SUARAKALTIM.com- Di penghujung bulan Februari ini, Rabu dini hari (28/2/2018), kembali KPK melakukan operasi tangkap tangan untuk yang kelima kalinya terhadap kepala daerah yang berlaku lancung melakukan korupsi.
KPK mencokok wali kota termuda Indonesia, Adriatma Dwi Putra atau yang sering dipanggil dengan sebutan ADP.
Dia ditangkap KPK bersama dengan sejumlah orang lainnya, termasuk ayahnya sendiri yang sedang mencalonkan diri sebagai Gubernur Sulawesi Tenggara.
Sangat tragis, ayah dan anak ditangkap oleh KPK secara bersamaan. Asrun sang ayah, sebelumnya adalah wali kota Kendari dua periode berturut-turut (2007-2012 dan 201202017).
Bersamaan dengan ADP dan Asrun, juga ditangkap seorang pengusaha (HH) dan beberapa orang lainnya. Hingga berita ini diturunkan KPK belum memberikan keterangan secara resmi. Juru bicara KPK yang dihubungi Bernas via WA belum membalas. Pesan sudah sampai namun belum dibaca.
KPK mencokok wali kota termuda Indonesia, Adriatma Dwi Putra atau yang sering dipanggil dengan sebutan ADP. Dia ditangkap KPK bersama dengan sejumlah orang lainnya, termasuk ayahnya sendiri yang sedang mencalonkan diri sebagai Gubernur Sulawesi Tenggara. Sangat tragis, ayah dan anak ditangkap oleh KPK secara bersamaan. Asrun sang ayah, sebelumnya adalah wali kota Kendari dua periode berturut-turut (2007-2012 dan 201202017).
Sementara itu calon Gubernur Lampung yang juga terkena OTT KPK, pada tanggal 16 Pebruai telah ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka.
Namun dengan pongahnya berujar, “Saya kira, saya akan menang. Makanya saya pikir niat lurus, maju terus, nomor 4 oke! Terus kece!” ujar Mustafa dengan jumawa sambil mengacungkan kedua tangannya ke depan seusai diperiksa oleh KPK, Jumat (23/2/2018).
Kita ingatkan agar masyarakat Lampung berhati-hati dalam memilih kepala daerah yang akan memimpin mereka selama lima tahun ke depan.
Kalau belum menjabat saja sudah melakukan tindakan tercela, bagaimana mungkin akan dapat menjadi pimimpin dengan baik?
Mustafa merupakan kader Nasdem dan didukung oleh PKS dan Hanura dalam pencalonan dirinya sebagai Gubernur Lampung.
Demikian juga halnya dengan Marianus Sae yang juga ditangkap oleh KPK dalam OTT yang dilakukan pada tanggal 11 Pebruari lalu. Marianus Sae disangka menerima suap dari seorang pengusaha.
Marianus Sae yang maju dalam pemilihan Gubernur NTT ini merupakan kader PDI-P yang berpasangan dengan Emelia Julia Nomleni. Marianus Sae dan pasangannya didukung oleh PDI-P dan PKB. Dalam penetapan calon Gubernur NTT, Marianus Sae tidak hadir.
Bersama dengan Marianus Sae juga ditetapkan Dirut PT. Sinar 99 Permai, Wilhelmus Iwan Ulumbu. Marianus Sae diduga menerima suap dari Wilhelmus sebesar 4.1 miliar rupiah. Suap ini diberikan terkait dengan sejumlah proyek di Kabupaten Ngada.
Kuat dugaan uang suap ini digunakan untuk membiayai ongkos kampanye Marianus Sae sebagai calon bubernur NTT.
Berselang beberapa hari setelah mencokok Bupati Ngada, KPK juga melakukan OTT terhadap Bupati Subang Imas Aryumningsih Selasa (13/2/2018) yang diduga menerima suap berupa penerimaan hadiah atau janji oleh Imas, terkait perizinan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Subang, Jawa Barat.
Bersama Imas KPK juga menangkap Kepala Bidang Perizinan PTSP Pemkab Subang berinisial ASP dan dua (2) orang pengusaha swasta berinisial MTH dan D. Imas bersama dengan D dan ASP diduga menerima suap dari pengusaha (MTH).Imas yang Ketua DPD Golkar Subang ini, maju kembali sebagai Calon Bupati dengan didukung oleh partai Golkar dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Sementara itu di awal Pebruari (4/2/2018), KPK juga menetapkan Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko sebagai tersangka penerima suap dari Plt. Kepala Dinas Kesehatan kabupaten Jombang, Inna Silestyanti.
Inna memberikan uang tersebut dengan harapan agar Bupati Nyono dapat mengangkatnya menjadi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang.
Uang haram yang diberikan oleh Inna tersebut berasal dari uang kutipan jasa pelayanan kesehatan dan kapitasi BPJS dari 34 puskesmas yang ada di Kabupaten Jombang.
Dari beberapa OTT di atas, dapat kita ketahui modus kepala daerah dalam melakukan korupsi.
Antara lain adalah dengan menerima uang muka dari para pengusaha yang akan diberikan proyek nantinya jika sudah menang dalam pilkada.
Selain itu modus pengangkatan pejabat juga dimanfaatkan sebagai lahan untuk melakukan tindak perbuatan tercela tersebut.
Yang tidak kalah pentingnya adalah, kita juga tersandera oleh UU Pemilu yang mengancam pengunduran diri para calon kepala daerah oleh sebab apapun. Penjara dan denda menanti jika mengundurkan diri.
Akibatnya masyarakat disodorkan calon pemimpin yang sudah rusak akhlaknya.
Selamat Datang di Pilkada Serentak 2018 yang diikuti antara lain oleh para koruptor. #
sk-008/bernas.id/Ilustrasi Sumber: Tim Grafis Bernas