Kasus Audrey ini menyita perhatian, mulai dari tindakan pelecehan dan kekerasan yang dilakukan 12 siswi SMA kepada korban ABY (14) hingga postingan diduga pelaku di Instagram yang menuai kritik pedas. Ya, setekah kasus ini tercium pihak kepolisian, para terduga dipanggil ke kantor polisi untuk diminta keterangan
Mirisnya, segerombol perempuan itu malah melakukan “boomerang” di aplikasi Instagram dan mempostingnya. Di sana terlihat jelas wajah mereka yang tersenyum dan seperti “mempermainkan” kasus ini. Berdiri juga di belakang mereka seorang polisi yang tidak tahu maksudnya apa.
Beredarnya postingan ini membuat netizen geram. Banyak dari mereka yang akhirnya memberi sumpah serapah, terlebih netizen menilai para pelaku tidak punya rasa bersalah sama sekali. Bahkan, netizen juga menyayangkan para terduga pelaku penganiaan pada korban mengenakan hijab dan itu dianggap tidak mencerminkan penampilannya.
“Mengenakan hijab tidak menjamin seseorang memiliki perilaku dan moral yang baik. Dari foto ini, kamu bisa lihat beberapa “setan” yang berkedok perempuan berhijab,” cuit akun Twitter @mrhendrry.
Untuk bisa menjelaskan apa makna dan maksud dari terduga pelaku penganiaan Audrey melakukan aksi “boomerang” dan membagikannya di media sosial, Okezone coba mewawancarai Psikolog Meity Arianty.
Dalam penjelasannya, psikolog yang biasa disapa Mei menegaskan kalau perempuan-perempuan diduga pelaku tidak memiliki empati dalam dirinya. Itu bisa dilihat dari beberapa tanda dari postingan itu sendiri.
“Diduga pelaku tidak merasa bersalah sama sekali, mereka tetap bisa ‘boomerang’ di daam kantor polisi yang mana itu menandakan mereka juga sepertinya tidak merasa bersalah atas apa yang sudah terjadi. Mereka juga sepertinya tidak bersedih atas apa yang menimpa korban dan ini menandakan mereka tidak memiliki sikap empati dlaam dirinya,” terang Psikolog Mei melalui pesan singkat, Rabu (10/4/2019).
Namun, Mei juga menegaskan kalau dirinya memerlukan observasi lebih lanjut terkait kejiwaan yang dialami para korban. Sebab, apa yang mereka posting mungkin belum tentu bagaimana sikap mereka aslinya. Bisa saja setelah mereka ‘boomerang’, sambung Mei, para pelaku ini nangis atau bagaimana.
Tapi, jika mengacu pada postingan yang dibagikan di media sosial, jelas sikap para terduga pelaku kasus Audrey tidak memiliki empati.
Ini juga diperkuat dengan apa yang telah mereka lakukan pada korban dan ini juga yang menjadi catatan penting yang harusnya diperhatikan.
“Pelaku bullying itu sendiri. Biasanya, pelaku memperlihatkan fungsi psikososial yang buruk dan pelaku juga cenderung memperlihatkan simptom depresi (Totura, 2003),” tulis Mei.
Dalam kasus Audrey, Mei melihat kasus ini mengacu pada teori Stephenson dan Smith, tetang tipe pelaku bullying yang mana salah satunya ialah pelaku masuk dalam kategori tipe percaya diri. Tipe ini secara fisik kuat, menikmati agresivitas, merasa aman, dan biasanya populer.
“Buktinya mereka bisa santai-santai saja seoralh perilakunya biasa. Padahal, kalau orang normal akan merasa bersalah dan cemas ketika dia baru saja menyakiti orang lain. Jadi, biasanya orang yang melakukan kekerasan dan menikmati kekerasan yang dilakukan, mereka itu memiliki karakter seperti agresif, memiliki konsep positif tentang kekerasa, impulsif, dan sulit berempati,” paparnya.
Alasan kenapa orang kurang memiliki sikap empati
Dari kasus Audrey ini, Mei juga coba menjelaskan bagaimana sikap empati ini memang bisa berbeda level di setiap orang. Hal ini bisa terjadi karena berbagai faktor.
“Ada banyak faktor seseorang bisa kurang memiliki rasa empati. Salah satunya karena dibersarkan dengan cara yang sama (orangtua tidak mengajarkan sikap empati kepada anak, Red). Dengan begitu, anak pun tidak tahu dan tidak diajarkan apa itu empati. Pola asuh ini sangat menentukan pribadi tiap orang. Namun, harus dilihat juga lingkungan sosialnya, karena rasanya tidak adil kalau hanya menyalahkan pola asuh,” ujar Mei.
Dia juga coba menjelaskan bagaimana sikap empati dan cengeng itu berbeda makna. Ini juga sebagai bentuk nasihat Mei kepada orangtua untuk mau mengajarkan rasa empati itu kepada anaknya.
“Berempati tidak sama dengan cengeng. Dua hal ini sangat berbeda. Empati sama dengan merasakan apa yang dirasakan orang lain tapi bukan larut dan ikutan nangis saat orang lain nangis. Sikap empati biasanya ditunjukan dalam bentuk lain, misalnya empati dengan korban bencana, jadi yang bisa dilakukan adalah menyumbang pakaian atau tidak berpesta pora saat ulang tahun karena masih banyak yang kelaparan. Sementara itu, cengeng itu lebih ke ikut merasakan kesedihan dan larut di dalamnya tanpa ada jalan keluar pemecahan masalah yang sedang dihadapi,” tambahnya.