Misi Penjelajah Norwegia Mencari Ras Manusia Berekor di Kalimantan
Suara Kaltim— Sultan Pasir marah besar. Ini surat kedua yang datang kepadanya. Pertama surat dari Kerajaan Kutai, yang diantar seorang abdi kepercayaan Sultan AM Sulaiman bernama Tjiropon. Lalu, beberapa bulan kemudian ada lagi surat dari Banjarmasin. Intinya dari dua surat itu : meminta Sultan Pasir mengirimkan sepasang manusia berekor.
Setelah berpikir selama sebulan, Sultan Pasir membalas surat dari Residen yang berkedudukan di Banjarmasin. Dalam suratnya Sultan Pasir menyebutkan “orang boentoet Sultan di Pasir adalah para pengawal pribadi Sultan Pasir.
Saat kedatangan Tjiropon beberapa bulan sebulannya, Sultan Pasir juga marah besar, hingga mengusir Tjiropon. Bahkan siap berperang melawan Kerajaan Kutai. Sultan Pasir memerintahkan pasukannya membuat benteng pertahanan untuk bersiap berperang melawan Kerajaan kutai.
“Jika Sultan Kutai menginginkan Orang-boentoet saya, biarkan dia ambil sendiri!” ujar Sultan Pasir.
‘***
Gara-garanya, karena kisah Tjiropon. Utusan kepercayaan Sultan Kutai ini mengaku pernah melihat manusia berbuntut di wilayah Kerajaan Pasir.
Suatu hari di tahun 1879, Carl Alfred Bock ke istana Kerajaan Kutai. Dalam jamuan makan, Carl Alfred Bock tak hanya berbincang dengan Sultan Kutai Aji Muhammad Sulaiman dan kerabatnya, melainkan juga dengan Tjiropon.
Kepada Carl Alfred Bock, di hadapan Sultan dan para pangeran, dengan menyakinkan Tjiropon mengaku pernah melihat jenis manusia yang memiliki ekor atau buntut. Ujar Tjitopon mereka menghuni pemukiman di wilayah Kesultanan Pasir dan juga ada hidup di tepian Sungai Teweh.
Sembari menikmati durian dalam jamuan makan malam di atas rakit, Bock seperti berpikir ; jangan-jangan benar apa yang dikatakan Darwin, dengan teorinya; ras manusia berasal dari sejenis kera. Bisa jadi Bock mengetahui teori itu ketika membaca buku karya Darwin bertajuk The Origin of Species yang terbit pada akhir 1859.
Menurut Tjitopon, kelompok manusia berekor itu memiliki kepala suku. Kepala sukunya tak hanya rambutnya saja yang berwarna putih, tapi juga matanya berwana putih. Ekornya, kata Tjitopon, panjangnya sekitar lima hingga sepuluh sentimeter. Karena memiliki ekor, lanjut Tjitopon, agar mudah duduk nyaman, mereka membuat lubang di lantai rumahnya.Uniknya, mereka harus membuat lubang di lantai rumah. Tjitopon menjulukinya dengan “Orang-boentoet”.
Sultan Kutai pun turut takjub dengan kisah abdinya. Dia pun memberangkatkan Tjiropon bersama sebuah surat yang memohon Sultan Pasir untuk mengirimkan sepasang manusia berekor
Sultan Kutai yang percaya dengan abdinya lalu memerintahkan Tjiropon untuk menyerahkan surat kepada Sultan Pasir, isnya memohon kepada Sultan Pasir agar sudilah kiranya mengirimkan sepasang “orang boentoet” dan dibawa ke hadapan Sultan Kutai. Walaupun sedikit ragu, tentang adanya ras manusia berekor, Bock menjanjikan kepada Tjiropon uang sejumlah 500 gulden, bila berhasil membawa sepasang manusia yang memiliki ekor tersebut.
Karena ditunggu beberapa hari belum ada kabar dari Jiropon, Bock melanjutkan perjalanan dari Tenggarong ke Banjarmasin. Bock bertemu Tjiropon ketika berada di Banjarmasin. Rupanya, setelah mengantar surat dan menemui Sultan Pasir, Tjiropon disuruh Sultan Kutai menyampaikan langsung ke Bock di Banjarmasin.
Dengan wajah kecewa, Tjiropon menyampaikn kepada Bock tidak mampu membawa “‘Orang Boentoet” pesanan Bock. Walaupun penjelasan Tjiropon nampak berbelit-belit, namun dia tetap pada keyakinannya; pernah melihat manusia berekor atau”orang boentoet” di wilayah kerajaan Pasir.
“Demi Allah saya pernah melihat Orang-bontoet beberapa waktu silam, dan berbicara kepada mereka , tetapi saya tidak bisa melihat mereka saat ini!” ungkapnya seperti yang dicatat Bock
Bock masih penasaran. Di Banjarmasin, Bock meminta bantuan Residen untuk kembali menyurati Sultan Pasir mengenai keberadaan “oerang boentoet” di wilayahnya.
Surat dari residen itulah yang membuat Sultan Pasir tambah geram. Permasalahan keinginan Sultan Kutai kepada Sultan Pasir yang meminta sepasang “orang boentoet” sampai melibatkan dan meminta bantuan kepada residen di Banjarmasin.
Carl Alfred Bock merupakan naturalis dan pelancong berkebangsaan Norwegia. Bock melakukan perjalanan ke pedalaman Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan pada 1879. Ketika itu usianya masih 30 tahun. Sebelum berjejak di Kalimantan, dia telah menjelajah di pedalaman Sumatra pada 1878.
Misinya di Kalimantan merupakan titah dari Gubernur Jenderal Johan van Lansberge. Dia melaporkan kepada Gubernur tentang peradaban suku-suku Dayak. Tak hanya itu, dia juga menghimpun spesimen sejarah alam untuk beberapa museum di Belanda.
Dari penjelajahannya di Samarinda-Tenggarong-Banjarmasin dan pedalaman Kalimantan, Bock menulis buku berjudul Head Hunters of Borneo yang terbit pada 1881.
Bagian kisah dalam buku Head Hunters of Borneo yang terbit pertama kali pada 1881 ini membuat Alfred Russel Wallace, penjelajah sohor asal Inggris berkomentar, “Satu-satunya episode lucu dalam buku ini adalah upaya sungguh-sungguh untuk menemukan kisah ‘manusia berekor’ yang kerap dibicarakan di Kalimantan.”
Apakah orang boentoet atau manusia berbuntut itu memang benar adanya, seperti yang dilihat Tjitropon? Bahkan Tjiropon sampai bersumpah demi Allah dicatat Bock.
Untuk sementara ras manusia berbuntut di belakang seperti kera belum ditemukan. “Buntut” manusia hanya berada di depan. Tapi tidak sampai melubangi lantai rumah, seperti yang diceritakan Tjiropon. Panjangnya juga tidak seperti buntut “orang boentoet”nya cerita Tjiropon, sekitar 5 hingga 10 cm.
“Kekeliruan yang menggelikan”, sebut wallace.
Penulis | : | Akhmad Zailani/Mahandis Yoanata Thamrin | nationalgeographic |
Sumber dan foto | Buku carl Bock : The Head Hunters of Borneo/ |