(Catatan tercecer sekitar H.M. Kadrie Oening)
Bagi pembaca yang munyak (kalau memang ada) membaca uraian tentang H.M. Kadrie Oening, yang pada 6 Juni 1989 lalu telah memenuhi panggilan Tuhan kembali kehadirat-nya, harap lewatkan saja tulisan ini. Itupun kalau,”Manuntung” masih bersedia menyediakan halamannya untuk membuat apa yang saya katakan “catatan tercecer” ini.
Sewaktu Kadrie Oening menjadi Walikota Samarinda untuk periode pertama, entah bagaimana “latar belakang”nya bentuk tanda tangannya dirubahnya secara mengejutkan. Kalau semula bentuk tanda tangannya biasa saja seperti umumnya tanda tangan orang-orang lainnya bentuk tanda tangannya yang baru menyerupai tulisan arab. Yang anehnya (kalau dapat disebut demikian) tulisan arab itu sepintas pandang terbaca Allah.
Sehingga pada bulan-bulan pertama dia memperkenalkan tanda tangan baru itu orang-orang yang sinis terhadap dia ada yang sampai mengatakan bahwa Kadrie Oening seolah-olah mengaku dirinya sebagai Penjelma Allah. Namun dia tidak perduli dengan berbagai tanggapan atau interprestasi di kalangan masyarakat mengenai tanda tangan tersebut. Sebab dia pernah menanyakan dan meminta pendapat kepada KH Abdullah Marisie, seorang ulama besar di Samarinda, dan termasuk sesepuh ulama se-Kaltim. Semasa hidup beliau, yang oleh beliau dikatakan “boleh saja”. Tentunya sesudah Kadrie Oening menjelaskan arti yang terkandung dalam setiap goresan maupun titik dalam bentuk tanda tangan yang menyerupai tulisan arab tersebut.
Perlu diterangkan, semasa hidup KH Abdullah Marisie yang “Al-Mukarram” itu (yang namanya diabadikan sebagai nama Jalan di samping kanan Masjid Raya Samarinda). Kadrie Oening sangat menghormati beliau sehingga sewaktu beliau berpulang ke Rahmatullah pada tanggal 2 Februari 1975 dalam usia hampir 80 tahun Kadrie Oening merasa kehilangan. Atas kebijaksanaan dan tanggung jawab Walikota HM Kadrie Oening (dapat mendapat persetujuan Gubernur A.W Sjahranie pada waktu itu) sebagai menghargai jasa-jasa almarhum dalam menyiarkan agama selama lebih setengah abad dan banyak mencetak kader-kader ulama di Samarinda dan tempat –tempat sekitarnya, jenazahnya dimakamkan di pekarangan depan sebelah kanan masjid Raya.
Kebetulan tepat setahun sebelumnya yakni (2 Februari 1974) adalah hari atau tanggal bulan diresmikan Mesjid Raya tersebut oleh menteri Agama Mukti Ali yang almarhum KH Abdullah Marisie merupakan pencetus idenya dan semasa hidupnya banyak memberikan fatwa dalam rangka pembangunan Rumah Allah yang menjadi kebanggaan umat Islam di Samarinda itu.
Kembali kepada ke tanda tangan HM Kadrie Oening yang lain dari yang lain sesudah dia menjadi walikota Samarinda itu. Dengan sendirinya bentuk tanda tangannya tersebut yang digunakannya juga dalam surat-surat dinas diketahui juga oleh pusat. Dalam hal ini Departemen Dalam Negeri yang waktu itu Amir Mahmud sebagai Menterinya. Dan ternyata bagi orang-orang Pusat soal tanda tangan yang dik alangan penduduk setempat (Samarinda) sempat menghebohkan tidak menjadi persoalan. Rupanya bagi Menteri Dalam Negeri Amir Mahmud (sebagai “Boss” yang lebih tinggi dari Kadrie Oening sesudah Gubernur Kaltim AW Sjahranie), yang penting adalah sejauh mana prestasi atau keberhasilan HM Kadrie Oening sebagai Walikota Samarinda yang pada waktu itu memang sudah terlihat bukti-buktinya.
Ada kisah tersendiri mengenai Kadrie Oening sebagai walikota yang ada kaitannya dengan Amir Mahmud sebagai Menteri Dalam Negeri. Menjelang berakhirnya masa jabatan yang pertama sebagai walikota, tersiar desas-desus , bahwa Kadrie Oening akan minta berhenti menjadi walikota. Desas desus tersebut sampai ke telinga Mendagri Amir Mahmud, sewaktu beliau dalam suatu kunjungan kerja di Samarinda.
