LAMPUNG, www.suarakaltim.com – Sungguh pilu nasib AG (18). Dia jadi korban incest atau hubungan sedarah yang dilakukan ayah, kakak dan adik kandungnya sendiri. Disetubuhi ratusan kali, AG yang juga seorang penyandang disabilitas kini trauma.
AG saat itu tinggal bersama ibu dan neneknya. Saat ibunya meninggal karena sakit, M membawa AG tinggal di rumahnya di wilayah Kabupaten Pringsewu, Lampung. Tidak dijelaskan kenapa ayah dan ibu AG pisah tempat tinggal.
Petaka pun terjadi setelah AG baru tinggal di rumah M sekitar dua bulan. Orang yang seharusnya melindunginya itu justru memperkosanya. Perbuatan itu dilakukan beberapa kali, bahkan dilihat langsung oleh kakak AG berinisial (SA) dan adiknya YF (15).
Melihat kelakuan sang ayah, SA dan YF bukannya menolong. Mereka justru ikut-ikutan memperkosa AG. Perbuatan ini dilakukan berulang, setiap hari sejak Agustus 2018. AG dalam sehari bisa beberapa kali dipaksa melayani nasfsu bejat ketiga orang yang seharusnya melindunginya. AG tidak kuasa melawan karena takut.
“Kakaknya (SA) itu sudah menyetubuhi 120 kali dalam setahun, adiknya (YF) 60 kali. Kalau bapaknya (M) sudah berulang kali, saya yakin sudah sering,” kata AKP Edi dilansir dari detikcom lewat telepon, Sabtu (24/2/2019). Namun M saat diperiksa penyidik mengaku baru lima kali menyetubuhi korban.
“Korban merupakan penyandang disabilitas atau ada keterbelakangan mental,” sambung AKP Edi menguatkan alasan kenapa AG tidak kuasa melawan saat diperkosa.
M,SA dan YF memang begitu leluasa memperkosa korban. Menurut AKP Edi, AG selama ini terkungkung di dalam rumah. Keluarga ini pun dikenal sangat tertutup sehingga sulit bagi tetangga untuk mengetahui kasus ini.
Namun lama kelamaan, tetangga curiga dengan aktivitas di rumah M. Terlebih karena melihat kondisi AG yang semakin kurus, jauh berbeda dari saat AG pertama kali datang ke rumah tersebut. Entah bagaimana, akhirnya warga pun tahu bahwa AG telah jadi korban kekerasan seksual oleh M dan kedua putranya.
Salah seorang anggota Satgas Merah Putih Perlindungan Anak setempat pun melapor ke polisi. Polisi pun bergerak atas dasar laporan polisi No.Pol: LP/B-18/II/2019/PLD LPG/RES TGMS/SEK SUKO.
M, SA dan YF ditangkap di rumah tanpa perlawanan Kamis (21/2) sekitar pukul 21.00 WIB. Dari lokasi, polisi menyita sejumlah barang bukti berupa beberapa helai baju dan celana milik M, SA dan YF serta korban. Para terduga pelaku lalu dibawa ke Polsek Sukoharjo untuk diperiksa. Lebih lanjut, kasus ini dan para tersangka dilimpahkan penanganannya ke Unit Perempuan PPA Satreskrim Polres Tanggamus.
Saat diperiksa M, SA dan YF mengakui perbuatannya. Polisi pun langsung menahan dan menetapkan ketiganya tersangka. Mereka dipersangkakan Pasal 76D Pasal 81 ayat (3) UU RI No 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 8 huruf a Jo Pasal 46 UU RI No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau Pasal 285 KUHPidana.
“Ancaman hukuman untuk Pasal 81 ayat 3 UU RI No 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak minimal 5 tahun maksimal 15 tahun ditambah 1/3 dari ancaman maksimal apabila dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan darah. Untuk Pasal 46 UU RI No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ancaman hukuman paling lama 12 tahun. Untuk Pasal 285 KUHPidana ancaman hukuman paling lama 12 tahun,” jelas AKP Edi.
AKP Edi mengatakan, pihaknya masih terus mendalami kasus ini. Baik tersangka dan korban akan diperiksa lebih lanjut pada Senin (25/2) besok dengan mendatangkan ahli dan psikolog. Kondisi kejiwaan M, SA dan YF akan diperiksa terutama YF karena diduga kuat mengalami penyimpangan.
