Strategi Politik Firaun

www.suarakaltim.com– Abul Hakam, sebuah panggilan yang biasa dipakai masyarakat Arab Jahiliah untuk menyebut sosok Amru bin Hisyam. Panggilan yang memiliki makna orang yang bijaksana itu dipakai bukan tanpa sebab, tapi sosok Amru bin Hisyam memang tokoh yang dihormati dan dinilai bijaksana dalam mengambil kebijakan waktu itu. Namun ketika risalah Islam datang, akibat kesombongannya, dia pun menjadi tokoh utama penentang dakwah Nabi SAW. Sejak saat itu, orang-orang pun menyebutnya dengan Abu Jahal yang berarti bapak kejahilan.

Abu Jahal merupakan Tokoh Quraisy yang paling gigih menentang Islam. Segala cara ia lakukan, termasuk merayu Nabi SAW supaya menghentikan dakwahnya dengan strategi politik menawarkan pangkat, jabatan, kekuasaan dan wanita. Akan tetapi kesemuanya itu ditolak oleh baginda SAW dengan sabda, “Walaupun Mentari engkau letakkan di tangan kananku dan Rembulan di tangan kiriku, sekalipun tak kan kulepaskan perjuangan membela agama ini,” Singkat cerita, Abu Jahal mati saat Perang Badar. Melihat jasadnya yang terkapar di atas tanah, Nabi SAW berujar di hadapan para sahabatnya, “Inilah Firaunnya umat ini.”

Secara historis Firaun memang gelar Raja Mesir pada zaman Nabi Musa as. Namun dalam perspektif Islam, sebutan Firaun tidak lagi sekadar gelar para raja di era Mesir kuno. Ia perlahan berubah mejadi seperti simbol kebiadaban dan kesombongan. Bagi umat Islam, Firaun lebih dimaknai sebagai pemimpin zalim dan sombong. Karena itu, akibat kesombongan dan kezalimannya terhadap umat Islam, Abu jahal pun dijuluki oleh Nabi SAW sebagai Firaunnya umat ini.

Kelihaian Firaun Dalam Berpolitik

Sama halnya dengan Nabi Musa, Firaun juga menjadi nama yang cukup popular dalam Al-Quran. Bahkan mengalahkan nama Nabi Muhammad SAW. Firaun disebut sebanyak 74 kali dalam al-Quran. Sedangkan  nama Nabi Muhammad SAW hanya disebut empat kali saja. Maknanya, ada pelajaran besar yang hendak disampaikan Allah ta’ala kepada umat ini. Di balik kisah Firaun, kita akan memahami beragam karakter para penentang Allah dan Rasul-Nya yang terus ada di setiap masa.

Bila dilacak dari masa kepemerintahannya, selain dikenal berhasil melakukan pembangunan infrastruktur, Firaun yang hidup zaman Nabi Musa as bisa dibilang sebagai sosok politisi ulung yang ahli mengubah narasi untuk menjatuhkan lawan-lawannya. Setidaknya kelihaian dan kelicikan Firaun dalam berpolitik bisa dilihat dari dua sisi berikut ini: Pertama, merangkai narasi untuk menuduh, mendiskreditkan dan mengkriminalisasi lawan-lawannya. Kedua, menggunakan teror fisik untuk membungkam musuh-musuhnya. Kedua senjata ini dipraktekkannya dengan sempurna dalam menghadapi Musa as dan para pengikutnya

Penggalan kisah para ahli sihir Firaun yang beriman kepada Musa adalah contohnya. Sesaat setelah ular khayalan ahli sihir itu ditelan oleh ular Nabi Musa, spontan mereka sujud beriman terhadap yang disampaikan oleh Musa as. Nurani mereka menangkap tanda kebenaran Musa as, bahwa apa yang ditunjukkan Musa as tidak mungkin berasal dari jin sebagaimana teori sihir yang mereka pelajari. Mereka yakin yang terjadi bukan lah sihir lawan sihir lebih kuat tapi sihir lawan mukjizat dari Allah Rabbnya Musa dan tuhan seluruh manusia.

