Walikota Kadrie Oening, Bebaskan Samarinda dari Becak Hingga Bersihkan Lokasi Citra Niaga dari Kekumuhan

 

Pada hari Selasa 6 Juni lalu, sekitar jam 6:30 pagi telah berpulang ke Rahmatullah dalam usia 66 tahun, H.M. Kadrie Oening. Inna lillahi wa-inna ilaihi roji’un. Berpulangnya di RSU A. Wahab Sjaharanie, sesudah selama beberapa hari dirawat di ruang ICCU.

            Bagi warga Kotamadya Samarinda, bahkan Kaltim pada umumnya, tentunya nama Kadrie Oening bukan asing lagi. Sudah sangat dikenal malah. Almarhum adalah Walikota Samarinda ke-3 (sesudah Kapten Soedjono dan Mayor (kemudian Letkol) Ngoedijo Bc.HK.)  dan Walikota Samarinda pertama hasil pemilihan DPRD-nya, Juga Walikota Samarinda pertama yang sipil. Selain itu dalam sejarah Kotamadya Samarinda yang kini sudah berusia 29 tahun lebih, hanya atau baru Kadrie Oening yang pernah 2 kali berturut-turut memegang jabatan Walikotanya.

            Generasi terdahulu penduduk Samarinda, tepatnya yang kini berusia di atas 25 tahun, tentunya masih ingat bahwa HM. Kadrie Oening untuk pertama kali memegang jabatan Walikota sejak bulan November 1967, beberapa bulan sesudah A. Wahab Sjaharanie menjadi gubernur KDH Propinsi Kalimantan Timur untuk masa jabatan yang pertama (Agustus 1967). Dan tentunya kita masih ingat, bahwa pada waktu itu Samarinda masih merupakan “kota sejemput” dan “semrawut”.

            Apa yang disebut kebersihan, boleh dikatakan belum dikenal di “Kota Mahakam “ini. Meskipun Samarinda adalah ibu kota Kaltim sejak hampir 10 tahun sebelumnya (pada awal tahun 1957), areal yang di tengah kota yang kini sebagian besarnya menjelma sebagai pusat perbelanjaan “Citra Niaga”, (yang oleh orang-orang , luar daerah bahkan luar negeri dikagumi karena keindahan kerapiaan dan keteraturannya) pada waktu itu merupakan kompleks  pemukiman penduduk yang kumuh, yang di sana sini menjadi tempat penjudian dan pelacuran, tegasnya dihuni oleh para penjudi dan WTS.

            Dapat dibayangkan betapa kotornya baik “lahir” maupun “batin”  Samarinda sampai tahun 1967 ini, nota bene di pusat kotanya. Namun baru beberapa bulan sesudah Kadrie Oening yang berpendidikan Sekolah Pamong Praja di Makassar (kini Ujung Pandang) untuk masa jabatan pertama diberi kepercayaan menjadi Walikota, yang menjadi sasaran kegiatannya yang utama ialah “membersihkan” bagian pusat kota yang sama sekali tidak “enak dipandang mata” . Untuk ini memerlukan ketegasan dan kebersihan dalam bertindak , antara lain mengingat juga bahwa para penghuni pemukiman kumuh tersebut banyak terdiri dari orang-orang yang diistilahkan dengan “ban buta” (sebab memang merupakan kompleks perumahan liar). Tetapi sifat-sifat ini ada pada diri Kadrie Oening, yang kebetulan putra Samarinda sendiri itu.

            Meski pun pada waktu itu, anggaran belanja daerah masih “pas-pasan” (karena Kaltim baru saja muncul sebagai “daerah dollar”), namun dalam waktu hanya sekitar satu setengah tahun yakni sekitar pertengahan tahun 1969, kompleks pemukiman penduduk yang “berkalang di mata” di pusat kota tersebut, sudah dapat di lenyapkan (dibumi- ratakan).

            Dapat dikatakan, inilah keberhasilan (sukses) pertama dari Walikota M. Kadrie Oening, dalam upayanya (kebijaksanaanya) menghapuskan citra buruk yang melekati Samarinda selama berpuluh tahun, sejak sebelum dibentuknya Samarinda menjadikan  Kotamadya pada 21 Januari 1975.

            Perlu diterangkan, becak ( yang di Samarinda lazimnya disebut “roda tiga”) sudah dikenal di kota ini sejak zaman penjajahan Belanda. Sesudah kemerdekaan, bertambah banyak dan semakin banyak jumlahnya yang memadai jalan-jalan dalam kota.

