Impor Sampah Indonesia, Celah Hukum hingga Kirim Balik Limbah Asing

 
 

Sampah adalah masalah darurat bagi Indonesia, yang tidak saja memiliki masalah pengelolaan sampah dalam negeri, tapi juga menjadi tempat “pembuangan” bagi sampah negara-negara maju. Impor sampah plastik ke Indonesia yang semula bertujuan sebagai bahan baku industri terbukti menimbulkan masalah baru, yang menambah timbunan kotoran tak terpakai. Untuk itu, Indonesia telah berupaya mengambil tindakan yang lebih nyata, salah satunya mulai mengirim balik sampah negara maju ke negeri asalnya.

Oleh: Fadhila Ratnasari (Mata Mata Politik)

Impor sampah yang berlimpah ke Indonesia baru-baru ini telah menjadi sorotan mengkhawatirkan. Meski penanganan limbah dalam negeri masih belum bisa dilakukan dengan baik, impor sampah dari luar negeri terus berdatangan. Tak hanya menjadikan Indonesia sebagai tempat sampah bagi negara asing, Indonesia juga terpapar risiko melalui limbah plastik ilegal hingga dampak yang ditimbulkan dari timbunan sampah terhadap masyarakat.

 

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah Ecoton Prigi Arisandi mengatakan bahwa masuknya sampah dengan merk dan lokasi jual dari luar Indonesia diduga disebabkan oleh kebijakan China tahun 2018 untuk menghentikan impor sampah plastik dari sejumlah negara di Eropa dan Amerika. Akibatnya, sampah plastik pun beralih tujuan ke negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia.

Selain China, Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) merilis bahwa sejumlah negara ASEAN telah merespon perubahan perdagangan sampah plastik global dengan pembatasan impor. Bulan Juli 2018, pemerintah Malaysia mencabut izin impor 114 perusahaan dan menargetkan pelarangan impor tahun 2021. Thailand juga menargetkan pelarangan impor sampah plastik akibat kenaikan drastis impor sampah plastik mereka dari Amerika sebesar 2.000 persen atau 91.505 ton tahun 2018. Vietnam juga sudah tidak lagi mengeluarkan izin baru untuk impor sampah dan reja plastik, kertas, serta logam.

Negara tetangga terdekat Indonesia juga telah melakukan langkah serupa untuk menangkis masuhnya sampah ke negara mereka. Menteri Energi, Teknologi, Ilmiah, Lingkungan dan Perubahan Iklim Malaysia Yeo Bee Yin menyatakan bahwa 60 kontainer berisi sampah yang diimpor secara ilegal, akan dikirimkan kembali kepada 14 negara pengirim, termasuk Amerika Serikat, Jepang, Prancis, Kanada, Australia, dan Inggris. Sebelumnya, Presiden Filipina Rodrigo Duterte memerintahkan pengiriman 69 kontainer berisi sampah kembali ke Kanada. Jika Kanada menolak, Duterte memerintahkan agar kontainer-kontainer itu ditinggalkan di perairan Kanada.

Sementara itu, di Indonesia telah terjadi peningkatan impor sampah dari 10,000 ton per bulan pada akhir 2017 menjadi 35,000 ton per bulan tahun 2018. Sementara itu, peningkatan impor sampah plastik dari 124.433 ton tahun 2013 menjadi 283.152 ton tahun 2018. Diperkirakan ada lebih dari 300 kontainer yang sebagian besar mengangkut sampah plastik ke Jawa Timur setiap harinya. Indonesia bersama negara-negara Asia Tenggara lainnya telah menampung 3 persen limbah plastik global yang kebanyakan berasal dari Amerika Serikat.

Menurut data Greenpeace yang dikutip Mongabay, eksportir sampah terbanyak ke Indonesia adalah Inggris dengan sekitar 67,807 ton pada Januari-November 2018, diikuti 59,668 ton dari Jerman, 42,130 ton dari Australia, kemudian berturut-turut Amerika Serikat, Belanda, Jepang, Belgia, Prancis, Spanyol, dan Hongkong di peringkat berikutnya.

Celah Kebijakan Ubah Indonesia Jadi Tempat Buang Sampah Negara Maju

Impor limbah ke Indonesia melonjak dari 10.000 ton per bulan pada akhir 2017 menjadi 35.000 ton per bulan pada akhir 2018. (Foto: Reuters)

Celah hukum

Menurut Prigi Arisandi, dikutip dari VOA Indonesia, sejak November 2018 telah ditemukan gejala-gejala peningkatan impor sampah plastik di Indonesia. Dalam impor bahan baku kertas salah satu perusahaan kertas ditemukan di dalamnya bercampur dengan 60 persen sampah plastik. Berdasarkan kajian atas merk sampah plastik yang masuk, diketahui bahwa lebih dari 50 merk berasal dari lebih 20 negara di Eropa, Amerika, Australia, dan Asia.

