Pilkada 2018 akan ‘penuh’ dengan para calon tersangka koruptor?

SUARAKALTIM,com- Penangkapan Bupati Subang, Jawa Barat, Imas Aryumningsih, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menambah daftar tersangka kasus dugaan korupsi yang ikut bersaing dalam pilkada tahun ini.

Selain Imas, ada Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko, yang berkompetisi di pemilihan bupati Jombang, Jawa Timur, serta Bupati Ngada Marianus Sae yang turut dalam Pemilihan Gubernur Nusa Tenggara Timur.

Masalahnya, berdasarkan Undang-Undang Pilkada dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum, calon yang terdaftar dalam pilkada tidak bisa mengundurkan diri, kecuali meninggal dunia.

Berapa banyak kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi sejak 2017?

Sepanjang 2017 hingga Februari tahun ini, KPK menangkap 15 kepala daerah sebagai tersangka. Dari jumlah tersebut, sebanyak delapan di antara mereka hendak maju lagi, atau mencalonkan anggota keluarganya dalam Pilkada serentak.

Adapun yang telah dipastikan terdaftar sebagai kandidat petahana berjumlah tiga orang, yakni Bupati Subang, Jawa Barat, Imas Aryumningsih; Bupati Jombang, Jawa Timur, Nyono Suharli Wihandoko; serta Bupati Ngada, Nusa Tenggara Timur, Marianus Sae.

 

Berapa banyak kepala daerah yang menjadi tersangka, tapi menang dalam Pilkada?

Dalam dua pilkada terakhir, selalu ada calon yang menjadi kepala daerah dengan status tersangka atau terpidana.

Pada Pilkada 2017, setidaknya terdapat empat figur.

  • Di Kabupaten Buton, Samsu Umar Abdul Samiun yang ditangkap KPK pada 25 Januari 2017 dan dijebloskan ke penjara tahanan KPK, memperoleh suara mayoritas dalam pemilihan Bupati-Wakil Bupati Buton, 15 Februari 2017.
  • Di Provinsi Gorontalo, Rusli Habibie dilantik oleh Presiden Joko Widodo sebagai gubernur Gorontalo masa jabatan 2017-2022. Padahal, Rusli sudah divonis hukuman delapan tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun oleh Mahkamah Agung pada Oktober 2016.
  • Di Kabupaten Mesuji, Lampung, Khamami memenangi pemilihan bupati, walau ditetapkan sebagai tersangka dugaan tindak pidana pemilu
  • Kemudian, Ahmad Marzuki terpilih sebagai bupati Jepara, meski dia telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dana Bantuan Politik (Banpol) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 2012-2013.

Pada Pilkada serentak 2015 lalu, ada empat kepala daerah yang dilantik dengan berstatus tersangka.

Mereka Wali Kota Gunungsitoli (Sumatra Utara) Lakhomizaro Zebua, Bupati Sabu Raijua (Nusa Tenggara Timur) Marthen Dira Tome, Bupati Ngada (Nusa Tenggara Timur) Marianus Sae, dan Bupati Maros (Sulawesi Selatan) Hatta Rahman.

Mengapa kondisi itu dimungkinkan?

Berdasarkan Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016, seorang calon bupati tetap bisa mengikuti Pilkada.

Bahkan, jika terpilih, Pasal 164 ayat 6 Undang-Undang tersebut secara gamblang menyebutkan dia dapat dilantik.

Pasal 164 ayat 6

Dalam hal calon Bupati/Walikota dan/atau calon Wakil Bupati/Wakil Walikota terpilih ditetapkan menjadi tersangka pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota.

Pasal ini terbukti digunakan beberapa tahun lalu.

Sebagian dari para tersangka yang kemudian terpilih dalam pilkada, bahkan dilantik di penjara.

Dua di antara mereka adalah Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Hambit Bintih dan Bupati Mesuji, Lampung, Khamami.

Hambit dilantik di Rutan Pomdam Guntur Jaya, Jakarta Selatan, dan Khamanik dilantik di LP Bawanglatak, Menggala.

Bisakah kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi mengundurkan diri dari pencalonan?

Tidak bisa.

Pasal 6 ayat 6 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota menyebutkan bakal calon yang telah menandatangani kesepakatan pengusulan dan telah didaftarkan kepada KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota, tidak dapat mengundurkan diri sejak pendaftaran.

Ayat berikutnya, menegaskan dalam hal calon mengundurkan diri, partai politik atau gabungan partai politik yang mencalonkan tidak dapat mengusulkan bakal calon dan/atau bakal calon pengganti dan pencalonannya dinyatakan gugur.

 

Mengapa peraturan semacam itu diciptakan?

Ketua lembaga Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi, mengatakan peraturan yang menihilkan kemungkinan seorang kandidat mengundurkan diri diciptakan untuk mencegah praktik ‘calon boneka’—figur yang sengaja dihadirkan kandidat lain seolah-olah ada persaingan yang adil.

“Ketentuan itu untuk mengantisipasi supaya tidak ada calon boneka atau praktik transaksional di mana dua kandidat bersepakat salah satu mundur sehingga kandidat lain menang,” kata Veri.

Apa dampaknya?

Ketua lembaga Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi, menilai baik pemilih maupun partai politik dirugikan.

“Pemilih dirugikan karena ada kandidat yang bermasalah hukum. Partai politik juga dirugikan karena kandidat yang mereka usung tidak bisa berkampanye. Dan yang paling masalah, jika seorang tersangka menang pemilihan. Ini kan persoalan serius,” ujarnya.

Namun, Komisioner KPU, Ilham Saputra, menepis penilaian tersebut.

“Kalau ada salah satu kandidat menjadi tersangka, kan ada kandidat lainnya. Ini tinggal bagaimana masyarakat bisa memilih dengan baik, yang benar, dan cerdas. Itu saja,” tegasnya.

Adakah yang bisa dilakukan untuk mengatasinya?

Sejumlah kalangan, seperti Ketua lembaga Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi, mendorong agar KPU merevisi peraturannya sehingga seorang tersangka tidak bisa bersaing dalam pemilihan.

Akan tetapi, Komisioner KPU, Ilham Saputra, menegaskan hal tersebut tidak diperlukan.

“Nggak bisa mengubah aturan. Kita hanya mengacu pada perundang-undangan saja. Selama undang-undang nggak diganti, kita jalankan peraturan itu,” tutupnya. #

 

Sk-009/bbc,com/Ilustrasi borgol (Abdillah/Liputan6.com)