Hanya Mencabut Lampiran, Mungkin Saja Untuk Menunda

by M. Rizal Fadillah

Meski lumayan dengan “dekrit” politik mencabut lampiran III dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal (BUPM )yang dimaknai melegalisasi minuman keras.



Tetapi dekrit ini belum menuntaskan permasalahan yang sebenanrnya. Masih menyimpan potensi kekisruhan atau pekerjaan rumah ke depan.

Pencabutan yang dilakukan Presiden Jokowi pun hanya pernyataan lisan. Tanpa menandatangani dokumen hukum yang absah.

Kalau hanya dengan omongan, ya setiap saat bisa saja berubah dengan. Yang tertulis saja bisa berubah-ubah sesuai selera dan bisiskan. Apalagi yang hanya omongan.

Presiden menyatakan pencabutan lampiran Perpres tersebut berdasarkan masukan dan pandangan masyarakat, khususnya ormas Islam antara lain Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan, tokoh, serta aspirasi daerah lainnya.

Kalau diikuti dengan saksama, maka sebenarnya yang terjadi bukan sekedar masukan semata. Tetapi tekanan yang keras dan kencang kalangan umat beragama, khususnya umat Islam.

Bahkan ancaman yang dapat menggoyahkan pemerintah. Reaksi pemerintah terkesan hanya tarik ulur tanpa kesungguhan untuk revisi atau pembatalan terhadap Perpres.

Meski kalah, tetapi lebih tepat mengalah untuk menyiapkan pola langkah yang baru. Disebut hanya menunda.



Bagaimana bisa? Skeptisme ini didasarkan atas pertanyaan, mengapa hanya mencabut lampiran? Mengapa bukan Perpres Nomor 10 Tahun 2021 itu sendiri atau sekurangnya mencabut Pasal 6 ayat (1) yang berkaitan dengan klausula Lampiran III?

Dengan hanya mencabut Lampiran, berarti semua Pasal dari Perpres tersebut masih tetap berlaku, termasuk Pasal 6 ayat (1) yang pada pokoknya menyatakan bahwa bidang usaha dengan persyaratan tertentu dapat diusahakan oleh semua penanam modal termasuk Koperasi dan Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM).

Bidang usaha tersebut sesuai dengan rincian Lampiran III yang kontennya adalah usaha industri miras.

Dengan tetap berlaku Pasal 6 ayat (1) dan pencabutan Lampiran III, maka kapan saja Lampiran III dapat muncul kembali. Bahkan bisa saja dengan rumusan yang lebih ganas.

Oleh karena itu pernyataan pencabutan yang hanya bahasa lain untuk menunda keberlakuan Lampiran III atau klausula baru bagi investasi usaha miras. Maish menunggu situasi yang lebih kondusif.

Ada bahaya lain dengan pencabutan Lampiran III yang secara limitatif membuat batasan usaha minuman beralkohol, yaitu menjadikan Pasal 6 ayat (1) menjadi memiliki interpretasi yang luas dan bebas.

Sehingga usaha dengan persyaratan tertentu  tergantung apa yang dimaknai Presiden. Ketika rincian khusus hapus, berlaku aturan dan pemahaman umum.

Oleh karena itu pencabutan secara lisan hanya bernilai politis yang  tidak berakibat hukum. Kemudian pencabutan lampiran hanya tipu-tipu untuk menunda saja.



Yang paling berbahaya adalah cara membuat aturan hukum secara ugal-ugalan, baik dalam memberlakukan maupun mencabut.

Sejak menetapkan UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang  dikenal dengan Omnibus Law serta aturan turunannya termasuk Kepres Nomor 10 Tahun 2021 tentang BUPM, Pemerintah Jokowi menempatkan dan membuat aturan hukum tanpa landasan yuridis, filosofis, dan sosiologis yang baik.

Terkesan seenaknya dan tidak bermutu. Dekrit pencabutan Lampiran adalah tontonan politik dari premanisme hukum oleh seorang Presiden. Tipu-tipu saja. Power tends to corrupt.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan. [FNN]

Karikatur : portalMakassar

Editor : Sulthan Abiyyurizky