Larangan masuknya sampah ke wilayah Indonesia sebenarnya telah diatur di Bab X Larangan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, yang melarang pencampuran sampah dengan limbah berbahaya dan beracun maupun mengelola sampah yang menyebabkan pencemaran serta perusakan lingkungan. Larangan serupa tentang masuknya limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) ke Indonesia juga disebutkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Basel melalui Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1993. Konvensi Basel mengatur perpindahan lintas batas limbah secara internasional, yang menetapkan pengetatan atas pembuangan limbah beracun berikut turunannya terhadap dampak lingkungan hidup efektif. Tanggal 10 Mei 2019, 187 negara telah mengambil langkah besar untuk mengendalikan krisis perdagangan plastik dengan menyertakan plastik ke dalam Konvensi Basel. Perjanjian tersebut berupaya mengontrol pergerakan sampah dan limbah berbahaya beracun antar negara, terutama dari negara maju ke negara berkembang.

Prigi menjelaskan bahwa impor sampah pada akhirnya menimbulkan dampak berbahaya karena residu yang dihasilkan dari proses pengolahan limbah. Pasalnya, tidak semua limbah yang dimpor sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31/M-DAG/PER/5/2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun. Impor limbah plastik berupa scrap diperbolehkan, tapi tidak boleh menyisakan residu atau tercampur dengan bahan yang tidak bisa didaur ulang.

Dari Mongabay, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dilaporkan mengajukan izin rekomendasi impor sampah kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya tertanggal 1 November 2018. Airlangga dalam surat izinnya menyebutkan kebutuhan bahan baku plastik nasional sebanyak 5,6 juta ton, bahan baku plastik virgin bisa terpenuhi 2,3 juta ton, dan impor 1,6 juta ton. Artinya, masih diperlukan sisa seperti scrap maupun reja plastik impor sebagai bahan baku industri plastik.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mengaku memahami bahwa industri sangat perlu bahan baku dalam jumlah banyak, namun itu harus memperhatikan masalah lingkungan. Impor scrap plastik bisa dibuka asal tak menimbulkan masalah baru dan jadi sampah di negeri ini. Menteri Siti menegaskan bahwa impor limbah plastik harus dipastikan tidak menambah timbunan sampah. Impor yang masuk sepatutnya bukan limbah yang tidak bisa didaur ulang, agar tetap sejalan dengan upaya pengurangan dan pengelolaan sampah plastik yang kini terus digencarkan.

Kelompok lingkungan Bali Fokus mengklaim bahwa peraturan Kementerian Perdagangan tahun 2016 tentang impor limbah tidak berbahaya dan beracun memungkinkan pihak-pihak tertentu untuk menyelundupkan sampah “yang tidak dibutuhkan” ke Indonesia. Peraturan tersebut memungkinkan impor, di antara sejumlah bahan, seperti plastik, logam, dan kertas untuk mendukung industri lokal, tetapi mengharuskan importir plastik untuk mendapatkan persetujuan hanya dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia.

Peraturan tersebut mengklasifikasikan plastik sebagai limbah Kategori B yang harus melalui inspeksi oleh pengawas independen sebelum diimpor dan oleh petugas bea cukai setelah tiba di pelabuhan Indonesia. Menurut pendiri Bali Fokus Yuyun Ismawati, importir limbah logam dan kertas tidak diharuskan untuk memperoleh dokumen hasil inspeksi seperti itu.

Yuyun menambahkan bahwa kebijakan itu bermasalah karena besi tua dan kertas bekas termasuk dalam Kategori A, yang tidak memerlukan inspeksi sebelum dan selama impor. Celah itu pada akhirnya dimanfaatkan oleh beberapa perusahaan untuk mengimpor limbah plastik berbahaya. Para eksportir dilaporkan memasukkan sampah plastik yang tidak dapat didaur ulang ke dalam paket impor yang dikirimkan.

Penyebab lain dari lolosnya limbah plastik ke Indonesia ialah ketidaktegasan pengaturan dalam Permendag mengenai klasifikasi HS code (kode perdagangan komoditas) yang mencantumkan kata “dan lain lain.” Itu tampaknya menjadi celah bagi impor limbah plastik sehingga dapat bercampur dengan bahan yang sulit didaur ulang.

