Penggerusan Oposisi

Pertemuan Jokowi dan Prabowo di Istana Negara pada 11 Oktober 2019/Net

PASCA Pilpres 2019 suara-suara pihak oposisi mengalami penggerusan yang sangat tajam. Keberadaan partai politik dan politisi yang tergabung dalam koalisi oposisi sudah tidak layak disebut sebagai oposisi, yang ada hanyalah sebutan pihak oplosan.
Padahal pada saat Pilpres 2019 pihak oposisi yang tergabung dalam barisan koalisi pendukung pasangan capres dan cawapres Prabowo-Sandi sangat lantang menyuarakan diri menentang kebijakan pemerintahan Jokowi.

Koalisi pendukung pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno ini sudah dibubarkan pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pilpres 2019.

 
Baca Juga : Abdul Somad Ditolak, Fahri: Mahasiswa UGM Lebih Baik Demo Rektor Ketimbang DPR

Bahkan sejumlah mantan partai Koalisi Indonesia Adil Makmur belum secara tegas posisinya sebagai oposisi. Oposisi sekedar tameng kampanye politik untuk menggeruk suara pemilih yang kontra terhadap pemerintahan Jokowi. Untuk itu perlu adanya perhatian khusus apakah benar sistem Indonesia tidak mengenal oposisi?

Pertama, kita lihat peran oposisi dalam demokrasi sangat penting sebagai check and balance, untuk mengawasi kekuasaan presiden dengan melalukan fungsi kontrol terhadap kebijakan. Oposisi berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan eksekutif untuk menjaga agar pemerintah tidak otoriter, dan berada pada jalan yang benar atau on the track. Maka dengan demikian, ketika pemerintah mulai keluar jalur, oposisi harus beridiri paling depan untuk meluruskan.

Kedua, merapatnya para elit dan petinggi partai ke dalam arus pemerintahan Jokowi pasca kekalahan mereka dalam kontestasi politik Pilpres 2019. Hal ini merupakan bentuk sikap politik oposisi yang tidak etis.

Seharusnya Partai Gerindra, Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) atau pun Partai Amanat Nasional (PAN) tetap menjadi oposisi sebagai penyeimbang pemerintahan. Kedekatan emosional antara oposisi dan pemerintah harus ada batasanya sehingga dalam pembuatan kebijakan fungsi check dan balance berada pada jalur yang sebenarnya.

 
Baca Juga : Alasan Polri Tidak Tangkap Abu Rara Karena Belum Lakukan Teror Aneh Dan Tidak Tepat

Ketiga, pentingnya decision maker dalam oposisi. Peran tokoh yang dijadikan kunci arah oposisi. Prabowo dan Partai Gerindra sebagai decision maker adalah penentu oposisi yang sebenarnya.

Sikap politik Partai Gerakan Indonesia Raya beserta sang ketua umum Prabowo Subianto akan diumumkan pada 17 Oktober 2019. Pengumuman itu hanya berselang tiga hari dari pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo-Maruf Amin. Prabowo akan menyampaikan kepada publik sikap politiknya dan sikap politik Gerindra.

Sikap politik Prabowo memang begitu dinantikan selepas perhelatan Pilpres 2019. Dalam pesta demokrasi itu, Prabowo yang berpasangan dengan Sandiaga Uno harus mengakui keunggulan pasangan capres dan cawapres Joko Widodo-Maruf Amin.

Arah oposisi dapat dibaca setelah Pilpres 2019. Beberapa rentetan peristiwa pertemuan Prabowo dengan tokoh elit partai pendukung Jokowi. Prabowo menemui Jokowi di MRT Jakarta, 13 Juli 2019. Kemudian, Prabowo bertemu dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri di kediaman Megawati, Jalan Teuku Umar, Jakarta, 24 Juli 2019. Terakhir pertemuan Prabowo ke Istana Kepresidenan menandakan secara simbolis oposisi sudah ditaklukkan oleh pemerintahan Jokowi.

Seiring berjalan waktu, dinamika politik pun menghangat, terutama jelang pelantikan Jokowi-Maruf 20 Oktober 2019. Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani menerima tawaran untuk masuk kabinet Jokowi-Maruf. Oposisi yang merapat, berdasarkan pengalaman-pengalaman terdahulu, akan selalu diikuti dengan pembagian jatah kursi menteri. Fenomena ini menuai kritikan dari salah satu partai dalam koalisi Jokowi-Maruf, yaitu Partai Nasional Demokrat.

Jika semua parpol oposisi ikut di dalam pemerintahan kemudian siapa yang akan menjadi pengontrol sistem pengawasan yang efektif di parlemen? Terlebih saat ini kursi ketua DPR dipimpin oleh Puan Maharani dari partai penguasa di lembaga eksekutif yaitu PDIP Perjuangan.

Oposisi dan partai politik seperti kehilangan marwah. Semua berfikir merebut kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan untuk menyongsong kursi menteri di dalam kabinet Jokowi.

Kekhawatiran ini tidak terlepas dari pihak oposisi lebih memfokuskan diri untuk mempersiapkan strategi pada pemilu tahun 2024. Secara otomatis program pemerintah malah terabaikan. Semua bekerja untuk partai masing-masing bukan lagi mengatasnamakan kepentingan rakyat.

Pada akhirnya Indonesia tidak akan mengenal adanya partai oposisi karena tidak akan pernah ada satu partai yang sendiri menjalankan kekuasaan dan tidak ada jaminan partai yang kalah berperan sebagai oposisi.
Ikhwan Arif
Pendiri dan Direktur Indonesia Political Power.