Masalah Kafir dan Kewarganegaraan

Konsep muwathanah tidak ada masalah di Indonesia, bahkan sudah lama dipraktekkan dalam  kehidupan kebangsaan dan kenegaraan

Terkait

Oleh:  Prof Dr Din Syamsuddin

 

SEBENARANYA saya enggan ikut nimbrung   khawatir polemik berkepanjangan dan hanya akan memalingkan perhatian umat Islam dari agenda mendesak yaitu penanggulangan problematika prioritas keumatan.

Semula saya berharap segenap elemen umat agar menghindarkan diri dari mengangkat isu-isu yang krusial dan kontroversial apalagi pada tahun politik yang sensitif sekarang ini.

Pada hemat saya, topik seperti tentang kafir dan semacamnya bisa ditunda (dimaukufkan) dulu. Tapi karena sudah terlanjur dan banyak pertanyaan, maka izinkan saya yang faqir ini  menyampaikan pandangan sbb:

Saya menilai ada kerancuan dalam mengaitkan istilah kafir dan muwathin (warga negara) karena kedua istilah berada dalam kategori berbeda; kafir berada dalam kategori teologis-etis, sedangkan muwathin dalam kategori sosial-politik. Polemik berkembang rancu, baik karena penjelasan publik awal dari  Munas Ulama NU ada mengaitkan keduanya (“dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tdk ada istilah kafir tapi muwathin“), dan polemik kemudian berkembang pada konseptualisasi kafir secara teologis (berdasarkan asumsi bahwa Munas menafikan atau meniadakan istilah kafir). Terjadilah semacam kerancuan atas kerancuan (tahafutut tahafut).

Istilah kafir dan bentuk-bentuk  derivatifnya (kafara, kufr, kuffar, kafirun) yang disebut 525 kali dalam Al-Qur’an adalah “dalalah Ilahiyah” (penunjukan Ilahi) terhadap perilaku, sosok, dan figur manusia tertentu. Al-Qur’an memang ada menyebut dalam bentuk kelompok (al-Qaumtul Kafirun), tapi banyak dalam nada personal baik tunggal (kafir) maupun plural (kafirun atau alladzina kafaru).

Karenanya, kafir merupakan konsep teologis sekaligus etis (berhubungan dengan pandangan ketuhanan dan sikap terhadap hal ketuhanan). Sesuai arti harfiyahnya yaitu “menutup”, maka kafir menunjukkan perilaku menutup diri tidak mau menerima, atau mengingkari kebenaran tentang Allah dan ajaran-ajaran Allah yang diturunkan sebagai wahyu kepada manusia melalui rasul-rasul pilihanNya.

Dalam hal ini, kafir bisa dinisbatkan kepada mereka yang tidak beriman kepada Allah dan ajaran-ajaranNya, atau kepada mereka –yang walaupun beriman kepada Allah tapi membangkangi ajaran-ajaranNya dan tidak bersyukur atas nikmatNya (ada istilah kafir akidah, kafir amal, atau kafir nikmat).

Al-Qur’an juga mengenalkan konsep-konsep etis lain yang berhubungan dengan konsep kafir, seperti musyrik, fasiq, dan zholim. Semuanya menurut ahli keislaman dari Jepang Toshihiko Itzuzu sebagai ethico-religious concepts (konsep etika keagamaan) dalam Islam.

Sebagai konsep teologis, maka kafir  dinisbatkan kepada manusia yang tidak beriman. Sebagai istilah khas Islam, maka dari sudut keyakinan Islam, orang kafir adalah penganut keyakinan selain atau di luar Islam.

Sebenarnya istilah tentang “orang luar” ini biasa dalam setiap agama yang memiliki kriteria keyakinan (bench marking of belief).

Orang yang tidak memenuhi kriteria tsb dianggap orang luar (outsiders) atau orang lain (the others). Semua agama –seperti Yahudi, Kristen, Hindu, atau Buddha– memiliki istilah atau konsep tentang “orang luar” dan “orang lain ini” dan itu termaktub dalam Kitab Suci.

Istilah semacam ini bersifat datar saja dan tidak menimbulkan keberatan dari pihak lain, baik karena memakluminya maupun karena memang mereka merasa bukan “orang dalam” lingkaran keyakinan tsb. Masalah akan muncul jika istilah semacam kafir tsb  dipakai dalam nada labelisasi negatif atau pejoratif yang bersifat menghina atau menista.

