Dalam wacana sejarah umat manusia, yang saya tahu hanya ada satu orang yang melakukan tindakan kriminal, bahkan pembunuhan, yang tanpa kausalitas sosial dan tidak dalam situasi peperangan-namun dilegitimasi sebagai kebenaran, bahkan oleh Tuhan. Ialah Nabi Khidhir, salam Allah untuknya. Pernah bersama Kiai Kanjeng saya ngrasain duduk di tempat Nabi Musa duduk uzlah bertapa, puncak Gunung Tursina atau Jabal Musa, 8 jam perjalanan dari Gereja Catherine, naik dua kali separuh lingkaran gunung, baru tancap ke puncak pengembaraan murid Khidhir itu. Tak ada alinea untuk mengisahkan dahsyatnya gunung itu serta peristiwa amat monumental yang pernah dikandungnya antara Musa dengan Allah sendiri. Tetapi intinya, di puncak gunung itu, sesudah Musa dipingsankan oleh Tuhan gara-gara tak sanggup memandang wajah-Nya, ia diperintah turun gunung kemudian jalan kaki sejauh sekitar 1.300 km agar berjumpa dengan Kanjeng Khidhir, calon profesornya. Panjang cerita tentang sok pintarnya Musa ini.
Maka ia pun harus di-plonco oleh Pendekar Segala Pendekar. Dan begitu Musa sowan kepada beliau yang wajahnya ditabiri kerudung itu, Musa dipersyarati “Silakan ikut aku, tapi jangan bertanya apa-apa!” Semua orang Islam tahu kejadian- kejadian antara mereka berdua. Khidhir membocorkan kapal yang mereka naiki, kemudian mencekik anak kecil, terakhir menegakkan pagar rumah seseorang. Ketiga-tiganya Musa tidak lulus. Musa bertanya terus: kenapa kapal dibocorkan, kok anak itu beliau bunuh, wong nggak disuruh dan nggak dibayar kok mau-maunya memperbaiki pagar itu. Tentulah bukan karena Musa murid yang jelek. Beliau bertanya karena begitulah naluri beliau sebagai pejuang kebenaran, sebagai aktivis heroik, sebagai penegak HAM, dan pasti juga karena memang demikianlah kewajiban seorang Rasul. Seandainya tiga tindak kriminal Khidhir itu terjadi di wilayah NKRI, pasti beliau sudah ditangkap oleh petugas kepolisian. Minimal menjadi buron, terutama karena membunuh anak kecil. Menariknya, karena atas kasus Khidhir, “Komisi Orang Hilang” beserta seluruh LSM, insyaallah kompak dengan pihak pemerintah.
Saya tidak memperoleh data apakah anak kecil itu bernama Munir atau bukan. Kalau benar Munir, pasti complicated karena Khidhir jelas bukan bagian dari kekuasaan, wilayah polisi modal, atau jaringan intelijen Kerajaan Fir’aun. Tapi pasti pembunuhan Khidhir atas anak kecil itu sangat ramai menghiasi media massa. Pasal utamanya karena pihak yang terbunuh itu bukan bagian dari golongan Islam. Kalau ada seribu orang Islam dibunuh, itu bukan berita, dibanding satu orang bukan Islam dibunuh. Lebih berita lagi kalau orang Islam yang membunuh. Seperti ada perjanjian dan logika tak tertulis bahwa kalau pihak Islam membunuh, itu pelanggaran HAM. Sebaliknya kalau pihak Islam dibunuh, bukan pelanggaran HAM. Masalahnya, di zaman Khidhir ini kata Islam belum popular, belum menjadi ikon negatif seperti sekarang, serta belum menjadi kambing hitam dari berbagai kesalahan berat pelanggaran HAM, pembangunan senjata pemusnah massal, lambang ketertinggalan, kebodohan, kemiskinan, dan kekumuhan. Secara yuridis, mudah menjaring Baginda Khidhir karena bukan bagian dari struktur kekuasaan Fir’aun.
