HRS Dalam Catatan

BELAKANGAN ini, dunia medsos tanah air gempar dengan pernyataan seorang artis yang dinilai merendahkan seorang tokoh, ulama dan habib. Berita ini menjadi semakin liar, ketika pernyataan tersebut ditanggapi banyak pihak, tak terkecuali oleh Habib Rizieq Shihab atau HRS. Sosok ulama dari kalangan habaib yang memiliki pengaruh di tengah gempita konstalasi politik di tanah air. Beliau merespon pernyataan si artis dengan ungkapan yang dinilai oleh beberapa pihak sebagai ungkapan menghina, tak pantas, jorok dan tidak layak diucapkan oleh seorang ulama, terlebih dari kalangan dzurriyah Rasulullah saw.

Dalam coretan ini, saya tidak akan mengomentari ungkapan si artis, sebab memang sudah jelas kontennya, situasinya, siapa yang melontarkannya dan apa motif di balik ungkapan tersebut. Saya juga tidak ingin masuk ke ruang regulasi tentang aturan protokol kesehatan dan pelanggaran yang dilakukan banyak pihak terkait kerumunan dan lainnya, sebab hal ini sudah banyak didiskusikan di forum-forum diskusi yang bermartabat. Saya hanya ingin masuk ke ungkapan HRS dalam menyikapi pernyataan si artis yang dinilai merendahkan itu.

Dari banyak video yang viral kita mendapati banyak pihak bersuara menyesali ungkapan HRS, mulai dari Pangdam Jaya sampai tokoh agama. Video-video tersebut lalu dikomentari oleh banyak pihak dengan komentar-komentar pedas yang menyudutkan Sang Habib. Alasannya, tidak sepatutnya ulama mengeluarkan kata-kata kotor, Islam adalah agama kasih sayang, Nabi saw mengajarkan kepada umatnya untuk berkata-kata yang baik, dan lain sebagainya.

Di sini saya ingin mengajak sahabat sekalian untuk membuka wawasan beragama kita lebih dalam. Apa yang ingin saya sampaikan bukan pembelaan terhadap HRS, tetapi lebih pada memposisikan ulama pada tempatnya. Saya hanya meyakini bahwa sosok HRS saat ini sedang berjuang membela idealisme yang beliau yakini, yaitu menegakkan kebenaran dan melawan ketidakadilan. Saya meyakini, dari interaksi bersama beliau selama ini, bahwa beliau adalah orang yang bertindak dengan ilmu dan didasari oleh nafas keikhlasan. Jikapun ada kekhilafan, maka beliau adalah manusia yang tidak luput dari salah dan khilaf. Wala nuzakki ‘alallahi ahadan..

Jadi begini, inti masalahnya adalah apakah ungkapan yang dilontarkan oleh HRS itu memiliki sandaran dalam referensi keislaman kita? Ini menarik.
Jika kita membaca sirah nabawiyah dengan teliti, kita akan mendapati episode-episode menarik yang dapat kita jadikan ruang memberi uzur kepada ulama seperti HRS dalam melontarkan ungkapan merendahkan kepada seorang artis yang melecehkan ulama dan menghina perjuangan beliau. Salah satunya adalah ungkapan Abu Bakar as-Shiddiq yang dilontarkan di hadapan Nabi saw ketika membentak ‘Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi saat terjadi peristiwa Hudaibiyah tahun 6 H.

‘Urwah yang saat itu menjadi delegasi kaum kafir Quraisy untuk menemui Rasulullah saw di Hudaibiyah meragukan kesetiaan para sahabat dalam membela Nabi saw dengan melontarkan ungkapan merendahkan. Mendengar ungkapan itu, Abu Bakar angkat bicara. Beliau membentak ‘Urwah bin Mas’ud dengan mengatakan, “Umshush bi bazhri al-laat” (sedotlah olehmu kemaluan berhala Latta). Riwayat tersebut disebutkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya. Ini adalah ungkapan paling menyakiti perasaan jika didengar oleh orang arab. Arti dari ungkapan ini pun sangat jorok jika ditangkap oleh telinga orang Indonesia.

Abu Bakar.. wamaa adraaka man Abu Bakar. Sosok santun yang kebiasaannya menangis di hadapan Rabbnya. Sosok pemurah yang hartanya diinfakkan semua di jalan Allah. Dari lisan beliaulah ungkapan tersebut keluar. Radhiyallahu ‘anhu wa ardhaah. Beliau melontarkan ungkapan itu kepada orang yang pantas mendapatkannya dan dalam situasi dan kondisi yang tidak biasa. Mari kita simak penjelasan para ulama, ketika mensyarah umpatan Abu Bakar as-Shiddiq ini.

Ibnu Hajar dalam Fathul Baari mengatakan, “Ujaran ini adalah dalil bolehnya melontarkan ungkapan jorok dengan maksud memberikan pelajaran kepada orang yang berhak mendapatkannya.” Ibnul Qayyim dalam az-Zaad berujar, “Ini menunjukkan bolehnya menyebut bagian dari aurat dengan terus terang, jika terdapat maslahat pada konteks tersebut.” Adapun Ibnu Taimiyah berkata, “Jika lawan bicara melakukan kezaliman, maka kita tidak diperintahkan untuk menjawabnya dengan ujaran yang baik.”

Para ulama berpendapat bahwa jika konteks yang dihadapi menghajatkan seseorang harus terus terang mengungkapkan ungkapan buruk demi menghadirkan maslahat dan mencegah kerusakan, maka hal itu tidak mengapa dilakukan. Ini tidak bertentangan dengan sabda Nabi saw, “Seorang mukmin itu tidak menjadi pencaci, pelaknat dan berujar kotor.” Dalilnya adalah firman Allah, “Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terus terang, kecuali oleh orang yang dizalimi. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. an-Nisa’: 148) dan dalam konteks Abu Bakar, Nabi saw tidak menegur beliau. Kalaulah yang dilakukan beliau adalah kekeliruan, maka pasti Baginda Nabi saw melarangnya. Tetapi Nabi saw justru membiarkannya sebagai sebuah taqrir (persetujuan). Dan beliau tidak pernah sama sekali menyetujui sesuatu jika hal itu adalah batil.

Nah, pembaca yang budiman, ini hanyalah sekelumit dari wawasan Islam yang tercatat rapi dalam khazanah keilmuan kita. Pada akhirnya, saya serahkan kepada anda apakah konteks Hudaibiyah dapat diqiyaskan kepada perjuangan HRS ataukah tidak. Jawabannya kembali kepada Anda. Yang jelas, jika pembaca menilai bahwa HRS adalah orang yang terzalimi, baik oleh penguasa, aparat atau si artis, maka ayat di atas cukup menjadi pegangan beliau dalam berhujjah. Beda halnya, jika anda tidak menganggap beliau terzalimi.

Jika ada saudara seiman yang menganggap ujaran beliau adalah sesuatu yang hina, mungkin dia belum banyak membaca catatan sejarah perjuangan Islam. Dan jika ada ulama, kiyai atau habaib yang menganggap beliau tak pantas berujar demikian, mungkin beliau-beliau itu belum merasakan dizalimi sebagaimana kezaliman yang dirasakan oleh HRS. Sebab memang jika dilacak track record beliau, tidak didapati beliau mengungkapkan kata-kata yang buruk, kecuali kepada orang yang dianggap melakukan kezaliman. Dan tentunya kita sepakat, bahwa perkataan yang baik kepada siapapun adalah sesuatu yang lebih dekat kepada maslahat.

Tetap bersatu. Katakan yang benar. Jangan buru-buru salahkan ulama. Dan yang terpenting, jaga jarak dengan hati tak boleh berjarak.

Mekah, 06-04-1442 H

Penulis; Ahmad Musyaddad (wa)