Dalam sejarah Islam, khususnya pada masa Nabi Muhammad ﷺ, istilah kafir yang dinyatakan Allah dalam Al-Qur’an tidak pernah secara lugas dan vulgar dikaitkan dengan pemeluk agama-agama lain yang ada waktu itu seperti Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Mereka disebut dengan nama komunitas keagamaannya masing-masing, atau terhadap Yahudi dan Nasrani sering juga dipanggil sebagai “Penerima Kitab” (Ahlul Kitab). Artinya, istilah kafir dalam arti berada di luar akidah Islam tdk menjadi kata panggilan (label), tapi hanya pemahaman terhadap orang luar Islam (konsep).

Dalam pergaulan antar umat beragama, termasuk di Indonesia,  pemakaian istilah khas masing-masing agama tsb terhadap “pihak lain atau pihak luar”, seperti pemanggilan dengan kata kafir dan sejenisnya, tidak populer di ruang publik. Bahkan sekarang, pada era dialog dan kerja sama antar agama, baik pada skala global maupun nasional, sering dipakai istilah “pemeluk agama lain” seperti non-Muslim (ghairul Muslimin), non-Kristiani, dstnya, bahkan istilah Bahasa Inggeris yang sering dipakai sekarang adalah the other faiths (pemeluk agama-agama lain).

Jelasnya, istilah/konsep kafir yang tidak mungkin dinafikan atau ditiadakan, mengalami transformasi pemakaian dalam konteks kehidupan masyarakat multi-kultural dan multi-keyakinan.

Istilah atau konsep muwathin  (citizenship atau warga negara) adalah lain . Konsep ini sudah lama ada sejalan dgn pembentukan Negara-Bangsa (Nation State), bahkan sudah ada sejak pembahasan tentang konsep negara atau masyarakat kewargaan pada Zaman Yunani Kuno (di kalangan filosuf seperti Socrates, Plato, atau Aristoteles). Konsep itu (belum dgn istilah muwathin  dan muwathanah) sudah juga menjadi pembahasan pemikir Muslim seperti Ibnul Muqaffa’, Al-Mawardi, Ibn Abi Rabi’, Ibnu Rusyd, atau Ibnu Khaldun. Wawasan pemikiran politik Yunani dan Islam ini ikut mempengaruhi konseptualisasi pemikir politik Barat seperti Montesqiu, John Lock, atau Hegel.

Pemikiran politik tentang negara dan warga negara ini berkembang hingga masa modern pada pemikiran Muhammad Abduh, Ali Abd al-Raziq, hingga Malik bin Nabi. Di kalangan Muslim konsep ini berkembang sejalan dengan perkembangan negara-bangsa (Nation Stateatau al-Wathan). Pemikir politik Muslim kontemporer, seperti Bassam Tibi dan Fahmi Huwaidy sudah mulai mengemukan istilah Arab/Islam ak-muwathanah sebagai padanan citizenship. Terakhir ini konsep al-muwathanah (citizenship atau kewarganegaraan) menjadi pilihan dunia terutama dalam bentuk al-muwathanah al-musytarakah atau common citizenship(kewarganegaraan bersama).

Dalam Pesan Bogor yang dikeluarkan dari Konsultasi Tingkat Tinggi Ulama dan Cendekiawan Muslim Sedunia di Bogor, 1-3 Mei 2018 tentang Wasathiyyat Islam, istilah/konsep muwathanah menjadi aspek ketujuh dari Wasathiyyat Islam (enam yang pertama: i’tidal, tawazun, tasamuh, syura, ishlah, qudwah).

Sebagai ciri dari Ummatan Wasathan (Ummat Tengahan) yang berorientasi pada Wasathiyyat Islammuwathanah dipahami sebagai kewarganegaraan yang berpangkal pada pengakuan eksistensi negara-bangsa di mana seseorang berada, dan berlanjut pada peran serta aktif membangun negara. Konsep ini sebenarnya didasarkan pada pemahaman tentang dokumen-dokumen dasar dalam Sejarah Islam, seperti Piagam Madinah.

Dalam konteks keragaman bentuk pemerintahan Negara-negara Islam, dan  desakan penerapan demokrasi dewasa ini isu nuwathanah/kewarganegaraan menjadi krusial. Arus migrasi antar negara terakhir ini membawa munculnya masalah identitas dan integrasi kaum migran.

Maka isu muwathanah/citizenship menjadi krusial dan polemikal seperti yang terjadi di Eropa dan Amerika sehubungan dgn membanjirnya arus migrasi dari Negara-negara di Timur Tengah.

Dalam konteks Indonesia isu muwathanah/kewarganegaraan ini sebenarnya sudah lama selesai (bukan menjadi masalah kontroversial). Hal ini disebabkan oleh karena Indonesia dari awal kelahirannya sudah memiliki kesepakatan seperti Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, yang oleh semua pihak (seperti Kesepakatan Pemuka Agama-Agama dari Musyawarah Besar Pemuka Agama-Agama untuk Kerukunan Bangsa, Jakarta 8-11 Pebruari 2018) keduanya dianggap merupakan kristalisasi nilai-nilai agama.

Sebelumnya, pada 2015, Muhammadiyah sudah menegaskan suatu wawasan bahwa Negara Pancasila adalah Darul ‘Ahdi was Syahadah (Negara Kesepakatan dan Kesaksian).

Dalam kaitan ini, konsep muwathanah tidak ada masalah di Indonesia dan sudah lama dipraktekkan dalam  kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.

Derajat stabilitas dan kerukunan nasional yang tinggi adalah buah dari muwathanah yang bertumpu pada ko-eksistensi, toleransi, dan kerja sama antar anak-anak bangsa. Gejala intoleransi dan ekskkusi lebih merupakan ekspresi dari aksi-reaksi terhadap masih adanya kesenjangan sosial-ekonomi.

Implementasi muwathanah/kewarganegaraan menjadi bersifat kontroversial terkait dengan paradigma demokrasi yang dipilih bangsa. Jika demokrasi dipahami sebagai manifestasi “political liberty and equality” (kebebasan dan persamaan hak politik) warga negara, maka muwathanah menuntut pemberlakuan meritokrasi (performa dan rekrutmen politik berdasarkan prestasi individual. Sebagai konsekwensi logis, tidak ada dan tidak relevan lagi diangkat isu mayoritas-minoritas sbg realitas demografis keagamaan.

Sebaliknya, jika realitas mayoritas-minoritas demografis apalagi dikaitkan dgn realitas historis dan sosilogis, maka paradigma demokrasi yang diterapkan akan bersifat kultural.

Problema yang belum dijawab oleh Demokrasi Pancasila adalah apakah Sila Keempat Pancasila itu mengandung arti Demokrasi Liberal (Liberal Democracy) yang antara lain mendesakkan psudo meritokrasi,  ataukah Demokrasi Multikultural (Multicultural Democracy) yang menuntut inklusi, toleransi, dan solidaritas sosial, atau lainnya.

Pilihan bangsa terhadap corak demokrasi yang ingin diterapkan berhubungan erat dengan konsep muwathanah yang perlu kita pahami. Maka pada hemat saya, tafsir jama’i terhadap Sila Keempat dari Pancasila itu jauh lebih mendesak tinimbang mengangkat isu muwathin /warga negara dengan mengaitkannya dengan istilah kafir terutama pada suasana politik sensitif yang rentan memunculkan prasangka buruk yang tidak semestinya.

Di sinilah letak kerancuannya: konsep sosial-politik dikaitkan dengan konsep teologis-etis.

Tapi mungkin dapat dipahami maksudnya: Janganlah bawa-bawa agama ke dalam politik (seperti menyebut istilah kafir kepada sesama anak bangsa karena mereka adalah sesama rakyat warga negara atau muwathin).  Kalau demikian adanya, maka itu merupakan “pandangan hukum keagamaan atau fatwa”.

Oleh karena itu terserah kepada “pasar bebas”, mau membeli atau menolak. Maka tidak usah ribut dan repot. Suatu hal positif dari pandangan demikian adalah pesan moral “jangan mudah menuduh dan melabeli pihak lain secara berburuk sangka, karena itu tidak bermoral atau mencerminkan moralitas superior dan arogan”.

Maka, kepada umat Islam, mulai sekarang jangan ada lagi yang saling mengkafirkan, termasuk saling menghina seperti kamu Wahabi, Salafi, atau Khilafati (maksudnya pendukung khilafah)!

Sesuai Firman Ilahi, “yang menghina belum tentu lebih baik dari yang dihina”. Allahu a’lam bis shawab.*/Yangon, 5 Maret 2019

Penulis Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat/hidayatullah.com