Oleh: Muhammad Amin Al-Uighuriy
(Mahasiswa Pasca Sarjana Uighur di Turki)
www.SUARAKALTIM.com– Pada 27 Mei 2017, pemerintah China memberitakan kabar wafatnya salah seorang ulama besar Uighur, syaikh Abdul Ahad bin Bara’ah Al-Makhdum. Pewaris Nabi ini menghembuskan nafas terakhirnya di penjara rezim china pada usia 87 tahun. Berita duka ini baru tersebar setelah enam bulan kesyahidannya dari penjara rezim China yang menindas dan merampas hak kaum muslimin Uighur.
Ini bukanlah hal baru bagi syaikh, sebelumnya ia telah keluar masuk dari penjara rezim sebanyak lima kali selama kurun waktu 30 tahun. Penangkapannya terakhir adalah tahun 2017 dan satu bulan dipenuhi dengan siksaan yang brutal. Penyiksaan brutal itulah yang membuat syaikh menghembuskan nyawa, selain bertindak kejam dalam penyiksaan ternyata rezim Cina juga membungkam pemberitaan hingga setengah tahun baru tersebar kesyahidannya.
Pembunuhan ulama, da’i dan aktivis adalah sebuah fenomena yang nyata terjadi dan dilakukan oleh pemerintah Cina. Proyek ini memang ditujukan untuk menghambat kemajuan, perkembangan dan intelektualitas masyarakat Uighur. Sebagai perbandingan kasus pembunuhan salah seorang akademisi Palestina, Dr Fadi Al-Batsh dan seorang insinyur penerbangan Tunisia, Muhammad Zouari yang pemberitaannya begitu membahana di media sosial.
Tapi tahukah kita bahwa apa yang terjadi di Turkisan lebih mengerikan, lebih besar dan lebih buruk dari itu? Turkistan Timur adalah sebuah negara Islam yang telah dirampas tangan-tangan kotor, jahat dan kejam. Turkistan Timur adalah medan jihad terpenting dan garis pertahanan kaum muslimin di masa lalu. Namun hari ini penduduknya terlupakan selama hampir satu abad, mereka adalah orang Uighur.
Turkistan, Negeri yang Terlupakan
Rezim Cina telah melakukan “pembersihan” sejumlah ulama dan da’i. Syaikh Abdul Ahad adalah satu dari sekian banyak korban kebiadaban dan korban yang terakhir sampai saat ini. Syaikh tinggal di penjara selama hampir tiga puluh tahun dan kematian menghampirinya ketika beranjak usia delapan puluh tujuh tahun karena siksaan di penjara.
Apakah anda tahu bahwa Turkistan Timur adalah sebuah negara Islam yang besar wilayah dan populasinya. Dibebaskan Bani Umayah oleh komandan Qutaibah bin Muslim Al-Bahiliy dan sejak saat itu menjadi negeri Islam yang dipenuhi dengan ilmu pengetahuan dan keimanan hingga dijajah oleh komunis Cina sejak tahun 1949.
Secara geografis, Turkistan terletak di jantung Asia dan dikenal dalam literatur Islam sebagai negara dibalik sungai (ma waroan nahri) dinisbatkan pada sungai Sihun dan Jihun. Setelah Islam masuk wilayah ini, beberapa tempat dibangun oleh beberapa negara Islam, diantaranya Al-Qarakhoniyah, As-Sa’idiyah, Al-Ghaznawiyah dan Al-Khawarizmiyah. Muncul juga salah seorang tokoh besar yang benama Ahmad Yuknakiy, ilmuwan matematika dan fisika Al-Biruni, penemu ilmu geografi dan peta yaitu penulis buku “Diwan Al-lughah At-Turk” Mahmud Al-Kashghariy, Al Farabi dan Yusuf Al Hajib. Dalam bidang Fiqih, Al-Murginani serta dalam ilmu balaghah, Yusuf As-Sakaki dan lainnya.
Pemerintahan komunis Cina telah membunuh lebih dari enam puluh juta muslim Uighur sejak menduduki wilayah Turkistan. Jumlah ini sepuluh kali lipat dari para syuhada Bosnia Herzegovina, Iraq, Afghanistan, Chechnya dan Palestina. Pada 1952, rezim mengeksekusi seratus dua puluh ribu muslim di Turkistan Timur, sebagian besar mereka adalah para ulama di bidang syariah, sebagaimana yang dikatakan oleh gubernur Turkistan saat itu, Burhan Shahidi.
