Menerkam Taktik Defensif Belanda
Taktik Belanda pada satu dekade pertama kehadiran mereka, memang lebih mementingkan strategi yang defensif. Mereka lebih memilih menguatkan wilayah yang mereka kuasai dan bertahan pada pos-pos mereka.(Martijn Kitzen: 2012)
Memang ada serangan-serangan oleh pasukan Belanda yang dilakukan keluar wilayah pertahanan mereka. Seperti misi-misi brutal yang dipimpin Van der Heijden. (Paul van t’Veer: 1985) Namun secara keseluruhan, pada satu dekade lebih, strategi Belanda tetap berporos pada strategi ‘konsenterasi lini,’ dan membuat mereka tidak agresif mengejar para geriliyawan Aceh. Sebaliknya, pos-pos pertahanan Belanda menjadi bulan-bulanan geriliyawan Aceh. (Ibrahim Alfian: 2016)
Pada tahun 1886 saja misalnya, lebih dari empat kali pos-pos Belanda diserbu pejuang Aceh di bawah Teungku Chik di Tiro. Setahun kemudian, lebih dari 400 orang pasukan Chik di Tiro berhasil menembus pertahanan Belanda. (Anthony Reid: 2005)
Gubernur Van Tejin dalam laporannya tahun 1887 menyatakan bahwa sebagian rakyat di Aceh Besar telah menyerah dan kembali pada kehidupan mereka semula. Laporan itu menyebutkan bahwa perlawanan-perlawanan di Aceh Besar hanya dilakukan oleh 150 orang pengikut Teungku Chik di Tiro dan anaknya Teungku Muhammad Amin. Teungku Muhammad Amin memang tak sehebat ayahnya dalam ilmu agama, namun ia menjadi pemimpin militer yang handal. (Ibrahim Alfian: 2016)
Pejuang Aceh membagi dirinya menjadi beberapa kelompok, melakukan serangan-serangan ke depan konsenterasi lini, menembaki pos-pos dan melakukan serangan-serangan sabotase terhadap transportasi Belanda, menyerang patroli, menyabotase jalur kabel telepon, rel kereta, menghancurkan jembatan-jembatan. (Ibrahim Alfian: 2016)
Klaim van Tejin ialah pejuang Aceh membebani penduduk setempat untuk memberi mereka makan. Van Tejin menganggap rakyat Aceh tidak menyukai mereka dan ingin agar pejuang di bawah Teungku Chik di Tiro segera pergi dari kampung mereka. Maka Belanda mengira kelompok yang bergabung di bawah ulama besar dan keluarganya ini hanyalah perampok dan orang-orang berbahaya yang memadukan nafsu merampok dengan perang melawan orang kafir, bukan karena keyakinan mereka mengusir Belanda dari tanah air mereka. (Ibrahim Alfian: 2016)
Di sinilah kita dapat melihat ketidaktahuan van Tejin akan pengaruh Islam di Aceh. Perang geriliya tidak mungkin dapat terlaksana tanpa bantuan penduduk setempat. Justru nyawa perang tersebut terletak dari suplai dan dukungan penduduk setempat yang seringkali mengandalkan logistik dari rakyat setempat.
Van Tejin tak pernah memahami motivasi jihad fi sabilillah rakyat Aceh. Menurut sejarawan Aceh Teuku Ibrahim Alfian dalam karyanya Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1913 pengikut Teungku Chik di Tiro adalah orang-orang miskin yang datang dari Pidie, Gigeng, bahkan Tanah Gayo yang tidak mempunyai harta apa-apa dan tidak akan kehilangan apa-apa. Mereka hanya mengikuti petunjuk ulama yang menyerukan kemuliaan jihad fi sabilillah dan ganjaran yang akan diterima oleh mereka. (Ibrahim Alfian: 2016)
Takdir Allah menentukan nasib Teungku Chik di Tiro. Pada 15 Januari 1891, Teungku Chik di Tiro wafat. Tersiar kabar bahwa beliau diracun oleh anaknya sendiri, Teungku Muhammad Amin. Namun kabar itu sendiri tak dapat dibuktikan kebenarannya. Tampaknya itu merupakan propaganda yang dihembuskan pemerintah kolonial. (Ismail Jakub: 1960) Lagipula hal ini tentu bertolak belakang dengan kenyataan bahwa ayah dan anak ini bahu-membahu berjihad di Aceh.
Mengutus Snouck Hurgronje
Wafatnya ulama besar ini membuat Belanda membutuhkan satu petunjuk tentang dampaknya bagi rakyat Aceh. Pemerintah kolonial akhirnya mengutus Snouck Hurgronje ke Aceh untuk mengumpulkan informasi untuk mengetahui sikap para ulama setelah wafatnya Teungku Chik di Tiro. Selain itu penyelidikan ini berfungsi untuk mencari tahu bagaimana pengaruh para ulama dan jalan apa yang ditempuh Sultan Aceh untuk memenuhi kehendak para ulama. (Ibrahim Alfian: 2016 dan Paul van t’Veer: 1985)
Snouck Hurgronje yang melakukan studi di Aceh sejak 16 Juli 1891 sampai 4 Februari 1892 kemudian memberi informasi yang amat berlimpah mengenai rakyat Aceh dan pengaruh Islam pada mereka. (Paul van t’Veer: 1985) Informasi ini yang kemudian mengubah jalannya peperangan di Aceh dengan kombinasi militer dan orientalisme.
Kepemimpinan perang diambil alih oleh Teungku Chik Muhammad (Mat) Amin. Ketiga putra Teungku Chik di Tiro lainnya; Teungku Mayet, Teungku di Buket, dan Teungku Lam turut pula meneruskan perjuangan ayahnya. (H.C. Zentgraaff: 1983)
Perjuangan bahkan bukan saja diteruskan oleh anak-anak beliau, tetapi juga oleh para cucu dan kerabatnya. Belanda membunuh Teungku Mat Amin di tahun 1896. Dalam pertempuran hebat di Benteng Aneuk Galong yang menjadi basis Teungku Mat Amin, putra Teungku Chik di Tiro tersebut akhirnya gugur di tangan pasukan Marsose. Zentgraaff mengisahkan pertempuran hebat itu yang menurutnya;
“Orang-orang Aceh bertempur seperti singa, di antaranya ada yang lebih suka dikubur hidup-hidup di dalam api yang menyala-nyala daripada harus menyerah kalah.” (H.C. Zentgraaff: 1983)
Teungku Lam gugur diterjang peluru Belanda. Teungku di Buket gugur di bulan Mei 1910 setelah diserbu Marsose.Teungku Mayet juga gugur di Bulan September 1910 disergap Marsose, setelah mereka mendapatkan petunjuk dari keluguan putra Teungku Mayet yang berusia enam tahun. Anak itu lahir dan besar di hutan belantara. Belanda terus memburu keluarga dan keturunan Teungku Chik di Tiro lainnya. (H.C. Zentgraaff: 1983)
Teungku Chik Ma’at, anak Teungku Mat Amin yang gugur di Aneuk Galong tahun 1896 menjadi generasi ketiga Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman yang diburu oleh Belanda. Cucu Chik di Tiro ini akhirnya syahid setelah disergap Marsose. Perburuan ini dilakukan setelah Belanda mencoba menawarkan perdamaian dengan Teungku Mat Amin. Tawaran itu ditolak mentah-mentah. (H.C. Zentgraaff: 1983)
Zentgraaff mengenang penutupan perburuan generasi ketiga Chik di Tiro tersebut dengan mengatakan:
“Demikianlah keinginnannya itu telah terpenuhi: syahid seperti ayahnya. Kematiannya itu telah mengakhiri suatu kisah para ulama Di Tiro, yakni kelompok orang-orang kuat yang tak kenal damai, yang telah menghina kita dengan menjewer telinga kita pada masa-masa kita berada dalam keadaan lemah. Mereka itu telah gugur seperti mereka hidup: gagah dan tak gentar sewaktu tantara kita memperoleh kembali kepercayaan dirinya.”(H.C. Zentgraaff: 1983)
Keluarga dan keturunan Teungku Chik di Tiro adalah bukti tiga generasi syuhada yang hidup dalam jihad fi sabililah di Perang Aceh. Kebesaran nama keluarga di Tiro tentu tak akan bisa dilepaskan dari sosok Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman, satu ulama, mujahid yang tak kenal kompromi dan hidup teguh dalam mengenggam Islam sebagai prinsip dan landasan perjuangannnya. ***
BACA JUGA :
Haji Uma Surati Nazir Wakaf Aceh di Arab Saudi Tolak Rencana Investasi Indonesia
Rakyat Aceh Tolak Rencana Pemerintah Ambil Alih Pengelolaan Wakaf di Arab