Capres nomor urut 01 Joko Widodo (kiri) dan Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto (kanan) berjabat tangan seusai mengikuti debat capres 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2/2019). Debat itu mengangkat tema energi dan pangan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta infrastruktur. [Antara Foto/Akbar Nugroho Gumay/aww]
Kitab tersebut adalah karangan ekonom Massachusetts Insitute of Technology Daron Acemoglu, dan ilmuan politik Inggris yang menjadi akademisi University of Chicago, James A Rob
www.suarakaltim.com – Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto tampak membawa sebuah buku saat berdebat melawan Capres nomor undi 1 Jokowi , di Hotel Sultan, Senayan, Jakarta, Minggu (17/2/2019).
Buku itu tampak tebal, sehingga mengundang perhatian banyak orang. Sementara Jokowi tak membawa hal serupa.
Untuk diketahui, debat kedua Pilpres 2019 berlangsung di Hotel Sultan Jakarta, Minggu malam, dan dipandu oleh dua moderator yakni Tommy Tjokro dan Anisha Dasuki.
Dalam debat ini, hanya diikuti oleh kedua capres, yakni Jokowi dan Prabowo. Keduanya akan berdebat mengenai persoalan energi, sumber daya alam, lingkungan hidup, pangan dan infrastruktur. Debat dibagi dalam 6 segmen.
Seusai debat kedua, Prabowo mengungkapkan kepada wartawan mengenai buku yang dibawanya tersebut.
”Itu buku yang lagi saya baca. Judulnya Why Nation Fail. Kenapa negara-negara gagal? karena korupsinya banyak. Bukan saya pesismistis lho,” tukasnya.
Buku Prabowo itu berjudul lengkap Why Nations Fail : The Origins of Power, Prosperity, And Poverty.
Kitab tersebut adalah karangan ekonom Massachusetts Insitute of Technology Daron Acemoglu, dan ilmuan politik Inggris yang menjadi akademisi University of Chicago, James A Robinson.
Dalam buku itu dijelaskan, institusi politik yang berkarakter inklusif atau terbuka akan membuat institusi ekonomi inklusif.
Tanda-tanda institusi ekonomi inklusif adalah, adanya jaminan hak milik, kemudahan berusaha, dan akses pasar yang terbuka. Negara juga memberikan dukungan berupa kemudahan mengakses pendidikan dan kesempatan bekerja bagi semua warga.
Sebaliknya, jika institusi politik bersifat ekstraktif, maka kekayaan akan dikuasai oleh segelitir elite penguasa.
Institusi politik ekstraktif yang menyebabkan institusi ekonomi seperti itu juga, ditandai oleh adanya konsentrasi kekuasaan politik pada segelintir orang dan lemahnya penegakan hukum. Pada akhirnya, negara bangsa seperti bakal gagal.
Kedua ekonom itu, dalam buku tersebut, memberikan sejumlah kisi-kisi yang dianggap sebagai obat mujarab agar negara tak gagal.
Bagi para kritikus, teori kedua ekonom tersebut bukan hal baru, melainkan pembaruan teori dari bapak kapitalisme pasar bebas Adam Smith yang menelurkan buku Wealth of Nationspada abad ke-18.
Buku tersebut juga mendapat banyak kritik. Satu kritik yang ditujukan pada buku itu ialah, kedua pengarangnya tak mampu menjelaskan kemunculan institusi ekonomi inklusif yang lahir dari institusi politik ekstraktif seperti di Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura.
Ketiga negara tersebut melahirkan institusi ekonomi yang inklusif justru saat diperintah oleh rezim otoriter. [suara.com}
BACA JUGA
JK Komentar Debat Pilpres: Jokowi Kuasai Masalah, Prabowo Jujur
Ada Dua Suara Ledakan di Dekat Lokasi Debat Pilpres
Jokowi: Menjaga Keseimbangan Harga Pangan Sulit
CEK FAKTA: Jokowi Klaim Tak Ada Kebakaran Hutan 3 Tahun Terakhir, Benarkah?