Di Balik Kandas Investasi Miras

 
 
 
Oleh  :  Tamsil Linrung
(Anggota DPD RI)
 
 
 
Sebaliknya, secara politis kita patut bertanya. Kok bisa, pemerintah merilis kebijakan yang serampangan? Tanpa mendengar masukan publik sebelumnya. Apalagi ini persoalan sensitif bagi masyarakat Indonesia.
 
 PERDEBATAN soal investasi miras adalah sesuatu yang tidak perlu. Buang-buang waktu. Semua agama di Indonesia tidak ada yang menghalalkan miras.

 
Masyarakat di beberapa daerah yang ‘dijual’ sebagai pembenaran bahwa miras merupakan budaya lokal mereka, juga dengan tegas menolak. Kompak mengecam upaya legitimasi dan legalisasi miras tersebut.
 
Bila akhirnya Perpres soal investasi miras dicabut, itu sudah logis secara sosiologis. Tidak perlu dibesar-besarkan. Apalagi dipuja-puji.
 
Sebaliknya, secara politis kita patut bertanya. Kok bisa, pemerintah merilis kebijakan yang serampangan? Tanpa mendengar masukan publik sebelumnya. Apalagi ini persoalan sensitif bagi masyarakat Indonesia.
 
Maka jangan salahkan publik bila kemudian muncul kecurigaan. Bahwa rencana investasi miras merupakan agenda titipan. Bukan murni untuk kepentingan masyarakat seperti selama ini digembar-gemborkan. Mendorong investasi untuk rakyat, katanya.
 
Bagi saya, rencana investasi miras yang akhirnya digagalkan oleh protes serempak publik itu, merupakan pintu masuk untuk melihat lebih dalam betapa acakadut tata kelola negara. Tidak punya pijakan ideologis dan filosofis. Dilakukan secara sporadis.
 
Termasuk agenda pembangunan ekonomi yang salah satunya bertumpu pada investasi, namun tidak menguntungkan masyarakat. Sebaliknya, justru menimbulkan efek destruktif. Investasi berakibat buntung.
 
Legalisasi investasi miras yang akhirnya gagal ini, ketiban sial saja. Karena bersinggungan dengan nilai-nilai keagamaan secara langsung. Menyangkut sentimen publik secara luas. Jadi atensi seantero republik. Di mana masyarakat kita sangat sensitif pada isu tersebut.
 
Lalu bagaimana dengan isu investasi yang menyerempet ke persoalan lingkungan, yang minim perhatian? Bagaimana dengan izin-izin pertambangan yang menimbulkan kerusakan alam dan mengakibatkan berbagai bencana akhir-akhir ini? Apa sikap kita dengan reklamasi, pengurukan laut dan penambangan pasir yang merusak ekosistem serta merenggut mata pencaharian nelayan?
 
Betapa banyak tanah adat di pedalaman Papua, Maluku, Sumatera, Kalimantan Nusa Tenggara yang dicaplok korporasi. Dikonversi jadi perkebunan sawit milik konglomerat, jadi ladang properti hingga area tambang.
 
Namun, pembelaan kepada kelompok-kelompok masyarakat kecil itu sangat minim. Terdengar sayup-sayup. Hanya segelintir aktivis dan politisi yang bersuara. Investasi yang tak kalah merusak itu, berjalan nyaris tanpa sorot pemberitaan. Bisa ditebak kenapa demikian. Karena tidak bersinggungan dengan emosi dan sentimen publik secara luas.
 
Inilah problem kita bersama. Over reaksioner terhadap satu isu. Namun cenderung tidak konsisten dan bias nilai. Bila alasan menolak dan melawan rencana legalisasi investasi miras karena hal itu merusak masyarakat, maka alasan yang sama pula kita ajukan untuk menolak berbagai kebijakan yang sama mudharatnya.
 
Logika advokasi kita mestinya jadi menara suar yang berpedoman pada nilai-nilai sebagaimana tertuang dalam dasar-dasar benergara dan falsafah berbangsa. Saat itu, sudah terlalu banyak kebijakan pemerintah yang cenderung merugikan kepentingan bersama. Namun dipaksakan.
 
Bagaimana misalnya UU Omnibus Law yang juga akhirnya menjadi aturan pijakan investas miras tersebut, memuat banyak problem. Lalu berbagai insentif yang dimaksudkan untuk mendorong pemulihan ekonomi, namun justru berpotensi memperdalam ketimpangan.
 
Kebijakan yang berorientasi pada keuntungan ekonomi konglomerasi. Seperti penghapusan pajak, stimulus triliunan untuk BUMN, Dana talangan untuk menutupi korupsi Jiwasraya, serta berbagai kebijakan lain yang jauh dari agenda memperjuangan kepentingan rakyat.
 
Kita mengerti, Indonesia butuh investasi. Negara sedang kusut. Ekonomi terpuruk, sementara hutang semakin menumpuk. Hingga akhir Januari 2021, media melaporkan jumlah utang Indonesia berada di angka 6.233,14 triliun. Bunganya terus meningkat. Tahun ini naik lagi 18,8 persen, dari 314,1 triliun pada 2020 menjadi 373,26 triliun.
 
Kenyataan itu memang harus kita atasi. Sehingga fokus membangun sistem ekonomi kerakyatan merupakan solusi utama yang harus jadi misi bersama. Sistem ekonomi yang mengarus utamakan kepentingan rakyat.
 
Sebagai investor, tenaga produksi dan menguasai jalur-jalur distribusi. Ekonomi yang dari hulu ke hilir, semua bergerak dengan denyut nafas rakyat.
 
Kalau pun ada proyek-proyek besar dan perlu partisipasi asing dan konglomerasi bisnis, harus dipastikan agar para investor itu tidak mendominasi dari hulu hingga hilir. Seperti saat ini, di mana ladang bahan baku, mesin-mesin produksi, hingga rantai distribusi dikuasai oleh segelintir pihak.
 
Sialnya, mereka diberi karpet merah hingga ke gang-gang di perkampungan. Terkesan dibiarkan menjepit warung dan kios-kios milik rakyat kecil yang sebetulnya menjadi tulang punggung ekonomi. Patut dicatat, geliat ekonomi rakyat menggerakkan sektor ril. Bukan mengakumulasi kapital.
 
Akhirnya, di balik kandas investasi miras, pengawalan ketat juga mesti kita curahkan untuk mengoreksi berbagai kebijakan pemerintah. Agar tidak mengusik rasa keadilan.
 
Ini cara kita menegakkan konstitusi negara. Meluruskan arah kiblat bangsa. Dalam sistem demokrasi, semua sah-sah saja. 
 
Editor : Sulthan Abiyyurikzy Putrajayagni