“Djiwa kita di tangan mereka” sebagai gambaran bahwa kemerdekaan tidak sepenuhnya diperoleh. Secara lahiriah seolah merdeka, pada hakikatnya masih belum merdeka
Oleh: Mahmud Budi Setiawan
SUARAKALTIM.COM | MENJELANG momen peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke-74, saya tertarik merenungi bait-bait syair Tuan A. Hassan dalam buku “Sya’ir; Matjam-matjam Petundjuk dan Nashiehat” (Bangil, 1953).
Pada kaca (halaman) 20, ada beberapa bait syair yang dianggit ulama yang dikenal dengan ketegasannya itu:
Merdeka kita telah tertjapai
Disana sini suaranja ramai
Keadaan kita tetap terkulai
Bahagian kita djadam dan pulai
Apa arti kita merdeka
Djiwa kita di tangan mereka
Terus menerus mereka bersuka
Sepandjang masa kita berduka
Dari lantunan sya’ir tersebut, penulis merasakan kritikan tajam. “Merdeka kita telah tertjapai” sampai 74 tahun ini pun kita tetap merdeka, tapi dalam pengertian wadag dan sangat dangkal: tidak dijajah sebagaimana zaman kolonial.
“Disana sini suaranja ramai” ekspresi penduduk Indonesia –bukan saja sejak syair ini ditulis, sampai sekarang pun demikian– gegap gempita penuh sorak sorai memenuhi jagad maya dan nyata.
Namun, A. Hassan menyayangkan kondisi yang demikian. “Keadaan kita tetap terkulai” keadaan penduduk Indonesia kala itu –bahkan bisa jadi sampai sekarang—masih terkulai, yaitu terapung-apung terayun-ayun sendirian, sebagai gambaran masih belum bangkit.
Lebih miris lagi, sajak lanjutannya, “Bahagian kita djadam dan pulai” sebagai gambaran yang diterima rakyat adalah pahit-pahit saja. Sampai sekarang pun, apakah rakyat dan bangsa Indonesia berdaulat? Bangsa Indonesia apa sudah mampu menegakkan kepala di tengah persaingan dunia atau justru hanya menjadi sapi perah bagi para penjajah di balik layar yang istiqamah merenggut keperawanannya?
Karena itulah, ulama yang dikenal dengan sebutan Hassan Bandung atau Hasan Bangil ini, seolah mempertanyakan kembali hakikat kemerdekaan: “Apa arti kita merdeka” Apa sih sebenarnya kemerdekaan itu? Apa seperti pada zaman A. Hassan atau seperti yang kita alami sekarang ini? Atau kalau merdeka hanya dalam pengertian begini-begini saja, buat apa kita merdeka? Tidakkah kita menginginkan kemerdekaan yang sempurna, paripurna dan utuh?
Zaman itu, A. Hassan memberi jawaban, “Djiwa kita di tangan mereka” sebagai gambaran bahwa kemerdekaan tidak sepenuhnya diperoleh. Secara lahiriah seolah merdeka, pada hakikatnya masih belum merdeka. Bagaimana dengan sekarang? Sudahkah kita sebagai bangsa memiliki kemandirian dan bisa memilih keputusan sendiri?
Lanjutnya, “Terus menerus mereka bersuka” belum jelas benar yang dimaksud “mereka” pada bait ini. Bisa jadi mereka yang di balik layar masih konsisten melakukan penjajahan; bisa juga pemimpin dari bangsa sendiri yang berjuang bukan untuk kepentingan rakyat, tapi kepentingan nafsu sesaat.
Sayangnya, yang akan menanggung penderitaan adalah rakyat. A. Hassan menuturkan, “Sepandjang masa kita berduka”. Mereka senang-senang, rakyat bernasib malang; mereka berjuang untuk kepentingan pribadi, sementara penderitaan rakyat semakin menjadi-jadi.
Bila demikian halnya, sebagaimana syair-syair beliau yang ditulis tahun 1953 itu, sekali lagi, kita perlu bertanya: Benarkah Kita Telah Merdeka?*/Mahmud Budi Setiawan/hidayatullah
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar