Krisis Rakyat di Tengah Pilkada Serentak 2018 ; Potensi Ijon Politik di 6 provinsi (Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Sumatera Selatan) dan 1 kabupaten (Dairi).

catatan JATAM

SUARAKALTIM.com Realita demokrasi di Indonesia dua dekade terakhir menampilkan hegemoni pelaku pasar bebas di setiap unsur dan rantai proses-prosesnya. Tidak satu pun partai politik yang terbebas dari hegemoni tersebut; tidak seorang pun politikus yang tidak pernah mengemis kepada para penguasa kapital finansial. Suara rakyat tidak lebih dari sekedar alat tukar yang harus ditangguk dengan segala cara. Dari cara yang paling lunak, lewat gincu-gincu citra positif kandidat, hingga cara yang paling menjijikkan, seperti penyebarluasan fitnah-fitnah keji terhadap lawan politik. Pada hakekatnya, semua cara tersebut menunjukkan satu pandangan dan anggapan bahwa rakyat Indonesia bodoh dan miskin. Mereka mudah dibohongi. Jika pun sulit dibohongi sedikitnya mereka mudah dibeli dengan harga sangat murah.

Berikut ini, kami menurunkan catatan yang dikemas secara ringkas tentang krisis dan masalah rakyat dan lingkungan, berikut potensi ijon politik di 6 provinsi (Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Sumatera Selatan) dan 1 kabupaten (Dairi). Wilayah-wilayah ini merupakan daerah sampel yang dikaji JATAM dalam agenda Kampanye Ijon Politik PilkadaSerentak 2018.
 BACA PULA 

Siaran Pers Jatam : Penerbitan Izin Tambang di Jabar Rawan dengan Praktik Ijon Politik

Menanggapi kicauan calon Wakil Gubernur Kaltim Safaruddin dan kuasa hukumnya, aktivis JATAM Merah Johansyah menyebut keduanya gagal paham

**

Nusa Tenggara Timur

Proses politik Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) belum memperbincangkan krisis dan permasalahan rakyat, terutama terkait dengan dampak buruk investasi berbasis lahan skala besar, seperti pertambangan, perkebunan, dan pariwisata. Proses politik Pilgub NTT ini, masih berisi pesan-pesan kampanye yang disusun dengan mengacu pada identifikasi masalah yang generik, semisal kurangnya infrastruktur, pengangguran, kemiskinan, kesehatan, dan deretan pesan lainnya yang, tidak mencerminkan realitas krisis dan masalah rakyat.

Padahal, kompleksitas permasalahan dan krisis rakyat begitu kasat mata, mulai dari persoalan pencaplokan lahan pertanian dan perkebunan, air, hutan, kawasan pesisir, laut, dan deretan sumber-sumber produksi lainnya yang berimplikasi pada keterancaman kehilangan kepemilikan, akses, dan manfaat bagi masyarakat. Parahnya, pencaplokan tersebut tidak saja terjadi melalui klaim-klaim kepemilikan, jual beli, dan lewat pengaturan hukum dan privatisasi, melainkan juga melalui kekerasan dan pemaksaaan.

Contoh-contoh nyata atas fakta pencaplokan di atas bisa kita temukan dalam konteks investasi pertambangan di NTT. Di Manggarai dan Manggarai Timur, misalnya, Christian Rotok sewaktu menjabat Bupati Manggarai dan Bupati Manggarai Timur Yoseph Tote menerbitkan izin tambang di kawasan hutan lindung. Rotok menerbitkan Keputusan No.HK/287/2007 2007 tanggal 5 Oktober 2007 tentang Izin Pemindahan dan Perpanjangan Kuasa Pertambangan Eksploitasi Bahan Galian Mangan KW 9 PP 0208 di Kecamatan Reok dari  PT Tribina Sempurna kepada PT. Sumber Jaya Asia (SJA).  Izin itu diberikan pada kawasan hutan lindung Nggalak Rego RTK 103.

Sementara Bupati Tote menerbitkan IUP Eksplorasi dengan SK No HK/109/2019pada 07 Desember 2009 kepada PT Manggarai Manganese (PT MM) yang juga melabrak hutan lindung. IUP dengan luas 23.010 hektar tersebut, sebagiannya mencaplok kawasan hutan lindung, seluas 4.560 hektar. Wilayah itu termasuk bagian dari hutan lindung Sawe Sange RTK 141 dan di kawan hutan lindung ini terdapat sekitar 20 titik sumber mata air yang menopang sawah irigasi di Buntal, jaraknya tak jauh dari konsesi tambang.

Tak berhenti di situ, kehadiran tambang di Manggarai dan Manggarai Timur juga mencaplok tanah adat (lingko), seperti yang terjadi di Serise, Lengko Lolok, Tumbak, Legurlai, Weleng di Manggarai Timur dan di Nggalak, Maki, Timbang di Kabupaten Manggarai.

Fakta lain yang dengan mudah kita temukan adalah seperti yang terjadi di Sumba Timur, TTU, dan TTS. Korporasi raksasa seperti Djarum Group yang sedang mengembangkan perkebunan tebu, jarak, dan tanaman sisal famili kaktus dengan luas konsesi lebih dari 50.000 hektar diduga merampas tanah ulayat, merusak hutan, dan kerap mengintimidasi masyarakat, terutama yang mengambil sikap menolak perkebunan monokultur ini.

Sementara di TTU dan TTS, tanah-tanah ulayat yang semestinya dikelola untuk memenuhi kebutuhan masyarakat justru beralih fungsi untuk kepentingan pengembangan tanaman industri maupun untuk eksploitasi tambang oleh korporasi. Hak-hak adat orang Atoni Meto terhadap tanah dihapus oleh negara. Luas lahan sebesar  kurang-lebih 20.000 hektar telah beralih fungsi dari tanah adat masyarakat Biboki, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) kepada PT Fendi Hutani Lestari (FHL). Perusahaan ini pula yang menguasai 25.000 hektar tanah di Pollen, Kabupaten TTS. FHL merupakan perusahaan pemegang hak penguasaan hutan tanaman industri (HPHTI) selama rentang waktu 45 tahun, terhitung sejak 1995. Pihak yang memberikan keputusan akan HPHTI adalah Departemen Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) yang ditandatangai pada tahun 1995. Selanjutnya, di Supul, Kecamatan Kuatnana, tanah ulayat masyarakat adat diserobot PT Soe Makmur Resources tanpa ada perlindungan dari pemerintah. Perusahaan yang izinnya diberikan Gubernur Frans Lebu Raya ini, tampak seenaknya beroperasi, meski masyarakat pemilik lahan berulangkali menolak dan mengadu ke pemerintah kabupaten TTS dan provinsi NTT, termasuk melaporkan ke pihak Polres TTS.

Selain beberapa wilayah di atas, persoalan pencaplokan sumber-sumber produksi dan ruang hidup juga masif terjadi di Manggarai Barat. Atas ‘dalil mendukung’ pengembangan pariwisata, pulau Bidadari, Kanawa, dan Sebayur sudah dikuasai dan “dibeli” orang asing. Penjualan pulau-pulau tersebut terpampang di laman digital seperti penjualan pulau Punggu di www.skyproperty. com beberapa tahun lalu. Bahkan Pantai Pede, satu- satunya pantai publik di Labuan Bajo, sudah diprivatisasi oleh PT. Sarana Investama Manggabar (SIM), milik pengusaha dan mantan ketua umum partai Golkar, Setya Novanto.

Fakta krisis dan masalah tersebut barulah beberapa contoh dari sekian banyak persoalan pelik di NTT. Tak ada upaya dan aksi nyata yang serius dari pemerintah, baik di level kabupaten, provinsi, maupun pusat untuk melindungi sumber-sumber produksi dan ruang hidup rakyat. Yang terjadi justeru pemerintah memfasilitasi bahkan menjadi bagian dari permasalahan yang ada, seperti kasus privatisasi pantai Pede di Labuan Bajo, dan pertambangan di Manggarai dan Manggarai Timur, juga kasus-kasus serupa di wilayah-wilayah lainnya di NTT.

Harapan untuk ada perubahan hakiki dari setiap pergantian kepemimpinan daerah di Pilgub NTT pun, seperti jauh panggang dari api. Empat pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang berkontestasi tampak hanya mengumbar janji, enggan untuk berdebat secara terbuka ihwal cara dan upaya untuk menuntaskan krisis dan masalah rakyat, atau tentang berantaknya kemampuan pulih tata produksi-konsumsi rakyat akibat pencaplokan sumber-sumber produksi dan ruang hidup, serta rontoknya integritas dan keberlanjutan fungsi-fungsi alam.

Pilgub NTT, masih terputus dari harapan rakyat untuk terbebas dari krisis, yang ada hanya menjembatani kepentingan politisi dan pelaku bisnis lewat apa yang disebut sebagai ijon politik; yakni ‘perjanjian’ antara pengusaha atau korporasi selaku penyandang dana politik dengan para politisi (kandidat, parpol, timses) yang berkepentingan menghimpun dana politik secara cepat dan mudah, dengan imbalan mendapat proyek barang dan jasa serta mendapat izin dan jaminan politik dan keamanan untuk mengeruk kekayaan alam. Dengan demikian, jangan heran jika para pemenang Pilgub NTT 2018 nanti memiliki tanggung jawab lebih berat kepada para pemodal sebagai penyokong dana ketimbang rakyat pemberi suara.

**

Jawa Barat

Dari perspektif industrialisasi Jawa Barat merupakan daerah yang memiliki jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) terbanyak di pulau Jawa, yakni 455 IUP, di mana 377 diantaranya berstatus Non-Clean and Clear (Non-CnC). Wilayah Jawa Barat –per Januari 2017- memiliki 329 Izin Usaha Pertambangan (IUP) Clean and Clear(CNC) dan 291 IUP Non-CNC. Provinsi ini memiliki wilayah batuan yang luas sehingga menjadi lokus galian C (yang sekarang disebut komoditas pasir dan batuan). Akibatnya Pada 2016 lalu, terjadi banjir bandang di Garut dan Bandung. Tercatat Korban jiwa 123 orang dan 8.500 rumah rusak. Walhi Jabar memperkirakan kerugian yang ditelan akibat bencana alam sebesar Rp. 1 Triliun. Terjadinya banjir bandang dan longsor akibat rusaknya Daerah Aliran Sungai (DAS) yang disebabkan oleh pertambangan maupun pembangunan yang mengorbankan fungsli-fungsi layanan alam. Tidak heran jika kejadian bencana alam longsor dan banjir semakin sering terjadi dan meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2016 tercatat 656 kejadian bencana di Jawa Barat, mengingkat dari 525 di 2015.

Wilayah Jawa Barat, tepatnya Kabupaten Bogor, diduga menjadi salah satu pemasok material bagi Proyek Reklamasi Teluk Jakarta. Hal tersebut diungkapkan oleh Dedy Mizwar, Wakil Gubernur Jawa Barat pada pertengahan April 2016 lalu di Jakarta. Pengangkutan material tambang ini menyebabkan jalan-jalan di Bogor menjadi rusak dan berkubang jika hujan, warga sekitat terkena penyakit yang berhubungan dengan pernafasan. Deddy Mizwar menambahkan, terdapat pungutan liar dalam penambangan batuan untuk reklamasi Teluk Jakarta tersebut hingga Rp.240.000.000 per harinya.

Pembangunan PLTU Batubara di Jawa Barat yang semakin massif semakin menggusur ruang hidup rakyat. Di antaranya adalah PLTU Batubara di Cirebon dan Indaramayu yang keduanya mendapat sokongan dana dari Jepang, yakni Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Japan Bank for International Cooperation (JBIC). Akibat kegiatan PLTU ini, pendapatan masyarakat sekitar, baik dari sektor perikanan maupun pertanian, menurun drastis. Petani mengalami gagal panen berulang-ulang akibat debu batubara yang menutupi lahan pertanian mereka, sedangkan nelayan harus mengeluarkan biaya lebih karena harus melaut lebih jauh untuk mendapatkan ikan. Ditambah lagi kesehatan warga yang semakin menurun karena setiap hari menghirup asap pembakaran batubara.

Provinsi Jawa Barat juga memiliki kawasan karst yang cukup luas yakni 58.591,30 ha. Pembangunan infrastruktur yang semakin massif juga mendorong pengerukan kawasan-kawasan karst di Jawa Barat untuk memasok material bagi proyek infrastruktur tersebut dan telah merusak 40 persen kawasan karst yang ada di Jawa Barat. Dadan Rahmadan, ketua Walhi Jabar, mengatakan bahwa Kawasan Karst di Bandung Barat bahkan sudah rusak hampir 70% dan hingga kini belum ada upaya reklamasi. Pabrik-pabrik semen di kabupaten-kabupaten kawasan karst menyumbang dampak yang besar dalam perusakan kawasan karst. Pabrik-pabrik semen yang mengekstraksi di kawasan kart Jabar antara lain adalah pabrik PT Semen Jawa (di bawah Siam Cement Grop, Thailand) dan Bosowa (swasta nasional) yang berada di Kabupaten Sukabumi, PT Purimas Sarana Sejahtera di Pangandaran dan Ciamis. Akibat masifnya penambangan kawasan karst di Jabar adalah warga digusur dari tempat tinggal mereka, serta ancaman krisis air di Jawa Barat.

 **

Jawa Timur

Provinsi Jawa Timur secara keseluruhan memiliki 378 IUP. Selain itu, sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri ESDM No. 1204 K/30/MEM/2014 tentang Penetapan Wilayah Pertambangan Jawa dan Bali, kawasan pesisir selatan Jawa Timur semakin terancam. Seluruh pertambangan mineral diproyeksikan dan diarahkan seluruhnya ke selatan Pulau Jawa, termasuk Jawa Timur. Maka tidak heran pembangunan jalan lintas selatan menjadi prioritas utama dalam pembangunan infrastruktur Jawa Timur.

Pemusatan kawasan pertambangan Jawa Timur ke wilayah selatan menjadi ancaman baru bagi keselamatan warga, khususnya dari ancaman bencana Tsunami. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Jawa Timur telah menggarisbawahi kawasan selatan Jawa, termasuk Jawa Timur adalah kawasan rawan bencana tsunami. Dengan mengacu pada kenyataan ini, penataan kawasan di pesisir selatan seharusnya ditujukan untuk meminimalisasi dampak kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh bencana. Pesisir selatan Jawa selayaknya ditetapkan menjadi kawasan lindung dan konservasi demi mengantisipasi bencana yang mungkin timbul. Pelepasan lahan-lahan pesisir menjadi wilayah usaha pertambangan yang berpotensi merusak keseimbangan ekosistem kawasan adalah tindakan yang kontradiktif terhadap usaha menurunkan resiko bencana di Indonesia.

Sejarah mencatat pada 3 Juni 1994, kawasan pesisir selatan Jawa Timur pernah diterjang Tsunami, khususnya di sekitar Lumajang, Jember dan Banyuwangi. Bentangan bukit-bukit da gumukgumuk pasir di wilayah ini lah yang menjadi benteng alami warga dari terjangan Tsunami kala itu, Dengan massifnya aktivitas pertambangan di Kawasan pesisir selatan Jawa Timur secara langsung juga akan menghilangkan benteng alami warga terhadap terjangan Tsunami.

Potret krisis Jawa Timur selanjutnya adalah maraknya aktifitas pengeboran Migas di kawasan padat huni, khususnya di Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik, Mojokerto, Sidorajo dan Madura. Paling parah adalah Kasus Semburan Lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, yang terus terjadi sejak 11 tahun lalu. Terhitung sejak 29 Mei 2006, lumpur Lapindo telah mengakibatkan terusirnya 20 ribu keluarga lebih dari tempat tinggal mereka. Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menangani problem ini melalui sejumlah Peraturan Presiden yang terus mengalami revisi sebagai akibat terus meluasnya dampak semburan. Sementara, meski bukti-bukti sangat cukup untuk mengindikasikan keterlibatan perusahaan, perusahaan yang mengakibatkan semburan lumpur panas ini, yakni PT Lapindo Brantas, telah diputuskan tidak bersalah oleh pengadilan. Akibatnya, perusahaan tidak banyak dikenai tanggung jawab penanganan sebagaimana seharusnya.

Kini, kualitas air bawah tanah di sekeliling tanggul lumpur menurun drastis membuat wilayah di sekitar semburan tidak lagi bisa masuk dalam kategori layak huni. Pembuangan lumpur ke Kali/Kanal Porong dan juga saluran air lainnya telah memperluas degradasi lingkungan sampai ke Selat Madura. Padahal, pelbagai riset ilmiah independen menemukan tingginya kandungan logam berat dalam lumpur Lapindo Penelitian WALHI, misalnya, menemukan kandungan senyawa Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) yang berbahaya karena bersifat karsinogenik (memicu kanker) yang tidak bisa dideteksi dalam waktu dekat. Bukannya menindaklanjuti secara lebih serius, pemerintah justru meragukan dan mengabaikan temuan-temuan tersebut. Pemerintah mengingkari fakta tersebut dengan menyatakan lumpur tidak mengandung zat berbahaya. Hal ini tentunya ironi mengingat degradasi ekologi berdampak pada penurunan kualitas kesehatan masyarakat. Data puskesmas setempat menunjukkan persoalan kesehatan di sekitar semburan meningkat serius.

**

Sumatera Selatan

Bersama Provinsi Lampung, bagi pemerintah pusat Provinsi Sumatera Selatan merupakan simpul penghubung penting bagi mesin-mesin pendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional, baik melalui sektor pertambangan, energi maupun perkebunan. Provinsi Sumatera Selatan memainkan peran penting pada perluasan kontektivitas infrastruktur dan merupakan prioritas pembangunan infrastruktur nasional. Salah satu proyek strategis yang tengah didorong adalah proyek Light Rail Transportation (LRT) dengan pemilik kontrak sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT Waskita Karya. Contoh lain adalah Proyek Jalan Tol Trans Sumatera, sepanjang 304 kilometer yang akan menguhubungkan Pulau Sumetera dari Aceh hingga Bakauheni (Provinsi Lampung). Selain itu, terdapat Proyek Pembangunan Jalan Tol Kayu Agung-Palembang-Betung (112 kilometer), yang melibatkan empat perusahaan bersindikasi untuk mengerjakan fisik jalan Tol Kayu Agung- Palembang-Betung, yakni PT Prima Indojaya Mandiri (PIM), PT Chugma E&C, PT Yasa Patria Perkasa, dan PT Waskita Karya.

Selain infrastruktur jalan, Provinsi Sumatera Selatan akan menjadi lokasi pembangunan Transmisi Sumatera 500 Kilo Volt (KV), yang dilaksanakan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN). Transmisi ini dibangun untuk mendistribusikan listrik yang dari pembangkit listrik tenaga batu bara yang berada di Pulau Sumatera bagian selatan ke bagian utara. Jalur ini diawali dari Muara Enim (Provinsi Sumatera Selatan) hingga ke Langsa (Provinsi Aceh).

Masalah lingkungan yang penting adalah, Provinsi Sumatera Selatan merupakan salah satu wilayah terparah yang mengalami pencemaran asap akibat pembakaran hutan pada 2015 lalu. Setidaknya 3,5 juta orang terpapar kabut asap dan lima orang meninggal akibat radang Insfeksi Saluran Pernafasan Bagian Atas (ISPA). Titik api terbanyak berada dalam kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) milik Sinar Mas Group. Teridentifikasi sebanyak 83 persen atau 10.700 titik api berasal dari kebakaran di lahan milik Sinar Mas Group. Kebakaran pada 2015 lalu telah menghanguskan 700.000 hektar lahan dan hutan yang 90 persen di antaranya berada di kawasan lahan gambut. Sementara perizinan kelapa sawit telah mencaplok 101.610 hektar Kawasan Hutan. Sedangkan HTI dan HPH di Sumatera Selatan sendiri seluas 1.431.312 hektar.

Dari perspektif pertambangan, Provinsi Sumatera Selatan memiliki 171 IUP Batubara dengan total luas konsesi 989.834 hektar di mana 240.502 hektar berada dalam kawasan hutan. Namun demikian, pemadaman listrik menjadi hal yang lumrah terjadi nyaris setiap hari di Sumatera Selatan. Pemadaman listrik bisa berlangsung dua hingga enam jam tiap harinya. Padahal Provinsi Sumatera Selatan dikenal sebagai produsen batubara terbesar ke dua di Indonesia. Tidak hanya krisis listrik, ancaman baru Sumatera selatan sebagai produsen besar batubara adalah mulai menjamurnya PLTU mulut tambang. Di antaranya adalah PLTU mulut tambang Bayung Lencir di Musi Banyuasin yang dibangun oleh Sinar Mas Group serta PLTU mulut tambang Keban Agung di Lahat milik Djan Faridz, Ketua Umum DPP PPP.

PLTU mulut tambang mulai dibangun sejak 23 Mei 2013. PLTU IPP Sumsel 5 di Bayung Lencir ini dibangun oleh Sinar Mas (PT. Dian Swastika Sentosa Power) dengan kapasitas 2 x 150 MW. Akan memasok listrik ke PLN melalui mekanisme BOOT (build, own, operate, transfer). Sedangkan PLTU Keban Agung sudah dibangun sejak 2007 dengan investasi USD 230 juta dan mulai beroperasi pada 2009 dengan total kapasitas 2 x 135 MW.

Selain itu terdapat PLTU Mulut Tambang Sumsel 8 (PLN) yang dioperasikan dengan skema “Mine-to-Mouth”, di mana lokasi pembangkit tambang batu bara berada di lokasi yang sama dengan pembangkit listrik sehingga biaya logistik dapat dikurangi. PLTU ini rencananya akan memiliki kapasitas 1.200 MW dan akan disambungkan dengan transmisi HVDC (High Voltage Direct Current). PLTU ini dibangun oleh PT Huadian Bukit Asam Power-perusahaan patungan antara PT Bukit Asam (PT. BA) dengan China Huadian Hong Kong. Pembiayaan akan bersumber dari China Export Import Bank. PT. BA telah mendapatkan kepastian untuk menggarap proyek in sejak Desember 2011. Pada September 2012, PTBA membentuk PT Huadian Bukit Asam Power (HBAP) yang merupakan perusahaan patungan dengan China Huadian Hong Kong, dengan porsi kepemilikan 45% PTBA dan 55% Huadian.

**

Kalimantan Timur

Luas daratan Kalimantan Timur yaitu 12,7 juta hektar. Perjanjian kerja sama batubara dan pertambangan mineral batubara yang diobral izinnya oleh pemerintah pusat dan daerah telah menguasai 5,3 juta hektar atau 43 persen daru luas daratan, sisanya dikuasai oleh izin perkebunan seluas 3,7 juta hektar atau 29 persen daru luas provinsi.

Penguasaan ruang ini masih ditambah dengan 4,3 juta ha IUPHHK-HA dan 4,5 juta ha IUPHHK-HT yang jika di overlay semua perizinan dan konsesinya jauh  lebih besar dari luas provinsi ini.