Secara politik juga gampang mebulan-bulani Khidhir karena ia bukan bagian dari kemuliaan Amerika Serikat yang berjuang keras menyelamatkan umat manusia di seluruh permukaan bumi. Secara militer dan intelijen juga tidak ada kesulitan memperdayai Khidhir karena ia single fighter, tidak punya umat 30 juta, tidak didukung oleh Pasukan Berani Mati, juga karena wilayah subversinya sangat jelas dan mudah ditengarai, yakni sekitar pantai-pantai dan seputar Laut Tengah, terutama Majma’al Bahrain: pertemuan dua arus laut. Sesungguhnya banyak sekali kandungan filosofi, sumber hikmah dan cakrawala wacana yang bisa diungkap dari adegan-adegan singkat Khidhir ini. Tetapi dalam tulisan ini hanya saya fokuskan pada posisi politis, sosial, dan kosmologis Khidhir—yang sedemikian rupa sehingga beliau tidak bisa disentuh oleh militer, kepolisian, hukum, pengadilan HAM, kekuasaan negara-negara atau kerajaan apapun. Bahkan tidak bisa dijaring atau dipersalahkan oleh ilmu dan wacana peradaban apapun dalam kehidupan umat manusia. Khidhir menjelaskan kepada Musa bahwa dengan rusaknya kapal itu, penumpangnya terlindung dari rencana perampokan para bajak laut yang sebenarnya sebentar lagi akan terjadi. Anak kecil itu ia bunuh karena kelak ketika ia besar akan menjadi kafir kriminal, sehingga bapak dan ibunya akan kalah dan ikut menjadi kafir kriminal. Dengan dibunuh, anak itu akan masuk surga, dan bapak-ibunya juga batal menjadi kafir kriminal.
Pagar ia tegakkan untuk menghindarkan kecurigaan para kapitalis yang beriktikad merebutnya karena di bawah pagar itu terdapat simpanan harta luar biasa besar melimpah dari masa silam. Pengetahuan futurologi Khidhir, tinda-kan radikalnya, segala jenis kriminalitasnya, serta kesaktian pribadinya yang tak terlawan bahkan oleh Nabi Besar Musa As adalah bukan wacana sosial hori-zontal, melainkan sirrullah wa biidznillah, berada dalam lingkup rahasia dan perkenan Allah. Negara, hukum, moral, peradaban dan segala sistem sosial manusia tidak memiliki daya sentuh atasnya. Akses manusia biasa seperti kita, termasuk seluruh pelaku sejarah peradaban umat manusia, hanya satu: believe it or not, take it or leave it. Maka nabi dengan nubuwwah, rasul dengan risalah, bahkan mungkin waliyullah dengan walayah: tidak punya tempat untuk hidup di alam sistem peradaban modern, tidak punya alamat di skala berpikir modernisme, tidak terdapat di sebelah manapun dari peta ilmu dan wacana modernitas.
Dunia modern dan sistem nilai negara-negara modern sangat sempit, tak akan sanggup memuat keleluasaan cakrawala hakikat hidup yang sesungguhnya. Bagi mata pandang negara dan manusia modern, Khidhir itu sesat. Pelaku demokrasi dan pluralisme pun merasa tidak aman olehnya. Ya, kalau Khidhir cuma kasih taushiah dan melakukan pembaiatan. Kalau lantas ia mulai merusak-rusak kapal, pesawat, gedung-gedung, dan melakukan pencekikan dan pembunuhan: Amerika Serikat kampiun demokrasi pun akan mengerahkan FBI dan CIA-nya. Kalau Khidhir melakukan tiga kriminalitas itu di wilayah kelautan dan darat NKRI, pasti ditangkap. Dan kalau benar ia Khidhir, maka sepuluh ribu tentara, polisi, dan intelijen tak akan sanggup menangkapnya. Apalagi sampai menyentuh kulitnya, mencekik lehernya dan memasukkannya ke sel tahanan atau penjara. []
Seputar Indonesia, 9 November 2007