AKHIRNYA kuputuskan untuk pergi ke Pabelan saja. Ya, mengapa kok sulit-sulit memilih pesantren? Bukankah aku sudah demikian akrab dengan pondok yang terletak di Muntilan itu? Kiainya sahabatku. Barangkali di antara para kiai yang kukenal, dialah, Kiai Hamam Dja’far, yang paling dekat, dalam pikiran maupun perasaan. Lagi pula itulah pondok yang paling indah bagiku. Aku berkenalan dengan pondok ini kira-kira pada tahun 1973 ketika aku mula pertama mengunjunginya, atas anjuran Pak Ud.
Kukira aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Dalam romantisasiku, pesantren itu mestilah rindang. Tapi jarang aku melihat pesantren yang halamannya masih ditanami pohon-pohon yang lebat. Dulu mungkin. Namun kini telah banyak ditebangi untuk memberi tempat pada bangunan baru yang umumnya ceroboh itu. Pabelan, sangat berbeda. Pohon-pohon di desa itu masih lebat. Malah Pak Kiai menambahnya dengan tanaman-tanaman baru. Ketika itu sedang musim menanam jeruk. Buah jeruknya besar-besar, tidak seperti biasa. Tapi ada juga ditanam pohon melinjo dan kemudian flamboyan.
Sebelum kuputuskan pergi ke Pabelan saja, aku sudah mempertimbangkan pesantren lain, terutama di Jawa Timur. Pernah kupertimbangkan untuk memilih Tebuireng. Pak Ud pasti mengizinkan. Suasana peribadatannya pun enak. Dalam lima waktu, masjid utamanya pasti penuh jamaahnya. Tapi aku pakewuh dengan Pak Ud. Jangan-jangan kedatanganku merepotkannya. Karena aku, maksudku istriku, pasti tak akan diizinkan untuk bisa memasak sendiri.
Aku juga pernah berpikir, alangkah indahnya bisa tinggal untuk beberapa hari di Gontor, Ponorogo. Tapi sudah lama aku di persona non grata-kan Kiai Zarkasi, gara-gara aku pernah mengritik pondok modern ini, karena sikap isolatifnya terhadap masyarakat sekelilingnya. Padahal sahabat-sahabat mudaku banyak yang alumni Gontor. Cocok aku dengan kebanyakan mereka itu, dengan pola akidahnya, akhlaknya yang manis-manis dan kepandaian mereka umumnya dalam bahasa Arab.
Lalu, oleh Pak Malik Fadjar, aku pernah dianjurkan pula untuk menengok sebuah pesantren di pantai utara Jawa. “Kiainya Muhammadiyah lho!” katanya. Dia pikir aku pasti cocok dengan cara berpikir kiai ini. “Kiainya gemar qira’ah dan tafsir,” ujarnya lagi sambil mengacungkan jempolnya. Pak Malik mungkin menyadari bahwa aku senang dengan qira’ah dan tafsir. “Cobalah ditengok dulu,” ia menganjurkan.
Sebuah mobil dengan sopirnya membawaku dan istriku menyusuri pantai utara Jawa. Sebelumnya, karena ingin menempuh jalan pintas, mobil sedan kecil itu menembus jalan-jalan kecil di antara bentangan tambak yang gemerlapan ditimpa sinar mentari pagi. Di sebuah kota kecil di tepi pantai yang panas tapi juga cukup rindang itu, bercokol pesantren itu. Di situ aku bisa “menghilang” untuk sementara waktu yang telah kurencanakan, pikirku. Tak mungkin bisa orang menghubungiku. Ketika orang mencariku, mungkin aku sedang berjalan-jalan dengan istriku di sampingku, menatap tongkang-tongkang mengapung di perairan. Kami berdua bisa menghafal wirid sambil menikmati debur ombak.
Karena aku tidak begitu sreg dengan situasi pondok yang kurang bersih itu, aku mengurungkan niatku. Dan tiba-tiba aku berpikir, mengapa tidak ke Pabelan saja?
Kurundingkan ideku dengan Hawariah, istriku. Ia tampak begitu senang. “Ke mana saja Mas pergi dan membawaku, aku akan senang. Kebahagiaanku adalah bila bersamamu Mas,” katanya mendukung dan membesarkan hatiku. Kata-kata inilah yang sering dikatakan kepadaku, hampir klise. Maka kulayangkan sepucuk surat kepada Kiai Hamam, mohon untuk bisa diterima. “Saya bersama istri mau nyantri barang sebulan, bila diterima,” kataku dalam surat.
***
Dari jalan raya Yogya-Magelang, aku naik dokar. Istriku memakai kebaya dan kerudung yang berenda kembang. Kerudung tradisional yang masih dipakai ibuku dan perempuan-perempuan desa. Wajahnya yang putih dan bulat seperti rembulan itu selalu tersenyum. Hatiku selalu hangat bersamanya.
Kami disambut dengan tawa lepas, khas Kiai Hamam.
“Mau belajar wirid? Ha, ha, ha,” tawanya berderai.
“Apa mau jadi sufi?” tanyanya lagi dengan nada senda gurau. Walaupun begitu tanggapan formalnya, tetapi Kiai Hamam penuh pengertian.
“Saya membutuhkan guru yang bisa membimbing, Kiai,” kataku.
“Siapa yang bisa jadi guru Mas Dawam?” jawabnya penuh keyakinan. Kami, dalam waktu-waktu sebelumnya, memang sering bicara mengenai tasauf dan filsafat, sebuah pembicaraan “tingkat tinggi”. Kalau berbincang-bincang, tentu sampai larut malam. Yang tadinya menemani kami, biasanya mundur satu per satu. Akhirnya tinggal kami berdua, hingga subuh.
“Saya ingin bisa wirid yang agak panjang,” kataku. “Juga ingin bisa membaca doa iftitah untuk pidato atau ceramah.” Kalau diminta ceramah keagamaan, aku sebenarnya malu jika hanya bisa membaca yang itu-itu saja. Syukur kepada Allah dan salawat untuk nabi, itu saja. Aku juga sering diminta untuk memberi khotbah Jumat. Bahkan juga khotbah Idul Fitri atau Idul Adha. Dan aku selalu menolak. Mereka tidak tahu bahwa aku tak bisa mengucapkan bacaan-bacaan yang diperlukan itu di luar kepala. Tahu mereka, aku adalah “tokoh Islam”, atau “cendekiawan Muslim”.
Akhirnya Kiai Hamam maklum juga. Tapi guru-guru muda yang pintar-pintar di situ, tak seorang pun bersedia menjadi guru mursyid-ku. Mereka hanya menuliskan doa-doa untukku. Malah mereka memberiku doa wirid bikinan Pondok Gontor yang ditulis sendiri oleh Kiai Imam Zarkasyi. Ternyata doa ala Gontor itulah yang paling bisa kuterima.
Ingin bisa baca wirid yang agak panjang. Itulah obsesiku. Dengan wirid itu aku akan merasa tak perlu lagi berdoa dan meminta sesuatu kepada Tuhan secara verbal. Kupikir, Tuhan itu Maha Tahu dan Maha Mendengar suara batin sekalipun. “Berzikirlah kalian akan Daku, niscaya Aku akan mengingatmu,” demikian tertulis dalam surat Al Baqarah ayat 152.
Karena tak ada yang bersedia menjadi guruku, akhirnya aku belajar sendiri saja. Tentu saja aku mengalami kesulitan, karena aku sudah tidak lagi lancar membaca huruf-huruf Arab. Tapi aku ini memang tolol benar. Mengapa aku tak melihat potensi istriku? Bukankah ia lulusan Mu’alimat Muhammadiyah Yogya yang terkenal itu? K.H. Yunus Anis dan K.H. Ahmad Badawi, keduanya pernah menjadi Ketua Umum Muhammadiyah, termasuk guru-gurunya.
Sungguh keterlaluan aku ini. Tidak pernah berpikir bahwa seorang perempuan itu bisa menjadi guru mengaji lelakinya. Maklum, aku selalu menjadi imam waktu shalat.
“Dengar baik-baik ya Mas! Aku baca pelan-pelan, Mas menirukanku,” katanya mulai menjadi guru mursyid-ku. Kalau ia membimbing doa wirid habis shalat, kedengarannya biasa saja. Tetapi kalau doa-doa untuk khotbah, memang agak janggal. Mungkin karena adanya persepsi bahwa perempuan itu tidak pernah jadi khatib.
Kalau shalat, tentu saja aku yang menjadi imam. Aku bangga sekali bisa menjadi imam istriku. Seolah-olah itulah tanda kelaki-lakianku yang sejati. Ketika berdoa, kami berdoa bersama. Kadang-kadang bacaanku dikoreksi. Ada kalanya aku jengkel dikoreksi. Apa ini karena pengaruh alam patriarki? Hawariah hanya tersenyum sabar dan terus membimbingku.
Di waktu magrib, isya dan subuh, kami selalu pergi berjamaah ke masjid. Tapi kami sering bepergian kala siang. Jadi tak bisa pergi ke masjid di waktu lohor dan isya, kecuali salat dhuha. Kami selalu menjalankannya. Sehabis subuh kami menderas Alquran bersama-sama. Hanya saja mengajiku terputus-putus, karena aku sering membaca terjemahannya. Aku bawa The Holy Quran, terjemahan dan catatan kaki Maulana Muhammad Ali. Aku paling matuk (cocok) dengan tafsir ini, rasional dan optimis.
Ketika matahari sudah terbit, ia mulai memasak sarapan. Aku keluar jogging yang sudah menjadi kebiasaanku itu. Lalu kami makan bersama. Sesudah masak, langsung ia mencuci piring. Dan aku menimba air sumur. Air dari pompa dragon bukan air yang baik. Jadi aku ngangsu sumur tetangga yang jernih, mengisi kolah dan ember persediaan untuk dimasak menjadi air minum. Setelah itu kami membersihkan halaman yang setiap pagi bertabur dedaunan yang rontok. Sambil menyapu, aku melatih hapalanku keras-keras agar bisa dikoreksi kalau salah.
***
Sayang sekali, aku datang ke Pabelan pada saat liburan. Jadi kampus kosong, tak ada santrinya, kecuali beberapa yang tinggal, mungkin untuk mengikuti kursus khusus. Tapi justru karena itulah kami seperti diberi kesempatan untuk bisa mandi di Kali Pabelan. Kali sepi dari santri yang biasa mandi di situ.
Air sungai itu mengalir bening. Batu-batuan besar kecil yang bertebaran membuat suara gemercik dialiri arus. Hawariah, seperti orang desa lainnya, memakai kain dan mandi di pancuran dan kali yang dangkal. Bagi orang yang biasa hidup di Jakarta, ini adalah suatu kemewahan. Ketika mandi, Hawariah seperti bidadari yang turun dari kayangan. Kain batik melilit ketat di tubuhnya yang basah. Rambutnya tergerai.
Di jalan pulang kami berbelanja di warung desa. Hawariah selalu berbicara renyah waktu membeli bahan-bahan kebutuhan. Karena itu ia memang lekas dikenal. Menurut perasaanku yang subyektif, istriku itu mungil, putih dan bersih. Posturnya seperti putri bangsawan atau mungkin berwajah “elitis” dalam bahasa masyarakat kota. Tapi penampilannya sederhana, seolah-olah ia tak sadar akan kecantikannya sendiri. Tak usah berusaha menampilkan diri, kehadirannya di desa itu sudah sangat terasa. Orang-orang melihat kami, waktu kami berjalan. Kadang-kadang mereka menegur. Orang lelaki tentu melihat kepadanya. Yang perempuan juga melihatnya, lalu menengok kepadaku seolah-olah ingin tahu siapa lelaki yang beruntung di sampingnya itu.
Ia rajin datang ke pengajian di rumah tetangga sebelah. Suatu ketika pengajian memutuskan untuk memperbarui tikar yang telah banyak rusak itu. Uang yang terkumpul agaknya masih jauh dari mencukupi. Istriku langsung bilang, ialah yang menutupnya. Baginya, uang itu tidak seberapa. Tapi bagi ibu-ibu di desa itu nilainya masih lumayan besar.
Di waktu malam sering terdengar suara berzanji. Inilah yang khas di desa itu. Penduduk desa umumnya memang jamaahnya NU. Tetapi pesantrennya beraliran reformis. Santrinya mengikuti wirid Gontor. Tapi imam masjidnya tetap berada di tangan kiai desa. Masjid pondok itu tetap dibiarkan seperti aslinya. Ini cocok dengan suasana desa yang rindang.
Kami sering ingin mengejar dari mana datangnya suara berzanji itu. Ada kalanya dari perhelatan perkawinan. Di waktu sore, menjelang magrib, kami mengejar suara salawat nabi yang dikumandangkan itu. Kalau tidak hujan kami jalan-jalan. Yang kami jumpai adalah langgar-langgar atau masjid-masjid kecil. Pohon-pohon kelapa meneduhi halaman masjid.
“Mas, bangun Mas, sudah subuh lho,” kata istriku membangunkan. Aku sebenarnya sudah mendengar suara azan. Malah sudah kudengar suara orang mengaji atau membaca sesuatu, dengan irama khas. Aku pun bangun, bergegas ke kamar mandi, mengambil air wudhu.
Tapi di luar masih sangat gelapnya. Tak ada lampu. Apalagi gerimis agak lebat turun. Kami pergi pakai lampu senter. Untung di Pabelan, tanahnya berpasir, jadi tak begitu becek. Kalau berjalan, tangannya pasti menggandengku, agak di belakang. Terasa benar aku menjadi lelaki, sandaran hidupnya. Memang sulit benar berjalan berdua dengan satu payung. Air pun tak bisa kami hindari. Aku seperti sedang berpacaran, dalam beribadah.
Aku bersyukur punya istri yang cocok. Coba bayangkan, jika istriku itu bukan “ahli ibadah”, repot. Aku tidak pernah menjelaskan maksudku nyantri seperti itu. Ia sudah tahu dengan sendirinya. Malah itu menjadi keinginannya juga. “Mondok” seperti itu lebih memberi kebahagiaan daripada piknik. Dengan beribadah berdua seperti itu kami sekaligus berpacaran, menunjukkan rasa cinta. Kami tidak pernah merasa sedang bertapa.
Sebelum meninggalkan Pabelan, Hawariah pamit. Para ibu pada semedot, dengan berat hati menerima pamitan itu. Beberapa waktu kemudian bu nyai menceriterakan betapa tetangga-tetangga di sekitar rumah tempat kami menginap itu, semacam “guest house” pesantren, sangat gelo kami meninggalkan Pabelan. Sangka mereka kami adalah penghuni baru. Mereka senang mendengar suara-suara yang terdengar dari pondokan kami. Suara orang mengaji atau kaset salawat dan doa yang dilagukan oleh Ustadz H. Salahuddin Benyamin dengan paduan suara perempuan-perempuan yang mengiringi atau alunan suara ustadz Umar Said yang merdu. Tapi yang paling terkesan pada mereka agaknya adalah pasangan kami berdua yang tampak runtang-runtung, seorang perempuan berkebaya dan lelaki yang selalu berkopiah.
***
Empat tahun kemudian, tak kusangka, istriku di panggil Allah. Kini, kurasakan dalam kenangan, itulah sepotong kenangan yang begitu indah dalam hidupku.
Istriku pergi untuk selamanya di kamar kami, di suatu subuh. Ketika itu istriku tak berdaya, sakit. Ia hanya bisa terbaring miring. Setelah salat sunat koblal subuh, aku pun bersalat subuh. Kubaca Al Fathihah, surat Al-Tin dan surat Al-Qadr seperti yang selalu dibaca imam di Masjid Pabelan, agar dia mendengarkan, seolah-olah kami sedang berjamaah. Aku yakin ia sedang ma’mum kepadaku. Belum sempat wirid, Hawariah telah memintaku mengelus-elus dengkulnya yang sakit. Ia seperti menikmatinya, karena aku mengelus-elusnya dengan mesra sambil membaca wirid.
Ketika aku kemudian keluar dari kamar, Yu Jum, pembantu yang merawat istriku, berganti masuk ke kamar. Beberapa saat kemudian ia berteriak-teriak dan meminta agar aku masuk ke kamar. Aku lihat istriku seperti telah tiada. Anakku lelaki yang memeriksanya merasakan bahwa mamaknya tak lagi bernapas. Nadinya pun tak lagi berdenyut. Tangis dua anak pun berderai bersama dengan tangisku dan orang-orang rumah.
Di hari kedua, sesudah kematian itu aku salat subuh di tempat yang sama. Aku pun membaca wirid yang dulu pernah kupelajari di Pabelan. Tangisku meledak. Wiridku tersendat-sendat di sela-sela sedu tangis yang berat. Terkenang olehku ketika aku sedang dibimbing olehnya, membaca wirid di Pondok Pabelan. Mungkinkah rohnya mencari jalan keluar lewat wirid dan elusanku di dengkulnya itu.
Masih segar dalam ingatanku kami berjalan bergandengan, sambil membawa payung dan lampu senter, sarimbit ke masjid, dalam hujan gerimis di waktu malam dan subuh, yang menyebabkan pakaian kami basah. Terkenang olehku kami bercinta dalam salat berjamaah berdua yang sudah menjadi kebiasaan yang indah itu. Sehabis salat dan wirid, ia selalu mengajakku bersalaman dan menciumi tanganku berulang-ulang. Dan aku pun mengecup keningnya.
Aku mengecup kedua mata-istriku yang terakhir kalinya ketika jenazahnya hendak digotong ke masjid sebelah, hendak disalatkan. Bulu matanya terasa dibibirku, seolah ia masih hidup.
Jakarta, 10 Oktober 1994
Cerpen | Kompas Minggu | 16 Oktober 1994