Apa reaksi Mendagri? Akan Saya jewer kuping Kadrie Oening kalau dia minta berhenti sebagai walikota. Kedengarannya seolah-olah “tidak masuk akal” bahwa Amir Mahmud yang menjadi Menteri Dalam Negeri pada waktu itu mengucapkan kata-kata sedemikian. Juga tidak jelas, kepada siapa ucapan beliau tersebut dilontarkan. Namun yang jelas, apa yang diucapkannya itu ada dimuat dalam pers setempat, dan tidak pernah ada bantahan.
Terlepas dari apakah Kadrie Oening memang sesungguhnya pada waktu itu mau berhenti sebagai walikota, atau hanya sekedar untuk memancing opini masyarakat kalau dia berhenti, apa yang diungkapkan Mendagri Amir Mahmud tersebut menunjukkan bahwa beliau tidak menghendaki keberhentiannya. Ini menunjukkan juga bahwa Amir Mahmud senang dengan walikota (kepemimpinan Kadrie Oening, meskipun beliau tentunya mengetahui juga bahwa sebagai walikota, ayah dari seorang anak tunggal dan kakek dari seorang cucu tunggal itu ada kalanya berhenti sebagai cowboy demi untuk kemajuan kotamadya Samarinda yang dia sebagai penguasa tunggalnya pada waktu itu.
Dan apa yang diungkapkan Mendagri yang diberitakan dalam media massa itu kira-kira merupakan suatu “isyarat” bagi Kadrie Oening bahwa dia harus bersedia tampil lagi sebagai walikota untuk masa jabatan kedua.
Perlu diterangkan, pelantikan Kadrie Oening sebagai walikota Samarinda untuk kedua kalinya itu berlangsung bulan Februari 1975 sesudah selama lebih dua tahun berstatus sebagai pejabat walikota, berhubung masa jabatannya yang pertama sudah berakhir bulan November 1972.Inilah sebabnya mantan Asisten Wedana di beberapa Kecamatan dan Wedana Kutai Selatan itu lebih 12 tahun seluruhnya menjadi Bapak Samarinda, Kota yang 66 tahun lalu justru melahirkannya itu.
Sebagai Walikota yang kedua kalinya Kadrie Oening sebelumnya merupakan calon tunggal yang pada waktu itu masih dimungkinkan menurut peraturan yang berlaku.
Dapat ditambahkan 6 hari sebelum berpulangnya itu Kadrie Oening sekeluarga sedianya akan berangkat ke Jawa via Ujung Pandang menumpang kapal (dari Pelni Balikpapan), sekalian untuk mengambili anak dan cucunya yang berdiam di kota ini Bahkan tiketnya sudah dibeli. Namun Tuhan Maha Perencana menentukan lain. Alih-alih akan naik kapal, Kadrie malah masuk rumah sakit. Padahal beberapa saat sebelum keberangkatann tiket sudah berada di tangan itu. Keluar dari rumah sakit pada pagi 6 Juni lalu sesudah empat hari dirawat, hanya tinggal jasadnya.
Kasusnya sama yang menimpa H Achmad Dahlan dan Istri 3 tahun lalu yang juga sudah membeli tiket untuk kembali ke Samarinda dari Jakarta dengan menumpang kapal Kambuna yang berangkat tanggal 9 Juli 1986, dari Tanjung Priok dengan singgah di Ujung Pandang. Namun pada 7 Juli 2 hari sebelumnya kedua suami istri itu meninggal dunia karena kecelakaan mobil yang ditumpanginya, sehingga jenazahnya saja lagi yang esok harinya diterbangkan ke Samarinda untuk dimakamkan.
H.M Kadrie Oening kini sudah tiada. Harimau Meninggalkan Belang, manusia Meninggalkan Nama. Demikian bunyi pepatah dalam bahasa kita. Namun yang dimaksud dalam pepatah ini tentunya bukan asal ngaran (nama saja), melainkan nama yang cemerlang yang sinarnya bertahan lama, untuk tidak mengatakan abadi.
Dan ngaran seperti yang dimaksudkan di atas, terutama untuk Kotamadya Samarinda, telah berhasil diwariskan oleh almarhum HM. Kadrie Oening.
Samarinda, 19 Juni 1989
Editor : Akhmad Zailani