Bagi Firaun, sujudnya para ahli sihir tidak bisa dipandang remeh. Sebab, ia cukup berbahaya dan membawa pengaruh kepada masyarakat luas. Akhirnya Firaun pun mengatur narasi untuk menuduh bahwa apa yang mereka lakukan adalah tindakan konspiratif, makar dan inkonstitusional dalam rangka menggulingkan kekuasaan. Peristiwa ini pun diabadikan dengan lengkap dan urut dalam al-Quran.

Pertama-tama Firaun mempersoalkan sujudnya para ahli sihir yang dilakukan tanpa izin terlebih dahulu darinya. “Firaun berkata, Apakah kalian beriman kepadanya sebelum aku memberi izin kepada kalian?” (QS. Al-A’raf: 123) Maknanya di sini Firaun menuduh ahli sihir melanggar kesepakatan kontrak secara sepihak dan merendahkan kewibaannya sebagai seorang raja.

Firaun berupaya mencitrakan dirinya sebagai penguasa yang bijak. Firaun tidak menyoalkan pilihan iman para ahli sihir, tapi Firaun menggugat caranya yang melanggar hukum atau kesepakatan. Jadilah ini pasal pertama kesalahan para ahli sihir. Sejatinya, ia marah terhadap imannya ahli sihir, tapi bahasa politik harus tetap logis. Maka tuduhan yang paling mungkin adalah sisi izinnya, bukan sisi pilihan keyakinan.

Berikutnya, untuk meyakinkan rakyatnya, ia pun mengembor-gemborkan bahwa kekalahan para ahli sihir hanyalah sandiwara. Sebab, sebelumnya Firaun telah menuduh Musa as sebagai guru besar para ahli sihir, “Sesungguhnya ia (Musa) adalah pemimpin kalian yang mengajar­kan sihir Kepada kamu sekalian.” (QS. Thaha: 71)

Lantas Firaun menyimpulkan “pengkhianatan” dan “sandiwara” tersebut sebagai makar yang telah disusun rapi sebelumnya antara Musa as dengan para ahli sihir. Tujuannya, untuk merebut kekuasaan dari tangan Firaun. “Sesungguhnya (perbuatan ini) adalah suatu muslihat (makar) yang telah kamu rencanakan di dalam kota ini, untuk mengeluarkan penduduknya dari padanya; maka kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu ini),” (QS. Al-A’raf: 123)

Pada akhirnya, tanpa dihadapkan ke majlis pengadilan, Firaun menvonis para ahli sihir dengan vonis potong tangan dan kaki secara bersilangan, lalu menyalib jasad mereka di pohon kurma sampai mati. “Maka sungguh aku akan memotong tangan dan kaki kamu sekalian dengan bersilang, dan sungguh aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma”. (QS. Al-A’raf: 124)

Di sini Firaun mulai menggunakan senjata teror fisik untuk membungkap musuhnya. Ia mulai menampakkan watak aslinya yang zalim dan sombong. Semua para ahli sihir yang beriman dihukum mati olehnya dan tak lupa ia menyelipkan pesan kepada lawan-lawan politiknya, bahwa ia punya kemampuan untuk menghukum dengan sekejam-kejamnya kepada siapapun yang mencoba melawannya. Firaun berkata, “Sungguh kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksanya,” (QS. Thaha: 71) Pesan ini sekaligus menyindir Musa as yang membawa misi mengingatkan untuk takut kepada siksa Allah yang kekal di akhirat kelak. Firaun ingin mengatakan bahwa siksanya lebih kekal dan akan segera dibuktikan.

