Katanya Bangun Jalan, Kok Ekonomi Desa Makin Sulit, Jalan Desa Sudah Ada Sejak Era Soeharto

 
 

 

www.suarakaltim.com. Sejumlah pihak mematahkan klaim calon presiden petahana (Jokowi) dalam debat kandidat Pilpres 2019 kedua, termasuk soal pembangunan jalan di desa mencapai 191 ribu kilometer dinilai sebagai.

Menurut Muslich Zainal Asikin,  Presidium Pengurus Pusat MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia), sebenarnya Jokowi hanya melanjutkan sedikit dari pembangunan jalan desa tersebut, sebab jalan tersebut dibangun lebih banyak di era Presiden Soeharto.

“Ya itu klaim saja. Karena kalau kita turun ke desa, sebenarnya gak ada apa-apa. Itu (semua) jalan desa sudah dibangun sejak zaman pak Harto,” kata Zainal yang juga peneliti senior pustral Universitas Gadjah Mada (UGM) dilansir Kantor Berita RMOLJatim, Rabu (20/2).

Menurut Muslich, jika memang pemerintah Jokowi telah membangun 191 ribu kilometer, tentunya perekonomian pedesaan akan tumbuh dengan pesat.

“Kalau benar seperti itu, logikanya sederhana, ekonomi desa pasti sudah tumbuh luar biasa. Nyatanya justru kebalikan, kondisi ekonomi pedesaan justru semakin sulit,” tandasnya.

Dikatakan Muslich, bahwa sebagian besar pembebasan tanah selama ini biayanya berasal dari swadaya masyarakat sendiri. Adanya dana desa Rp 187 triliun yang digelontorkan ke desa-desa, justru tidak berdampak bagi masyarakat desa.

Muslich menambahkan, klaim Jokowi membangun jalan desa adalah membangun jalan baru dengan menambah panjang dan luas jalan yang sudah ada. Jadi kalau sebelumnya sudah ada jalan dibangun era Soeharto, misal jalan di padukuhan, desa di antara deretan rumah pedesaan yang ada, maka itu bukan membangun tambahan jalan.

“Bila ada infrastruktur jalan ‘tambahan’ sebesar itu, pasti ada penurunan cost of transport. Ini akan membuat bahan pokok yang sumbernya dari pedesaan turun. Yang terjadi malah sebaliknya, harga-harga kebutuhan pokok di pasar naik. Padahal jika ada infrastruktur, dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa,” urainya.

Sebaliknya dana desa, lanjut Muslich, hanya berputar di sekitar elit desa. Sehingga wajar jika dana desa salah sasaran karena banyak dipakai untuk perbaikan kantor desa, pembangunan gapura desa, bahkan pengerjaannya dikerjakan “pihak ketiga/kontraktor” yang sebenarnya harus padat karya untuk menyerap tenaga kerja.

“Banyak dana desa digunakan untuk kegiatan yang tidak produktif. Tujuannya jelas, untuk membangun network dukungan Pilpres 2019. Makanya terjadi kebocoran luar biasa, tapi hanya didiamkan saja,” imbuhnya.

Disamping faktor “kebocoran” dan “penyalahgunaan” yang sudah bukan rahasia lagi, Muslich mengungkapkan, ada juga perencanaan dan pelaksanaan yang tidak didampingi tenaga pendamping yang bersertifikasi dan memiliki kompetensi sebagai pendamping sebagaimana diatur oleh undang-undang desa.

Muslich juga menduga, klaim Jokowi soal pembangunan jalan desa mencapai 191 ribu kilometer, dasarnya hanya dari laporan saja.

Selama ini data yang dipakai Jokowi adalah laporan Kemendes. Padahal menurut Muslich, masterplan dan data jalan secara nasional adanya di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Dirjen Bina Marga.

“Ya, dasarnya cuma laporan (Kemendes). Kalau benar seperti itu, maka data Dirjen Bina Marga akan berubah secara signifikan. Ternyata kan tidak. Untuk perbaikan jalan rusak saja “kembang kempis”. Logikanya sama sekali nggak klop,” tutupnya.

Pada debat Capres Minggu (17/2), Jokowi bicara soal infrastruktur dan penggelontoran dana desa. Jokowi mengklaim telah menggelontorkan Rp 187 triliun dana desa ke desa-desa dan telah telah membangun 191 ribu kilometer jalan di desa.

“Ini jalan produksi yang sangat bermanfaat bagi para petani dan juga 58 ribu unit irigasi yang telah kita bangun dari dana desa,” kata Jokowi saat debat. RMOL