Suara Kaltim – Pada masa penjajahan Belanda, Snouck Hurgronje dimintai nasihat terkait perlawanan rakyat Indonesia, yang terutama gencar muncul dari Aceh. Hurgronje memang sengaja dikirim ke Aceh untuk mempelajari gerakan politik rakyat di tanah yang dijuluki Serambi Mekkah itu.
Dari masa tinggalnya di Aceh mulai Juli 1891 sampai Februari 1892, dikutip dari ” Christian Snouck Hurgronje: History of Orientalist Manipulation of Islam – Analysis”, Snouck menyusun laporan intelijen dengan satu poin penting: Perlawanan di Aceh tidak benar-benar dipimpin oleh Sultan, seperti yang selalu dipikirkan Belanda, namun oleh ulama-ulama Islam.
Snouck mengatakan tidak mungkin bernegosiasi dengan para ulama. Ideologi Islam yang menentang penjajahan telah tertanam kuat dalam pemikiran mereka. Maka yang dianjurkan Snouck kepada pemerintah Belanda bukan lah melobi ulama, melainkan langsung menggunakan cara-cara kekerasan.
Menurut Snouck, kekerasan terhadap ulama akan sangat ampuh membungkam mereka dari menyampaikan ajaran-ajaran soal jihad, negara Islam, dan konsep Politik Islam lainnya; dan ke depannya hanya bicara soal Hari Akhir dan ritual ibadah.
Sarannya tersebut awalnya diabaikan pemerintah Belanda. Penyerangan tetap dipusatkan pada Sultan. Namun sampai tahun 1896, Aceh belum bisa ditaklukkan. Hingga akhirnya Belanda mengubah taktik dengan mengangkat jenderal Joannes Benedictus Van Heutsz sebagai gubernur Hindia Belanda. Van Heutsz kemudian menunjuk Snouck menjadi penasihatnya.
Dengan posisi tersebut, Snouck berhak menasihati pasukan tentara dan ikut ekspedisi-ekspedisi militer. Pemerintah Belanda kemudian meluncurkan kampanye “cari dan bunuh ulama Aceh”. Ekspedisi ini terealisasi dan pada 1903, setelah 30 tahun perang, Belanda akhirnya mendeklarasikan kemenangan di Aceh.
Snouck Hurgronje Belajar Islam sampai ke Mekkah
Pergi haji ke Mekkah merupakan rukun Islam kelima. Mekkah, kota yang hanya boleh dimasuki oleh orang Islam ini, pada masa penjajahan sangat dimonitor oleh Belanda. Banyak pelarian dari Hindia Belanda yang gencar melawan penjajahan Belanda, bersembunyi di sana. Untuk memantau aktivitas mereka, Belanda membuka konsulat di Jeddah, kota yang berjarak sekitar satu jam dari Mekkah.
Kekhawatiran Belanda muncul karena berbagai sebab. Pemberontak akan mempengaruhi orang-orang Indonesia yang beribadah haji, ditambah dengan gencarnya gerakan Pan Islamisme yang dipelopori Jamaluddin Al-Afghani–paham mengenai persatuan umat Islam sedunia. Demikian mengancam legitimasi penjajahan Belanda di Indonesia.
Snouck yang menulis tesis berjudul “Festival Mekah” lantas dilirik pemerintah Belanda. Ia dinilai punya pemahaman mendalam tentang Islam. Hal itu dinilai akan sangat berguna dalam misi Belanda menduduki Aceh. Konsulat Belanda di Jeddah pun menawarinya belajar Islam langsung di Mekkah.
Bagaimana tawaran ini bisa terwujud, sementara Snouck bukan seorang Muslim?
Pada 1885, mula-mula ia tinggal di Jeddah bersama bangsawan asal Pandeglang, Raden Haji Aboe Bakr Djajadiningrat–yang darinya juga Snouck belajar bahasa Melayu. Di tahun yang sama, Snouck mengucap keinginannya masuk Islam. Ia pun bersyahadat di hadapan qadi (hakim) bernama Isma’il Agha, berikut dua orang saksi.
Pengetahuan Snouck yang tajam soal Islam memuluskan langkahnya. Ketika berhasil menginjakkan kaki di Masjidil Haram, ia menulis surat kepada temannya, Carl Bezold, membanggakan tentang betapa sumpah syahadatnya tak dipertanyakan. Dalam perjalanannya menyusupi Mekkah sebagai “mualaf”, ia bahkan digelari berbagai sebutan seperti “Mufti” dan “Sheikh al Islam of Batavia”.
Untuk tahu soal seluk beluk Aceh, ia belajar kepada Habib Abdoerahman Az-Zahir, ulama Mekkah yang pernah pergi ke Aceh. Habib Abdoerahman bersedia menerima Snouck sebagai murid karena ia mengaku ingin membantu orang Aceh melawan penjajahan Belanda.
Pemikiran Snouck Hurgronje yang Terus Hidup
Gerilya Snouck dalam penyamarannya sebagai agen Belanda, membarengi kepada pemikiran yang kian subur di kalangan umat Islam. Tak sedikit orang Islam menutup mata soal politik, dan hanya memusatkan diri pada ritual ibadah semata–versi ajaran Islam yang direstui Belanda zaman penjajahan. Lantas menuding sesama yang berikhtiar menuntut ilmu Islam dengan kaffah (sempurna) sebagai ekstrimis.
Bila melihat keadaan saat ini, nasihat Snouck kepada Belanda 126 tahun yang lalu–untuk memberangus ulama berikut ajaran-ajaran politiknya, tak ubahnya apa yang kita lihat sekarang dalam bentuk paham sekulerisme. Memisahkan agama dari kehidupan bernegara.
Paham itu berarti juga memisahkan agama dari politik, memisahkan agama dari ekonomi, dan pada akhirnya hanya bertujuan kepada satu hal saja: memisahkan agama dari seluruh sendi kehidupan.
By Selli Nisrina Faradila
(Kumparan)