Sombong dan Zalim, Karakter Utama Politik Firaun

Firaun memang pintar mengatur narasi untuk melawan musuh politiknya dan menarik simpati dari rakyatnya. Hanya saja ia sombong dan menolak risalah yang dibawa oleh Nabi Musa as. Bahkan dia menasbihkan dirinya sebagai tuhan yang paling tinggi. “Akulah tuhan kalian yang paling tinggi.” (QS. An-Naziat: 24)

Penggalan kisah sujudnya ahli sihir di atas menggambarkan kelicikan Firaun dalam berpolitik. Dengan kekuasaan yang ada di tangannya, seolah-olah dia merasa bisa berbuat apa saja. Ia paksa semua orang untuk tunduk terhadap apapun yang menjadi keputusannya. Apa saja yang ia katakan harus diyakini sebagai kebenaran, dan selainnya adalah salah dan dusta. Kumpulan karakter tersebut Allah Ta’ala gambarkan dalam firman-Nya:

إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِي الْأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ طَائِفَةً مِنْهُمْ يُذَبِّحُ أَبْنَاءَهُمْ وَيَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ إِنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ

“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan,” (Qs. Al-Qashash: 4)

Selain menjelaskan sifatnya yang suka berbuat sewenang-wenang, ayat di atas menggambarkan kepada kita empat karakter dasar politik Firaun dalam melanggengkan kekuasaannya. pertama: menjadikan rakyatnya terbelah dalam beberapa kelompok, di mana antara satu dengan lainnya sulit bersatu. Bahkan sengaja diciptakan konflik di antara mereka agar kelompok-kelompok tersebut menjadi lemah di hadapan kekuasaan Firaun.

kedua, melemahkan sebagian dan memperkuat sebagian yang lain sesuai dengan kepentingan politiknya. inilah yang biasa dikenal dengan politik “devide et impera” yaitu politik memecah belah dan mengadu domba. Jika yang satu dijunjung, maka yang lainnya diinjak. Cara seperti itu dimainkan secara silih berganti sesuai situasi dan kondisi. Bila menguntungkan kekuasaannya maka akan terus dijunjung dan dipuji. Bahkan tak jarang kasus yang melilit mereka di pengadilan pun dibebaskan begitu saja. Sebaliknya, ketika kelompok tersebut tidak menguntungkan kekuasaannya, maka akan dikriminalkan dengan beragam cara yang dimainkan oleh kaki tangan penguasa.

Ketiga, menyingkirkan siapa pun yang dapat mengancam kekuasaannya. Sang penguasa tidak segan-segan mengekang atau bahkan membunuh mereka yang memiliki karakter kelelakian; berpikir jernih, konsisten dan tegas dalam bersikap, kenegarawanan dalam politik, kepahlawanan dalam mempertahankan kebenaran dan keadilan. Keempat, membiarkan orang-orang yang bermental munafik dan lemah dalam memegang prinsip. Dengan demikian, tidak akan lahir sosok pemimpin harapan rakyat yang bisa menggantikan posisinya. Sekali lagi, semua keputusannnya tidak dilakukan secara spontan, tapi tetap dicarikan cara agar bisa membahasakan dirinya bertindak secara konstitusional.

Demikianlah potret politik Firaun dalam mempertahankan kekuasaannya. Hari ini, sosok Firaun memang sudah tidak ada, tapi karakter politiknya masih terus diwarisi oleh sebagian politisi di setiap masa. Apapun dilakukan demi mempertahankan kekuasaan. Tak peduli lagi mana yang halal dan mana yang haram. Politik kotor seperti menyebar berita hoax biasa dimainkan. Mengkriminalisasi lawan politik, memecah belah umat dan menebar teror untuk menjatuhkan musuh-musuh politiknya. Karena itu, tidak berlihan jika ada penguasa hari ini yang nyaman dengan politik-politik kotor tersebut dijuluki dengan “penguasa Firaun” layaknya Rasulullah SAW menjuluki Abu Jahal dengan Firaunnya umat ini. Wallahu a’lamu bissowab. (KIBLAT.net)