SAYA mengenal almarhum Nusyirwan Ismail mungkin sekitar 20 tahun lebih yang lalu. Saya lupa tahunnya. Mungkin sekitar tahun 1996 ke atas. Saat itu beliau bekerja di Dinas Perindustrian & Perdagangan Provinsi Kaltim dan saya wartawan di sebuah Koran harian dan koresponden media dari Jakarta. Tapi saat itu kurang begitu akrab.
Kami benar-benar akrab baru sekitar tahun 2010 lalu, sekitar 8 tahun yang lalu saat Pilkada. Saya dipercaya sebagai koordinator Media Center Jaang-Nusyirwan (Jaanur). Tugas media center membuat opini melalui pemberitaan dan tulisan di semua media cetak, terutama media lokal dan media elektronik lokal (TVRI dan radio). Di saat-saat sosialisasi, apalagi di saat kampanye, setiap hari saya bertemu beliau.
Bila tidak mengikuti Pak Syaharie Jaang, saya menemani Pak Nus– saya biasa memanggil beliau begitu—blusukan mulai subuh hingga menjelang tengah malam ke berbagai tempat di Samarinda. Bertemu dan memenuhi undangan masyarakat. Sholat subuh sampai selesai setelah sholat Isya di masjid-masjid yang berbeda di Samarinda. Mungkin sekitar 8 tahun yang lalu fisik masih kuat.
Di tengah malam, kadang-kadang kami sempat berkomunikasi untuk rencana esok hari. Berdiskusi tentang seputar pilkada. Sekitar 8 tahun yang lalu itu, saya tak hanya kenal baik dengan Pak Nus, tapi saya juga kenal baik dengan Hj Sri Lestari atau bu Lies—begitu biasa istri Pak Nus dipanggil. Saya tidak hanya memberitakan kegiatan, beliau juga menganggap saya seperti “konsultan politik”. Saya cukup lama sebagai wartawan di liputan politik dan pemerintahan. Beliau percaya dan menyerahkan sepenuhnya pemberitaan kepada saya. Seperti misalnya, mempercayakan berita atau tulisan “terserah saya” untuk diberitakan besoknyanya, walaupun beliau tidak ada ngomong saat acara pertemuan dengan masyarakat.
Saat sosialisasi lalu kampanye, selain banyak menghabiskan waktu di banyak tempat bersama masyarakat, di waktu-waktu tertentu kami ngopi di sebuah warung sederhana. Di warung Taufik depan Hotel Bumi Senyiur pernah kami singgahi. Beliau juga pernah ke rumah saya. Ada banyak cerita, diskusi tentang seputar permasalahan di Samarinda.
Setelah Pilkada, saya jarang bertemu. Mungkin beliau sibuk. Bisa dihitungi dengan jari tangan, saya bertemu dengan beliau. Saya menemui di ruang kerja beliau di balaikota. Seperti yang dulu, beliau terbuka membicara berbagai hal. Seperti perlu adanya “bedol desa” untuk “membersihkan” pegawai yang “tidak bisa bekerja” di bidang pengendalian banjir. Jadi bukan hanya pejabatnya saja yang dipindah, tapi staf yang bermasalah juga harus dimutasi.
“Mutasi pegawai yang bermasalah itu jangan di situ-situ juga. Pindahkan ke kelurahan-kelurahan yang jauh,’’ tegas beliau, ketika mengetahui banyaknya staf yang “merangkap” menjadi pemborong atau kontraktor. Itu lah salah satu kekesalan Pak Nus. Ada beberapa lagi.
Ketika siang tadi mengetahui kabar beliau telah meninggal dunia, saya terkejut dan seperti merasa kehilangan. Sedih. Saya pernah kenal, berteman dan melalui hari-hari di penggalan waktu suatu masa.
Seperti kawan-kawan yang lain, saya juga ingin menuliskan kenangan saat bersama beliau. Saya juga perlu menyertakan foto.
Di beberapa hardisk eksternal saya, ada ratusan, mungkin seribuan lebih foto-foto semasa sosialisasi dan kampanye Pilkada Walikota-Wakil Walikota Samarinda tahun 2010 lalu. Saya mencari-cari yang ada saya saja, saat bersama beliau, di antara seribuan lebih foto. Saya katakan lebih seribuan foto, karena dalam satu hari ada seratusan lebih foto dari tustel digital dalam beberapa kali kegiatan selama sosialisasi dan kampanye. Di bawah ini ada beberapa foto di antaranya.
Inilah bagian potongan kenangan saya ketika mengenal Pak Nus. Bila dituliskan tak cukup ribuan kalimat. Foto-foto beliau pun cukup banyak.
Selamat jalan Pak Nus. Semoga Pak Nus tenang di sisi Allah SWT, aamin. Saya juga mendoakan, semoga Ibu Lies, anak-anak, ibunda Pak Nus serta keluarga besar lainnya, tetap sabar, ikhlas dan selalu mendoakan beliau, aamin, aamin, aamin yaa robbal alamin.
Akhmad Zailani