JAKARTA, SUARAKALTIM.com – Kesepakatan Kementerian Dalam Negeri dengan Kejaksaan Agung, Polri dan Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP), terkait penghentian perkara korupsi pejabat daerah yang mengambilkan uang korupsi, menuai kritik keras.
 
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, kesepakatan itu berbahaya lantaran mendegradasi tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crime menjadi tindak pidana biasa saja.
 
“Berbahaya karena dipastikan akan melahirkan semangat ‘korupsi dulu, kembalikan kalau ketahuan’,” ujarnya di Jakarta, Jumat (2/3/2017).
 
Ia mengatakan, bila kasus Tipikor dihentikan lantaran kerugian negaranya dikembalikan, maka itu jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 4 Undang-undang Tipikor.
 
Pasal tersebut menyatakan dengan gamblang bahwa pengembalian kerugian negara dalam kasus Tipikor tidak menghapuskan tindak pidananya.
 
 
Namun, Abdul mengungkapkan bahwa pengembalian kerugian negara bisa berpengaruh terhadap besar atau kecilnya hukuman yang diputuskan oleh hakim dalam persidangan.
 
Bila kasus Tipikor dihentikan atas dasar kesepakatan itu, maka kata Abdul, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa mengambil alih kasus tersebut.
 
“KPK sebagai lembaga suvervisi penanganan kasus Tipikor punya kewenangan mengambil alih jika dalam penanganan korupsi oleh lembaga lain mengandung korupsi,” kata dia.
 
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mengkritik kesepakatan Kementerian Dalam Negeri bersama dengan Kejaksaan Agung, Polri dan Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) karena bertentangan dengan UU Tipikor.
 
Rabu (28/2/2018) lalu, Kemendagri, Kejagung, Polri, dan APIP menandatangani kesepakatan bersama dalam penanganan aduan korupsi di daerah.
 
Kabareskrim Polri Komjen Pol Ari Dono Sukmanto mengungkapkan, perkara korupsi oknum pejabat pemerintahan daerah bisa diberhentikan bila pejabat tersebut mengembalikan uang korupsinya.
 
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, kesepakatan itu tidak ditujukan untuk melindungi tindak pidana korupsi atau membatasi aparat hukum dalam melakukan penegakan hukum dalam kasus korupsi.
 
“Pendekatannya adalah mengedepankan hukum administrasi sehingga penanganan pidana merupakan ultimum remedium (upaya akhir) dalam penanganan permasalahan penyelenggaraan pemerintahan daerah,” kata Tjahjo dalam keterangan resminya.
 
KPK menduga uang suap dari kontraktor proyek jalan akan dipakai mendanai aktivitas politik terkait pilkada. 
 
 
sk-012/Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Bahaya! Korupsi Dulu, Kembalikan kalau Ketahuan “.