Samarinda di Mata Seorang Pengembara

PenulisOemar Dachlan

            Kiranya tidak berlebihan, kalau Kota Samarinda dan Kaltim umumnya mendapat satu kehormatan besar atas pengembara (meski secara sepintas) oleh seorang penulis dalam majalah bulanan INTISARI, majalah Indonesia yang paling luas peredarannya itu. Penulisan pun bukan orang sembarangan. Meski warga negara Indonesia sendiri, ia sudah sering beeeerkelana ke berbagai negara. Antara lain, Eropah, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia dan lain-lain. Kesan-kesan kunjungannya selalu dihidangkan dalam Intisari.

Om H.O.K Tanzil bersama paspor pertamanya, diambil dalam kesempatan santap siang di kediaman keluarga Tanzil. Beliau adalah penulis perjalanan tenar di Majalah INTISARI.
Foto R. Ukirsari Manggalani/National Geographic Traveler

            Penulisan itu HOK Tanzil yang bersama istrinya mengunjungi Kaltim April lalu. Kesan-kesannya selama berada di Samarinda ia tuangkan dalam Intisari edisi Agustus tahun 1979 dalam satu tulisan yang berjudul :”Melancong ke Kalimantan “.

            Dari tulisannya itu dapat diketahui bahwa orang tua Tanzil kelahiran Samarinda. Dan dia sendiri sebelumnya pernah pula ke Kaltim, yaitu 39 tahun yang lalu.

            Berbeda dengan kebanyakan wartawan atau penulis dari luar daerah yang datang ke daerah ini, lebih banyak membicarakan hal-hal yang jelek saja. Tanzil malah mengemukakan kesan-kesannya yang bagi masyarakat Kaltim menimbulkan kebanggaan bila membacanya.

            Lebih-lebih kesannya mengenai Samarinda yang dikunjunginya, dan sekitar 40 tahun meninggalkannya. Antara lain ia menulis : Dari beratus-ratus kota  di luar negeri atau pun dalam negeri, menurut saya disini (Samarinda –Oe D) relatif paling banyak rumah makan minum/jajan tersebar di seluruh Kota ….”

            Mengibaratkan sekali bahwa sebagian besar rumah makan dan toko tetap buka sampai pukul 22.00. Pada jam itu pun tampak masih ramai. Bahkan banyak rumah makan masih buka, sampai tengah malam setelah-bioskop usai.

            ”Menyenangkan sekali karena (di Samarinda –Oe D) tidak ada tukang parkir, kecuali bila nonton bioskop”.

            Meskipun mungkin tanpa disengaja, atau bukan menjadi –tujuannya, tulisan Tanzil yang kita kutip adalah merupakan semacam promosi bagi Samarinda untuk orang-orang luar daerah maupun luar negeri, terutama paara wisatawan. Dengan tulisannya  itu Tanzil seolah-olah hendak mengatakan bahwa tidak usah khawatir tidak dapat mengisi perutnya. Sebab banyak rumah makan yang masih buka dan tidak sulit mencarinya, karena –seperti-diungkapkan Tanzil yang pengelana dunia itu – tersebar di seluruh kota.

            Yang datang ke kota ini dengan kendaraan sendiri misalnya , tidak perlu sebentar-bentar mengeluarkan uang untuk memberi tip pada tukang parkir, seperti di kota-kota di Jawa dan mungkin luar negeri. Sebab tukang parkir hanya di bioskop.

            Namun yang lebih membuat bingung warga Kota Samarinda, terutama Pak Kadrie Oening sebagai  Walikotanya, ialah pujiannya mengenai  air leding di ibu kota Kaltim. “Yang patut dipuji ialah baik dan jernihnya air saluran. Tak ada taranya di Indonesia “ tulis Tanzil.

            Mungkin pujian itu agak berlibihan, mengingat menurut pengakuannya pada bagian lain tulisannya, dari 27 Propinsi di Indonesia baru 16 yang dikunjunginya.

            Meski demikian, masih sebagian besar penduduk Samarinda belum tiap hari mendapat air leding yang jernihnya “tidak ada taranya di Indonesia “ itu.

            Tapi terlepas dari soal ini Kaltim patut berterima kasih kepada pengelana dunia HOK Tanzil atas promosinya, yang banyak sedikitnya mengharumkan Samarinda tersebut.

Samarinda, 10 Agustus 1979.

Penulis : Oemar Dachlan

Editor : Akhmad Zailani