Antara 1949 dan 1979, komunis Cina kembali beraksi dengan merubuhkan sekitar tiga belas ribu masjid. Dari tahun 1997 hingga detik ini, Cina menutup sepertiga dari seluruh masjid yang ada. Mereka mengklaim bahwa masjid yang dirobohkan berdekatan dengan sekolah negeri dan kantor pemerintahan atau berada di ranah-ranah publik. Siapa yang berkunjung ke Turkistan akan melihat banyaknya masjid yang dihancurkan menaranya dan dirobohkan.
Pemerintah komunis mengubahkan menjadi taman hiburan, klub malam dan kantor pusat pengubahan budaya di Turkistan Timur. Semua hal yang dilakukan rezim intoleransi ini untuk mengubah identitas komunitas muslim menjadi komunis. Bahkan beberapa masjid yang dihancurkan diubah menjadi kantor partai komunis atau penjara untuk tahanan. Bukan hanya masjid, rezim juga membakar lebih dari tiga ratus tujuh puluh ribu madrasah Al-Quran dan madrasah Ulum Syar’iyah hingga mengubah Turkistan menjadi sebuah kota yang benar-benar berbeda dari sebelumnya.
Tiga tahun lalu, rezim Cina melakukan penangkapan intensif sejumlah ulama, da’i, imam masjid, pemuda serta pemudi Uighur dan menjebloskannya ke kamp-kamp pencucian otak yang mereka namakan “Pusat Pendidikan Politik dan Pengubahan Ideologi” dengan tujuan untuk menghapuskan nilai keislaman di daerah tersebut. Yang lebih memprihatinkan adalah otoritas penjara memaksa tahahan setiap hari untuk mengucapkan kalimat kufur dan bernada ateis.
Mereka dipaksa mengatakan bahwa Allah tidak ada dan Islam adalah agama takhayul. Siksaan ditimpakan pada tahanan dengan cara yang paling sadis dan keji hingga mereka melepaskan keimanan dari sanubari. Saking gencarnya tindakan ini, keluar perintah dari rezim untuk menangkapi dan membunuhi para ulama, pengusaha, pemilik modal dan pabrik, akademisi, seniman dan sesiapa yang bersuara di dalam wilayah Turkistan. Tindakan ini adalah upaya untuk membungkam para penuntut hak mereka dan mencegah mereka berbicara ke dunia luar.
Statistik terbaru dari rezim Cina sendiri menunjukkan bahwa banyaknya penangkapan yang terjadi, di wilayah Khotan 40%, wilayah Kashgar 30% dan di wilayah lainnya 10%. Semua penduduk yang ditangkap dijebloskan ke kamp-kamp konsentrasi tanpa memandang jenis kelamin. Di Turkistan Timur ada 17 provinsi seperti Khotan dan Kashgar dan 84 kota. Data ini bukanlah mengada-ada, akan tetapi data resmi yang dirilis oleh pegawai resmi dan situs rsmi rezim Cina.Sengaja dipublikasikan agar membuat warga merasa takut dan menuruti apa kemauan rezim.
Setiap hari pemerintah memberikan kebijakan baru yang bertujuan untuk menghapus identitas keislaman, budaya Uighur diganti dengan cinaisasi. Di antaranya kebijakan menikahkan wanita-wanita Uighur dengan orang Cina, kebijakan persaudaraan antara orang Uighur dengan para pekerja Cina, penunjukan pegawai Cina di setiap keluarga muslim yang hidup sehari-hari bersama mereka, makan dan minum di satu rumah, mengumpulkan para imam masjid yang tidak ditangkap di pusat kebudayaan dan memaksa mereka untuk menari di depan khalayak.
Kampanye “sterilisasi” ulama telah dilakukan komunis Cina pada sejumlah pewaris Nabi, dimana yang terakhir adalah syaikh Abdul Wahid Al-Makhdum. Seorang ulama besar yang hidup di dalam penjara selama tiga puluh tahun dan ketika umurnya menginjak delapan puluh tujuh tahun kematian menghampirinya karena beratnya siksaan. Berita kematian baru diketahui pihak keluarga setelah enam bulan berlalu. Syaikh benar-benar telah menghabiskan hidupnya untuk berjuang fi sabilillah dan menghabiskan hidupnya di dalam penjara. Sebuah penjara dimana tidak keluar seseorang darinya pasti dalam keadaan tidak bernyawa, gila, anggota tubuh rusak atau hilang tidak diketahui rimbanya.