Kepada Media Indonesia, Menteri LHK Siti Nurbaya menuturkan bahwa pihaknya akan mengusulkan revisi pos tariff atau HS code impor limbah non-B3 scrap plastik agar tidak memiliki unsur “dan lain-lain” untuk menghindari pencampuran sampah tersebut.

Aktivis lingkungan dari Komunitas Nol Sampah Hanny Ismail mengatakan bahwa impor sampah sebenarnya dapat mengakomodasi kebutuhan rakyat Indonesia. masyarakat bersedia menampung sampah plastik di komunitas mereka karena adanya keuntungan ekonomi dari memilah dan menjual kembali sampah plastik itu, misalnya sebagai bahan membuat biji plastik maupun bahan bakar produksi pabrik tahu dan krupuk di Jawa Timur.

Para pemulung sampah di Jatim mampu meraup upah 500 ribu rupiah per minggu hingga menyekolahkan anak-anak mereka dari proses pemilahan limbah tersebut. Sayangnya, impor dan pengolahan limbah plastik tidak serta-merta memberikan keuntungan tanpa dampak yang jauh lebih mengerikan.

Bahaya sampah plastik

Hasil uji laboratorium yang dilakukan peneliti Ecoton Andreas Agus Kristanto Nugroho atas sampel dari 11 saluran pembuangan pabrik kertas dan plastik di sepanjang sungai di Surabaya menemukan adanya partikel mikroplastik di dalam air. Terdapat banyak serpihan mikroplastik yang dominan per mililiter sampel air sungai, rata-rata di bawah jumlah yang disepakati di berbagai jurnal ilmiah.

Kepada VOA Indonesia, Andreas menyebutkan bahwa partikel mikroplastik sangat berbahaya bagi makhluk hidup yang secara langsung maupun tidak langsung hidup di air yang terkontaminasi mikroplastik. Mikroplastik dapat menjadi transporter bagi limbah beracun dan zat berbahaya lainnya.

Dari 168 ikan yang diteliti dengan dibedah lambungnya, ditemukan mikroplastik di lambung semua jenis ikan yang diteliti. Karena plastik tidak akan hancur ketika dicerna oleh makhluk hidup, itu akan mengikat bahan-bahan lain yang dari limbah dan racun yang ada di perairan sehingga akhirnya masuk ke saluran pencernaan makhluk hidup terutama ikan.

Selain mencemari organisme laut, fenomena pencemaran plastik di laut juga mengancam manusia. Dua penelitian terpisah yang dilakukan oleh para peneliti dari Universitas Hasanuddin Makassar dan Pusat Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan kandungan mikroplastik pada garam dan ikan di Indonesia. Terdapat 10-20 partikel mikroplastik yang ditemukan per kilogram garam.

Kepada Kompas, peneliti kimia laut dan ekotoksikologi Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Reza Cordova menyatakan telah melakukan penelitian kandungan mikroplastik pada garam di beberapa tambak di daerah pantai utara Jawa, meliputi Pati, Kudus, Demak, dan Rembang. Sebelumnya, penelitian organisasi jurnalisme Orb Media dan State University of New York menemukan bahwa dua merk asal Indonesia termasuk dalam 11 merk air dalam kemasan yang telah tercemar mikroplastik.

Dampak lainnya disebabkan oleh penggunaan bahan bakar plastik di pabrik, yang konon jauh lebih murah daripada bahan bakar kayu. Di sebuah pabrik tahu di Tropodo, jawa Timur, misalnya, dilaporkan bahwa asap hitam pekat pembakaran yang keluar dari cerobong asap dapat menimbulkan gangguan tenggorokan, mata pedih, sedap menyelimuti lingkungan dengan abu dan bau tak sedap. Para penghuni area tersebut, terutama anak-anak yang rentan, juga terpapar risiko gangguan pernapasan seperti batuk.

Upaya penanggulangan

Prigi dari Ecoton menegaskan bahwa pihaknya akan mengirimkan surat kepada kementerian terkait agar memperhatikan ancaman bahaya sampah plastik bagi kelestarian lingkungan hidup. Dinukil dari VOA Indonesia, Prigi menyebutkan surat Menteri Perindustrian kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tertanggal 1 November 2018 yang meminta rekomendasi dibukanya impor plastik, serta persiapan sejumlah pabrik kertas meningkatkan kapasitas mesin industrinya, yang jelas merupakan indikasi masuknya sampah plastik impor ke Indonesia.

Ecoton telah menyerukan Menteri Perindustrian agar memberikan sanksi kepada industri, khususnya daftar 11 industri di Jawa Timur yang diduga melakukan impor ilegal, tidak hanya kertas tapi juga plastik. Prigi juga menyurati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk berhenti mengimpor sampah plastik, kemudian Menteri Keuangan terkait dengan Bea Cukai. Prigi telah mencurigai adanya kebocoran pengawasan sehingga ratusan kontainer sampah plastik impor dari Amerika dan Inggris dapat lolos ke Indonesia.

Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun dan Berbahaya KLHK Sayid Muhadhar menjelaskan kepada Detik News mengenai masuknya sampah impor ke Indonesia. Hal itu terungkap berkat kecurigaan petugas Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur mengenai keberadaan kontainer mencurigakan, yang lantas diarahkan ke jalur khusus untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Kelima kontainer itu diketahui merupakan milik PT Adiprima Suraprinta. Berdasarkan izin yang dimiliki importir dan Pemberitahuan Impor Barang (PIB), kontainer itu dinyatakan berupa scrap kertas sehingga sesuai dengan Peraturan Kementerian Perdagangan. Menurut aturan, scrap kertas hanya boleh masuk dalam kondisi bersih, tidak terkontaminasi limbah B3, dan tidak tercampur sampah. Faktanya, isi kontainer itu bukan hanya scrap kertas belaka.

Sayid menuturkan bahwa dalam pemeriksaan bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kelima kontainer tersebut ternyata berisi sejumlah besar limbah lainnya, antara lain sepatu, kayu, popok bekas pakai, kain, kemasan makanan dan minuman, dan scrap plastik. Kelima kontainer berisi sampah itu kemudian dikirimkan balik ke Amerika Serikat lewat Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur untuk reekspor sejak hari Kamis (13/6).

Masalah sampah di Indonesia

Terlepas dari gawatnya masalah impor sampah asing ke Indonesia, bangsa ini sebenarnya telah menghadapi ancaman pelik sampah dalam negeri. Bulan November 2017, Bali mendeklarasikan “darurat sampah,” yang bermula dari protes sejumlah wisatawan dunia tentang kotornya Pantai Kuta. Deklarasi tersebut dilakukan oleh para pejabat Bali di sepanjang 6 kilometer yang mencakup Pantai Jimbaran, Kuta, dan Seminyak.

Pemerintah setempat juga telah mengerahkan 700 petugas kebersihan dan 35 truk untuk membuang 100 ton sampah setiap hari ke tempat pembuangan sampah terdekat. Gubernur Bali Wayan Koster telah meluncurkan Program Semesta Berencana Bali Resik Sampah Plastik di Lapangan Umum Kintamani, Bangli tanggal 7 April 2019, sebagai implementasi dari Peraturan Gubernur 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai.

Di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Kompas melaporkan bahwa seekor paus sperma ditemukan dalam keadaan mati dan membusuk tanggal 19 November 2018. Penemuan tersebut menggegerkan banyak pihak karena terdapat sekitar 5,9 kilogram sampah plastik di dalam tubuh bangkai paus itu. Mirisnya, lokasi kematian paus sperma tersebut berada di kawasan konservasi Taman Nasional Perairan Wakatobi yang seharusnya menjadi wilayah aman bagi biota laut.

Selain dibebani oleh impor sampah asing, Indonesia juga telah menghasilkan limbah plastik dalam jumlah masif di dalam negeri. Dalam rangka memperingati World Clean-up Day tanggal 15 September 2018, Greenpeace Indonesia melakukan audit sampah plastik di tiga pantai Indonesia, yakni Pantai Kuk Cituis di Tangerang, Pandansari di Yogyakarta, dan Mertasari di Bali. Menurut data Greenpeace Indonesia yang dinukil Kompas, produksi sampah di Indonesia mencapai 65 juta ton per tahun.

Sebanyak 10,4 juta ton atau 16 persen di antaranya merupakan sampah plastik. Dari 10,4 juta ton itu, sampah yang didaur ulang hampir 1 juta ton atau sekitar 9 persen, sementara yang dibakar sekitar 1,2 juta ton atau sekitar 12 persen. Artinya, 8,2 juta ton atau 79 persen sampah plastik berakhir begitu saja di TPA maupun tempat-tempat umum seperti pantai.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyebutkan bahwa Indonesia adalah penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia yang dibuang ke laut. Berdasarkan data dari Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS), sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun, dengan sebanyak 3,2 juta ton adalah sampah plastik yang dibuang ke laut. Dari sumber yang sama, kantong plastik yang terbuang ke lingkungan ialah sebanyak 10 miliar lembar per tahun atau sebanyak 85.000 ton kantong plastik.

Keterangan foto utama: Seorang pekerja memilah-milah plastik bekas di pusat daur ulang di Jakarta, Indonesia, 20 November 2018. ( Mata Mata Politik/Foto: Reuters/Willy Kurniawan)