“Keluarga ini ada kelainan sepertinya karena adiknya (YF) ada pengakuan bahwa dia pernah berhubungan juga dengan binatang, kambing, sapi. Nanti mau kami periksakan juga ke psikolog, pemerhati, kenapa keluarga ini bisa seperti ini, kita mau urut ke belakang supaya hal-hal ini tidak terjadi lagi,” kata AKP Edi.
Hal senada juga disampaikan Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Tanggamus Ipda Primadona Laila. Pihaknya terus melakukan pendalaman agar tepat menangani kasus ini.
“Ini lagi coba kita dalami lagi karena bapaknya tahu anak-anaknya itu menyetubuhi anak kandungnya tapi dibiarkan saja. Saling tahu tapi dibiarkan. Waktu itu adiknya yang bungsu ini melihat kalau saudara perempuannya ditiduri bapaknya, dibiarin. Jadi saling tahu mereka ini,” kata Laila saat berbincang dengan detikcom lewat telepon.
Menurut Ipda Laila, secara visual tidak ada keanehan dari tersangka M dan SA. Namun tersangka YF ini memang agak berbeda karena terlihat santai saat diperiksa. Saat ditanya, tidak ada penyesalan terlontar dari mulutnya telah berulangkali memperkosa kakak kandungnya sendiri.
“Memang yang nyeleneh dikit ini yang bungsu, yang kecil. Dia sempat meniduri kambing dan sapi milik tetangga. Kenapa kita bilang agak kelainan karena tidak ada rasa penyesalan. Hanya senyum cengengesan, nggak ada muka menyesal atau merasa malu, merasa berdosa, santai aja. Makanya kita Senin mau melakukan pemeriksaan psikologi, sudah panggil psikolog juga terkait kelakuan tiga pelaku ini,” tutur Laila.
Ipda Dona sendiri merasa sangat prihatin dengan kondisi AG. Menurutnya, AG mengalami keterbelakangan mental. Pihaknya akan terus memonitor kondisi AG.
“Sejauh ini belum kita temukan adanya gejala kehamilan karena korban juga baru mau kita ambil keterangannya Senin besok dengan didampingi ahli bahasa. Korban bukan kategori tunarungu, tunawicara atau tunagrahita tapi dia memang masuk dalam katagori disabilitas karena kalau ditanya harus ada panduan, ada yang mendampingi, jadi bisa jelas,” ujar Ipda Dona.
“Secara visual anaknya sehat. Anaknya putih, cantik malah. Tapi dia keterbelakangan mental. Kurang lebih seperti itu. kondisi korban memang masuk dalam kategori disabilitas. Dia tidak dalam kategori disabilitas tunarungu maupun tunawicara tetapi masih bisa menjelaskan apabila ditanya oleh aparat kepolisian. Mungkin bisa kita katakan kurangnya pendidikan dari si korban sehingga kalau kita lihat secara visual kondisi korban baik, bagus, tetapi dengan pandangan yang kosong. Kami rasa psikisnya mungkin sudah kena,” jelas Dona.
Ipda Dona menambahkan, dirinya berharap pemerintah dan lembaga dan dinas terkait ikut mengawal kasus ini. Dia berharap nasib AG diperhatikan, agar masa depannya jelas. Dia sendiri telah meminta Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia, (LPAI) Seto Mulyadi meluangkan waktu untuk datang memonitor kasus ini.
“Kejadian ini ada wilayah hukum Kabupaten Pringsewu, sementara di sini polresnya Unit PPA baru ada di Polres Tanggamus. Jadi tujuan kita buat narik kasus tersebut supaya lebih intens ditangani oleh unit PPA yang ada di Polres Tanggamus. Sementara kita di P2TP2A kita maupun Teksos kita yang ada di Tanggamus itu berjalan memang aktif. Tapi P2TP2A di sini tidak mau nanti disalahkan kalau mengambil alih kasusnya untuk menyelamatkan korban sementara P2TP2A Pringsewu ada. Harus koordinasi intinya,” kata Dona.
“Nanti kalau berkenan datang ke sini bisa menekankan ke pemkab setempat untuk bisa memberikan jaminan pemenuhan hak-hak korban ke depannya, masa depannya seperti apa. Apakah masuk Dinsos, atau mendapat pelatihan atau bimbingan. Karena ke depan siapa yang mau jamin? Lebih aman dia jadi anak negara saja,” pungkas Dona. [detik,com]