Akrobat Kutu Loncat dalam Sirkus Demokrasi

 

.

Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Anggota Jurnalis Islam Bersatu (JITU)

 

Democracy is the art and science of running the circus from the monkey cage – H.L. Mencken (1880 – 1956)

www.suarakaltim.com –Pleasecall me cebong. Hari ini saya menjadi cebong. Silahkan panggil saya cebong,” demikian Kapitra Ampera mendeklarasikan pilihan politiknya untuk hinggap di PDIP baru-baru ini. Kapitra, Ali Mochtar Ngabalin yang ketiban rezeki jabatan komisaris, dan mungkin sekian banyak lainnya adalah figur yang meloncat dari satu kelompok (politik) ke kelompok lainnya.

Fenomena kutu loncat sebenarnya bukan hal baru. Terlebih dalam sirkus politik Indonesia saat ini. Mantan gubernur DKI, terpidana kasus penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) adalah kutu loncat dari Golkar, kemudian ke Gerindra. Saat menjabat menjadi gubernur, Ahok justru melontarkan celaan ketidakpercayaan pada partai-partai politik. Namun saat hendak mencalonkan kembali menjadi gubernur, ia dengan senang hati merangkul partai-partai politik.

Fenomena kutu loncat politik ini semakin menakjubkan dengan adanya biaya transfer layaknya seorang pemain sepak bola. Bukan Mbappe, Neymar atau Ronaldo, namun Lucky Hakim yang menjadi bintang transfer tersebut. Lucky Hakim yang awalnya dari PAN mengakui bahwa Nasdem kemudian memberikan uang sebesar Rp. 5 milyar dan bantuan logistik Rp 2 milyar agar bisa membantu Nasdem di daerah pemilihan Jawa Barat VI.

Selama pemilihan kepala daerah 2018 kemarin, kita pun disuguhi atraksi-atraksi loncat partai, lintas basis massa pemilih, dan koalisi-koalisi yang sangat cair. Fenomena ini sesungguhnya akan terus berlanjut seiring dengan semakin memudarnya pengaruh partai. Partai hanya dianggap sebagai kendaraan (umum) politik. Maka jika hasrat atau tujuan telah atau tidak terpenuhi, hajat itu bisa dipenuhi dengan mudah menyeberang ke partai lain.

Program, visi dan terutama ideologi partai serta politisi tak lagi penting untuk dipertimbangkan. Seorang figur bisa saja yang selama ini bersolek sebagai figur Islami tiba-tiba hinggap di partai sekuler yang punya penolakan terhadap berbagai perda yang menyerap aspirasi umat Islam. Begitupun sebaliknya, partai sekuler beserta tokohnya tiba-tiba bisa berdandan islami. Mendadak berkerudung, mendadak berpeci atau bersurban, jika mendekati masa-masa pemilu. Bahasa-bahasa pro-sekularisme ditinggalkan dengan menyuguhkan simbol-simbol Islami. Partai-partai berbasis massa Islam tiba-tiba tak lagi malu untuk menyuarakan usangnya politik Islam.

Pragmatisme para aktor politik dapat dibaca sebagai satu gejala menyurutnya ideologi dalam politik. Pada awal-awal revolusi Indonesia hingga tahun 1965, politik aliran begitu penting dan mendominasi. Partai-partai dibagi beberapa ideologi seperti Islam (Masyumi, NU, Perti, PSII), Komunis (PKI), Nasionalis-Sekular (PNI) dan lainnya. Massa program partai terlihat jelas perbedaannya. Partai politik Islam, meski terdiri dari beberapa partai, tetapi kompak menyuarakan ideologinya, yaitu Islam sebagai dasar negara pada sidang konstituante.

 
 

Munculnya rezim orde baru kemudian melakukan politik deideologisasi partai-partai. Semua dikubur atas nama pembangunan (developmentalisme). (firman Noor : 2014) Rezim Soeharto melakukan penguburan ideologi politik dengan beberapa kebijakan seperti peleburan partai-partai politik, hingga hanya menjadi tiga, PDI, PPP dan Golkar. Lebih lanjut, kebijakan massa mengambang diterapkan sehingga partai-partai politik tak lagi mampu menembus massa akar rumput dibawah. Melepas mereka dari konstituennya. Sehingga rakyat dijauhkan dari politik (ideologis). Jurus maut terkahir rezim orba dengan melakukan penggusuran ideologi lewat pemaksaan Pancasila sebagai azas tunggal, bukan saja kepada partai, tetapi juga kepada ormas-ormas termasuk ormas Islam.

Euforia sempat melanda partai-partai saat reformasi. Partai-partai bermunculan. Tetapi sistem politik akhirnya memaksa partai-partai bersikap pragmatis. Sikap pragmatis partai-partai ini dapat dilihat dari hasil penelitian Firman Noor (2014) dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan beberapa tanda pragmatisme partai ini antara lain; ideologi tak lagi menjadi sesuatu yang penting. Partai-partai bersikap permisif dan serba boleh dalam berkoalisi.