            Lebih-lebih sesudah memasuki tahun 1970-an. Sehingga pada waktu itu sering terjadi kecelakaan lalu lintas yang terutama disebabkan oleh ugal-ugalannya para abang becak. Dan  bukan jarang meminta korban bahkan sampai meninggal dunia yang umumnya terdiri dari penumpang becak.

            Berdasarkan juga pertimbangan bahwa : usaha mencari nafkah dengan cara mendorong penumpang sekuat tenaga (yakni menjalankan becak) bertentangan dengan jiwa dan semangat yang terkandung dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab khususnya dan pancasila umumnya”, maka Walikota M. Kadrie Oening menempuh kebijaksanaan untuk menghapuskan becak itu dari Samarinda.

            Tindakkan menghapuskan becak itu merupakan pekerjaan yang juga sangat berat, karena kendaraan roda tiga tersebut sudah ber”urat berakar” di Samarinda. Sedangkan di antara para pemiliknya terdapat juga oknum-oknum ABRI. Sehingga dalam memutuskan “Samarinda Bebas Becak”, tidak terdapat kekompakan di kalangan Muspida Kotamadya Samarinda.

Namun meski pun tidak seluruh Muspida menyetujuinya, Kadrie Oening tetap dengan pendiriannya : “becak harus lenyap dari Samarinda”. Tentu saja menuntut juga keberanian dan ketegasan untuk dapat melaksanakan, meski pun secara bertahap. Yakni tahap pertama  (dari 1 Agustus 19 s/d 30 September 1974, selama 2 bulan), dimulai jalan –jalan protokol yang di “bebas becak”kan, disusul tahap kedua (dari 1 Oktober  s/d 31 Desember 1974, selama 3 bulan) seluruh jalan dalam kota. Selanjutnya sejak 1 Januari 1975, berlaku tahap ketiga atau terakhir, yakni seluruh kota bahkan sluruh Kotamadya Samarinda merupakan “daerah bebas becak” (DBB).

            Tidak kecil hambatan yang dihadapi Walikota Kadrie Oening dalam melaksanakan apa saja yang sudah menjadi “kebulatan tekad”nya itu. Di antaranya ratusan abang becak pernah mengadakan unjuk rasa (demonstrasi) ke Balaikota supaya menghapuskan becak setidak-tidaknya ditangguhkan (ditunda) pelaksanaannya. Namun Kadrie Oening  dengan keberanian moril dan kekuatan mental yang dimilikinya, siap menghadapinya, yang akhirnya menyebabkan unjuk rasa itu mundur secara teratur”. Sebab dalam kebijaksanaannya menghapuskan kendaraan beroda tiga yang digerakkan dengan tenaga manusia itu, Walikota tidak menghapuskan begitu saja, melainkan sebagai “jalan keluar”nya dia mengajukan beberapa aternatif yang tidak “mematikan” mata pencaharian para bekas pengemudinya (abang becak).

            SAMARINDA “KOTA BECAK “- Sejak 1 Januari 1975 becak yang selama beberapa puluh tahun sejak zaman Hindia Belanda mendominasi jalan-jalan di Samarinda, sudah nampak tidak ada lagi beroperasi. Padahal Samarinda pernah dikenal sebagai “kota Becak” karena saking banyaknya jenis alat angkutan penumpang tersebut.

Demikianlah, sejak 1 Januari 1975 lalu, becak yang selama beberapa puluh tahun sejak zaman Hindia Belanda mendominasi jalan-jalan di Samarinda, sehingga Samarinda pernah dikenal sebagai “kota Becak” saking banyaknya jenis alat angkutan penumpang tersebut, tidak nampak lagi beroperasi. Tidak saja di Samarinda Kota, tetapi meliputi seluruh kotamadya Samarinda. Padahal di Jakarta sendiri sampai sekarang Pemerintah Daerahnya (DKI) belum berhasil menghapuskan  becak.

Samarinda termasuk kota pertama yang menghapuskan becak di Indonesia. Karena ketegasan dan keberanian Walikota Komas (Kotamadya Samarinda) HM Kadrie Oening.

            Mungkin atau dapat dipastikan Samarinda adalah kota pertama di seluruh Indonesia (yang mempunyai becak) yang berhasil menghapuskan jenis kendaraan yang tidak sesuai lagi dengan alam kemerdekaan. Dan ini adalah berkat ketegasan dan keberanian bertindak dari Walikotanya yang pada waktu itu dijabat oleh Haji. HM. Kadrie Oening yang telah almarhum pada 6 Juni lalu.

Samarinda, 9 Juni 1989

Penulis : Oemar Dachlan

Editor : Akhmad Zailani