Sungguh syaikh hidup selama delapan puluh tujuh tahun merasakan penderitaan yang bertubi-tubi di penjara. Juga beratnya jihad di jalan Allah memimpin umat-nya untuk mempertahankan keimanan dan izzatul Islam wa muslimin. Slogan yang masyhur darinya adalah.
“لا وجه لقوم بفخر شهدائهم حتى ينتصروا على أعدائهم”
Artinya, “Tidak ada pilihan bagi suatu kaum di hadapan para syuhada mereka kecuali mereka harus menang atas musuh-musuh mereka.”
Inilah imam Al-Muwahhidin di Turkistan Timur yang menjadi pelopor reformasi, mengentaskan kebodohan dan keterbelakangan, dialah syaikh Abdul Ahad Bara’ah Al-Makhdum
Lahir pada tahun 1931 di kota Qarabash di Provinsi Khotan, Turkistan Timur selatan di desa Dar As-Sakal. Ayahnya dikenal sebagai seorang ulama yang saleh begitu pula ibunya. Abdul Ahad tumbuh di dalam keluarga berpendidikan. Masa kecilnya di Khotah membuatnya bergelimang ilmu pengetahuan. Saat itu memang provinsi itu dikenal sebagai pusat ilmu sya’iyah dan pergerakan jihad. Ia belajar di sebiah madrasah yang paling masyhur di sana antara tahun 1950-1958. Setelah masa pendidikannya selesai, ia mulai mengajarkan apa yang ia pelajari selama ini. Ketika masa mengajar berjalan baru enam bulan, komunis Cina memberikannya peringatan berkali-kali dan berujung pada penangkapan pada tahun 1958 dan divonis kurungan dua belas tahun penjara.
Saat itu memang sedang digencarkan gerakan “pembersihan” ilmuwan dan guru pengajar, dan Abdul Ahad langsung merasakan dampaknya. Ulama kelahiran Qarabash ini disiksa dengan keji dan tidak manusiawi. Setelah masa tahanan usai, Abdul Ahad tidak begitu saja dilepaskan, ia kembali dipaksa kerja keras. Seolah memang pemerintah tidak rela guru-guru Uighur ini bebas dan kembali pada masyarakat. Maka, jalan satu-satunya adalah dengan melarikan diri. Memang, ia lolos dari kerja paksa yang diterapkan pemerintah. Namun, ia kembali ditangkap dan ditambah hukuman kurungannya dua tahun. Sehingga total hukumannya menjadi empat belas tahun penjara hanya karena menjalankan tugasnya sebagai guru, yaitu mengajarkan ilmu.
Tahun 1979, Abdul Ahad kembali ditangkap dan dibebaskan dua tahun kemudian. Kemudian memasuki tahun milenium, ia kembali ditangkap pada 2001 bersama anaknya Abdur Rauf, mereka berdua dibebaskan setelah menjalani tahanan rumah.
Pada era 80-an. setelah ia menjalani masa penahanan kedua, situasi politik memang sedikit meningkat. Abdul Ahad muncul di tengah masyarakat sebagai murabbi generasi baru. Ia mulai mengajar dan mendidik muridnya dengan sembunyi-sembunyi. Memilih jalan pertengahan di segala urusan dan memanfaatkan kesempatan sebaik-baiknya serta menyibukan diri dalam hal kebaikan. Dengan sekuat tenaga mengibarkan bendera kebangkitan, melawan kebodohan dan keterbelakangan di saat hak-hak untuk mendapat pendidikan dikekang oleh komunis Cina.
Abdul Ahad dikenal di kalangan masyarakat Uighur sebagai sumber ilmu pengetahuan dan penggerak reformasi. Ibarat kegelapan malam, ia adalah obor yang menerangi masyarakat Uighur. Dari tangannya-lah lahir ratusan ulama dan da’i yang menjadi simbol di dalam dan luar negeri
Tahun 2004, ia kembali ditangkap untuk keempat kalinya dan divonis lima tahun penjara. Setelah masa tahanan selesai, Abdul Ahad dipaksa tinggal di sebuah tempat penahanan, sehingga dilarang berhubungan dengan siapa pun. Penangkapan kelima kalinya pada tahun 2017 dan saat itulah ia menjemput syahid.
/sk001/alih bahasa: Dhani El_Ashim/Editor: Arju
Sumber: https://blogs.aljazeera.net/