Horas Siregar, Wartawan Pejuang Setelah 2 Kali Dipenjara Belanda, Hukuman ke 3 Diusir Keluar dari Kaltim

 

FOTO. WARTAWAN TEMPO DOELOE. Jongkok kiri Hifnie Effendy, sampingnya Ardin Katoeng. Paling kanan Sjahranie Sjafei wartawan Masjarakat Baroe. Berdiri kanan, AA Adiwijaya (Pacifik). Satu-satunya perempuan Titiek Roelia (pembina). Foto diambil saat perpisahan dengan Pimpinan Umum SK Pembina, Anang Sulaiman (1955). dokumen : Oemar Dachlan

 

Suara Kaltim – Siapa wartawan yang paling ditakuti Belanda?

Satu diantara wartawan yang paling ditakuti Belanda, khususnya di Kaltim  bernama Horas Siregar. Horas berjuang melawan Belanda melalui koran, yang diterbitkannya sendiri. Tokoh wartawan ini dari Kota Baru Kalimantan Selatan. Nama korannya Panggilan Waktoe. Terbit 2 kali sebulan. Kemudian Horas pindah ke Samarinda, Panggilan Waktoe tetap diterbitkan. Belum didapat informasi, apakah Horas Siregar sempat di penjara saat berada di Kalsel. Yang jelas, saat di Kaltim, dia tiga kali di penjara Belanda. Tapi Horas tidak jera. Semangatnya makin menjadi-jadi. berjuang melalui koran menentang penjajajahn Belanda. Setelah tiga kali di penjara, dia kemudian diusir dari Kaltim.

Oemar Dachlan, tokoh pers Kaltim,  menyebutkan Horas Siregar  mempunyai watak yang keras. Dia seorang nasionalis. Isi korannya;  berisi propaganda melawan penjajahan Belanda.  Tulisan-tulisan di Panggilan Waktoemengobarkan semangat perlawanan terhadap Belanda yang menjajah Indonesia.

‘’Mungkin karena usianya yang masih muda,’’ kata Oemar Dachlan.

Baru terbit beberapa nomor, Horas Siregar sudah terkena perdelict oleh Landraad Samarinda dia dijatuhi hukuman penjara yang harus dijalani di penjara  Sukamiskin Bandung.

Keluar dari penjara Sukamiskin Bandung,  apakah Horas Siregar jera?  Ternyata tidak. Horas kembali aktif menerbitkan koran .  Tapi kali ini namanya koran Kalimantan Timoer.

Sama dengan koran koran Panggilan Waktoe, koran Kalimantan  Timoeryang diterbitkan Horas Siregar  ini juga “dijadikan senjata” untuk melakukan perlawanan terhadap kolonial  Belanda.  Isi korannya propaganda dan masih tetap mengobarkan semangat untuk melawan kolonial Belanda.

Untuk kedua kalinya, Horas Siregar berurusan dengan hukum, yang dibuat  kolonial Belanda.  Di dalam koran Kalimantan Timoer ada  tulisan berjudul  Impian Indonesia Merdeka. Penulisnya Dawat Setitik, nama samaran. Belum diketahui persis,  siapa Dawat Setitikitu. Oemar Dachlan pun tidak menyebutkan, siapa nama asli dariDawat Setitik.  Tidak menutup kemungkinan,  bisa jadi penulisnya Horas Siregar sendiri.

Tapi karena di koran Kalimantan Timoer , Horas Siregar diketahui sebagai penanggung jawab/pemimpin redaksi, maka  tulisan tersebut tanggung jawabnya.  Horas Siregar kembali dihukum dan harus menjalani penjara di Sukamiskin Bandung.

Usai menjalani hukuman yang kedua kalinya, Horas Siregar kembali ke Kalimantan Timur. Tapi tidak kembali ke Samarinda, melainkan ke Balikpapan. Dia menetap di Balikpapan dan bikin koran lagi.

Seperti Panggilan Waktoeyang dibredel kolonial Belanda, koran Kalimantan Timoer juga dilarang terbit kembali.  Horas Siregar pun kembali bikin koran namanya Warta Oemoen.

Sama seperti  2 koran yang telah diterbitkan sebelumnya,  koran Warta Oemoen berisikan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Warta Oemoen bukanlah koran yang memuji penguasa.  Warta Oemoen adalah koran yang berpihak ke rakyat.

Warta Oemoen banyak mengeritik BPM (Bataafssche Petroleum Maatschappi), sebuah perusahaan minyak  Belanda, yang berkedudukan di Balikpapan.  Sejak pertama terbit, Warta Oemoen bikin gelisah BPM.

Terbit beberapa kali, akhirnya atas desakan BPM, perwakilan pemerintah Hindia Belanda di Balikpapan kembali menghukum Horas Siregar, karena isi korannya,  Warta Oemoem,  “menganggu” BPM.

Horas Siregar kemudian dipesona-non-gratakan,. Artinya,  Horas Siregar harus diusir. Tidak hanya diharuskan keluar dari kota Balikpapan, tapi juga harus meninggalkan  Oost Borneo (Kalimantan Timur).

Horas Siregar pergi dari Kalimantan Timur. Tujuannya tidak pulang kampung, ke tempat asalnya Sumatera Utara. Horas Siregar ke Palu dan menetap lama di salah satu daerah Propinsi Sulawesi Tengah tersebut.

‘’Semenjak tahun 1938 saya tidak pernah lagi bertemu dengan Horas Siregar. Terakhir, setelah lebih dari 40 tahun,  secara tak terduga, saya bertemu dengan Horas di Jakarta. Ketika itu acara peluncuran buku berjudul Jagat Wartawan Indonesia, penyusun Soebagijo IN, yang diterbitkan Gunung Agung.  Buku Biografi tersebut memuat 111 wartawan tiga zaman, termasuk saya,’’ sebut Oemar Dachlan.

Semenjak pertemuan di acara peluncuran buku  Jagat Wartawan Indonesia di Gedung Kebangkitan Nasional eks Gedung Stovia di Jalan dr Abd rahman Saleh, Jakarta, Oemar Dachlan mengaku tidak pernah bertemu dan mengetahui keberadaan Horas Siregar lagi.

Penulis : Akhmad Zailani

 

BACA JUGA :  Horas Siregar, Wartawan Pejuang Setelah 2 Kali Dipenjara Belanda, Hukuman ke 3 Diusir Keluar dari Kaltim