Saat ini, Kaltim juga dikepung oleh perizinan batu gamping atau batu kapur, bahan baku utama pabrik semen. Semen Bosowa, Indocement, dan Semen Indonesia sudah mengantri untuk membangun pabrik dan melakukan penambangan di kawasan karst Kalimantan Timur.

Semua operasi pertambangan telah mewarisakan kerusakan tak terpulihkan hingga lubang-lubang tambang beracun, diperkirakan ribuan lubang tambang akan ditinggalkan oleh 1400 izin usaha pertambangan dengan asumsi tiap izin tambang akan meninggalkan lebih dari 2 lubang tambang.

Dengan begitu maka korban akibat lubang tambang akan semakin banyak, mengingat saat ini saja sudah ada 28 anak-anak yang tewas tenggelam di lubang-lubang beracun batubara tersebut.

Berbagai macam fakta krisis dan masalah tersebut tampak tidak menjadi pertimbangan serius bagi elit politik yang berkontestasi dalam Pilgub Kaltim. Seluruh diskursus hari ini hanya seputar kepentingan melanggengkan kuasa dan jabatan , serta menangguk kekayaan bagi segelintir elit politik dan pelaku bisnis.

**

Dairi, Sumatera Utara

Sebagian wilayah Kabupaten Dairi (23,37 persen) dikapling oleh 36 konsesi pertambangan. Salah satunya adalah Kontrak Karya tambang timah hitam milik PT. Dairi Prima Mineral (DPM), salah satu tambang milik Bakrie Group. PT. DPM mulai masuk dan mengambil alih lahan milik warga sejak 1998 dan melakukan pengeboran eksplorasi yang berdekatan dengan sumber-sumber air warga. Padahal warga sepenuhnya menggantungkan kebutuhan air untuk pertanian dan rumah tangga dari sumber-sumber air tersebut. Pada 2010 lalu terjadi pencemaran akibat aktifitas eksplorasi PT. DPM hingga menyebabkan 18 orang meninggal. Kejadian tersebut terulang kembali pada 2012 di mana pipa pengeboran milik PT. DPM bocor dan mencemari lahan pertanian warga. Akibat peristiwa tersebut warga mengalami gagal panen dan merugi.

Wilayah Dairi sendiri merupakan wilayah berbukit-bukit yang rawan akan bencana longsor. Ditambah lagi wilayah kabupaten Dairi, termasuk konsesi PT.DPM, merupakan jalur patahan gempa. Sumatera Utara memiliki tiga patahan gempa yang membentang sepanjang 475 Km, yakni Patahan Renun, Patahan Toru, dan Patahan Angkola. Berdasarkan data BMKG, daerah yang berada dalam pengaruh Patahan Renun salah satunya adalah Kabupaten dairi. Pada 6 September 2011 saat gempa mengguncang sebagian wilayah Aceh dan Sumatera Utara, wilayah Kabupaten Dairi mengalami gempa terparah dengan skala 6,7 SR yang meluluh-lantakkan 735 unit bangunan di empat kecamatan.

Kemudian mengapa Dairi harus menggantungkan hidupnya pada tambang? Padahal Dairi telah dikenal oleh dunia karena kenikmatan Kopi Sidikalang-nya. Kopi Sidikalang adalah ikon kabupaten Dairi. Areal produksi kopi robusta dan arabika terbesar di 13 Kecamatan di Kabupaten Dairi. Luas pertanaman kopi robusta adalah 14.117 Ha dengan produksi 6.770,33 ton/tahun. Sedangkan pertanaman kopi arabika seluas 5.771,5 Ha dengan produksi 2.639,05 ton/tahun. Bahkan 80 persen petani di Kabupaten Dairi adalah petani kopi.

Bahkan sektor pertanian sendiri memberikan sumbangsih ekonomi yang jauh lebih besar dibandingkan sektor tambang. PDRB dari sektor tambang tercatat hanya 0,09 persen, sedangkan sektor pertanian sebesar 59 persen.

 sumber : jatam.org