Gerak langkah partai-partai lebih banyak digerakkan oleh upaya untuk bertahan hidup dan kepentingan untuk terus berada di dalam kekuasaan. Cara- cara yang pragmatis ditempuh bahkan mereka rela untuk melakukan ‘migrasi ideologi atau perpindahan sikap idelogis. (Firman Noor : 2014)

Akhirnya peran ideologi hanya berjalan (atau berjualan tepatnya) di masa elektoral saja. Beberapa partai pada masa-masa menjelang pemilihan menunjukan kecenderungan dan geliat pergerakan yang menjadikan ideologi sebagai patokan kebijakan dan manuver politiknya. partai-partai tetap berupaya menunjukkan simbolisasi sebagai penerus partai masa lalu, namun kenyataannya idelogi bukanlah penentu kebijakan. Simbol dan nuansa ideologi berhenti saat berbagi kekuasaan. (Firman Noor : 2014, Ambardi : 2009)

Tak bisa dipungkiri, ongkos politik yang mahal turut mendorong partai dan politisi bersikap pragmatis. Sistem saat ini memaksa para kandidat untuk mendekati masyarakat secara langsung. Tak ayal diperlukan berbagai alat kampanye untuk mengenalkan sang kandidat. Uang politik yang mahal ini kemudian beriringan dengan politik uang yang banal.

Kandidat seringkali dibebani biaya untuk mendanai berbagai aktivitas kampanye, fee untuk pakar marketing politik, biaya membangun sarana-sarana fisik, pencitraan, dan biaya lainnya. (Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusoff L : 2010). Ini belum termasuk biaya politik uang semacam serangan fajar atau bagi-bagi uang tanpa malu dalam aksi kampanye terbuka.

 
 

Beban biaya tinggi semacam ini menjadi alasan bagi para kandidat untuk mencari investor politik untuk mendanai berbagai biaya tadi. Investor politik ini akan mendapat imbal balik berupa berbagai hak istimewa, baik perlindungan politik maupun ekonomi). Lewat otoritas kandidat yang terpilih menjadi kepala daerah para investor politik akan mendapat proyek melalui tender fiktif. (Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusoff L : 2010)

Agustino dan Yussof, merujuk pada kajian Harris-White menyebutkan komitmen para kandidat kepada pengusaha (investor politik) menciptakan beberapa komitmen, antara lain; manipulasi untuk kepentingan penguasa, pemaksaan swastanisasi aset-aset pemerintah, dan berlakunya transaksi bawah tangan antara penguasa dan pengusaha dalam tender pemerintah.

Bertaburannya kepala daerah yang belakangan ini tertangkap tangan oleh KPK menjadi bukti betapa politik elektoral di Indonesia tak lain hanya ajang kongkalingkong belaka. Pada masa orde baru, para figur lokal hanya menjadi kaki tangan rezim Soeharto untuk menyedot kekayaan (stationary bandits). Kini di era otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah langsung, para bandit ini menjadi pemain utama (roving bandits). Mereka menjadi pemain utama perampokan dan perampasan kebebasan sipil dan hak politik warga (Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusoff L : 2010)

Para roving bandit yang jauh dari pusat sorotan media nasional di ibukota bertindak lebih mengerikan. Daerah-daerah yang memiliki kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) menjadi komoditas politik hitam mereka. Konsesi-konsesi kekayaan SDA menjadi dagangan bagi penguasa untuk ditawarkan pada pengusaha ataupun korporasi.

Izin untuk hak pengelolaan hutan dan tambang kepada pengusaha frekuensinya naik menjelang pilkada. Modus ini dibantu dengan tidak terkontrol dan transparannya tata kelola hutan dan SDA di Indonesia. Menurut Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), menjelang Pilkada 2018 kemarin, ada 171 izin tambang diberbagai daerah diobral. 120 izin di Jawa Tengah, 34 di Jawa Barat sisanya di Lampung, Sumsel hingga NTT.

Di Kalimantan Barat misalnya, dua wilayah yang kaya sumber daya hutan, yaitu ketapang dan Kutai Barat menjadi permainan para bupati. Lewat modus rent seizing, para bupati mengandalkan pendanaan dari pungutan dalam pengurusan perizinan alih fungsi lahan untuk mepertahankan kekuasaan. Atau modus lain, izin batubara juga diberikan pada kerabat bupati, kemudian dijual kepada perusahaan lain ketika Sang Bupati memerlukan dana. (Foto: Kapitra Ampera, Ali Mochtar Ngabalin, TGB Zainul Majdi, Yusuf Supendi dan Lucky Hakim adalah sekian nama yang menjadi kutu loncat dalam pesta demokrasi 2018-2019).

Baca sambungannya  http://www.suarakaltim.com/suara-kaltim/studi-icw-dalam-merebut-kursi-menguras-bumi/