kepentingan pasukan Islam. Ia juga pernah menymbangkan 1500 kendaraan penuh muatan untuk kepentingan perang. Bahkan sebelum meninggal ia mewariskan 50 ribu dinar untuk kepentingan jihad dan 400 dinar untuk pahlawan perang badar yang masih hidup.
Kekayaannya yang melimpah sama sekali tidak menjadikannya jauh dari takwa kepada Allah SWT, ia selalu menjaga sepertiga malam hidup di rumah. Saat tidak berdagang Abdurrahman menghabiskan waktu untuk beribadah. Ia pun hidup dengan sederhana, bahkan jika ada orang asing melihatnya duduk bersama pembantunya, orang itu tidak akan bisa membedakan yang mana majikan dan yang mana pembantu. Abdurahman bin Auf sungguh menjauhi sifat-sifat buruk yang biasanya timbul kala bersinggungan dengan harta. Haus kekuasaan, kikir, tamak, egois, sombong dan semena-mena tidak satu pun ada dalam sifatnya.
Pernah saat ia puasa, ia diberi makan untuk berbuka. Ketika ia memandang makanan itu tiba-tiba saja dia menangis dan berkata “Mush’ab bin Umair telah gugur sebagai syahid. Ia jauh lebih baik dariku tapi ia dikafani dengan selembar kain yang jika ditutup kepalanya, kakinya kelihatan. Jika ditutup kakinya, kepalanya kelihatan. Hamzah juga telah gugur sebagai syahid. Ia jauh lebih baik dariku. Ia tidak memiliki kafan kecuali selembar kain. Namun sekarang, kita diberi kekayaan dunia begini melimpah, aku khawatir ini adalah pahala kebaikan yang disegerakan.”
Seperti inilah seharusnya orang yang berlimpah harta di dalam Islam. Cahaya iman tidak redup ketika kekayaan yang biasanya mengundang kekuasaan datang menggoda. Keinginan-keinginan yang sebatas memuaskan nafsu belaka selalu tertepis dengan ketaatan kepada Allah. Jauh dari sikap sombong dan sewenang-wenang. Sungguh keteladanan yang luar biasa yang bisa kita pelajari dari Abdurrahman bin Auf, seorang sahabat yang selalu yakin pada janji Allah.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 262 yang artinya, “Orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah, kemudian tidak mengiringi apa yang dia infakkan itu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.”
[Dian Salindri/ SuaraIslam]
BACA PULA :
Kesetiaan Rasulullah pada Khadijah Patut Ditiru
Begini Romantisnya Nabi bersama Para Istrinya
Beginilah Interaksi Rasulullah Bersama Keluarga