WWW.SUARAKALTIM.COM- Gubernur Jawa Timur Soekarwo pernah menyampaikan berdasarkan hasil pengamatan satelit internasional, terdapat 26 ribu hektare tambang emas berada di antara Lumajang dan Malang, 56 ribu-58 ribu hektare antara Tulungagung dan Trenggalek, dan 96 ribu hektare di Pacitan.
Jika data dari satelit internasional tersebut valid, bisa jadi wilayah Jatim merupakan daerah kumpulan emas terbesar kedua di dunia setelah Afrika Selatan atau paling besar se-Asia Tenggara.
Terlebih industri perhiasan di Jatim yang mempunyai peran strategis dalam mendukung pertumbuhan ekonomi setempat, sebab permintaan terhadap produk perhiasan, khususnya emas, menunjukkan tren semakin meningkat.
Karena selain dapat berfungsi sebagai karya seni yang mampu memperindah penampilan, produk perhiasan juga dapat digunakan sebagai sarana investasi menjanjikan, bahkan industrinya mampu menyerap tenaga kerja mencapai 17.600 orang.
Keberadaan 26 unit industri perhiasan skala besar dan menengah, serta 1.854 unit industri perhiasan skala kecil di Jatim yang lokasinya tersebar pada 11 kabupaten/kota sangat berperan besar untuk mendukung ekspor, yakni Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, Kota Mojokerto, Lamongan, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Malang, Kota Malang, Lumajang, dan Pacitan.
Berdasarkan data di Pemprov Jatim, hingga triwulan menjelang akhir tahun 2018, ekspor perhiasan telah mencapai 2,16 miliar dolar AS, bahkan industri ini memiliki kontribusi hingga 50 persen terhadap produksi perhiasan nasional.
Negara potensial yang menjadi sasaran ekspor perhiasan asal Jatim, antara lain Amerika Serikat, Jepang, China-Hong Kong, serta Swiss.
Selain tambang emas yang masih tertimbun di dalam “perut bumi” di wilayah Lumajang, Malang, Tulungagung, Trenggalek, dan Pacitan, di dua daerah lainnya sudah diekplorasi penambangannya, yakni di Banyuwangi dan Jember.
Di Banyuwangi, pertambangan berada di Dusun Pancer, Kecamatan Pesanggaran, sedangkan di Jember berada di Kecamatan Silo.
Proses eksplorasi dan pertambangan di dua daerah tersebut tidak berjalan mulus, sebab sebagian warga dan sejumlah pihak menolaknya, sehingga diperlukan “ribuan jurus” agar tetap dilakukan.
Pro Kontra
Di Banyuwangi, pengelolaan tambang emas dan mineral di Tambang Tujuh Bukit yang dilakukan oleh PT Bumi Suksesindo (BSI) menjanjikan potensi bagi perekonomian setempat.
PT BSI menargetkan peremukan biji, penumpukkan dan pengolahan emas sebanyak 6,2 juta ton pada tahun 2019.
“Target tersebut sejalan dengan ekspansi lapisan oksida di wilayah itu, sebesar dua kali lipat menjadi 8 juta ton per tahun dan akan rampung pada kuartal pertama 2019,” ujar Direktur PT BSI Boyke Abidin.
PT BSI telah mengelola tambang dan memproduksi emas di Tambang Tujuh Bukit secara efisien melalui penggunaan teknologi “heap leach” (pelindihan) yang sangat memperhatikan aspek lingkungan.
Efisiensi produksi emas di tambang Tujuh Bukit dipengaruhi teknologi penambangan menggunakan sistim SAG (Semi Autogenous Grinding) Mill, lalu melakukan efisiensi produksi berkat jarak pengangkutan bahan baku emas yang lebih dekat, serta konsumsi sianida dan konsumsi listrik lebih rendah dari perkiraan.
Pada 2018, untuk produksi emas PT BSI ditargetkan meningkat menjadi 155.000 ounces (oz) – 170.000 oz emas, dan laporan yang masuk sampai Semester I 2018, produksi emas sebanyak 83.713 oz dan perak 48.226 oz.
Dijelaskan Boyke, pada 2017 adalah bagian terpenting bagi PT BSI, karena berhasil mencapai produksi perdana emas dan perak dari sana, yakni 142.468 ounce (oz) emas dan 44.598 oz perak sepanjang 2017.
Tercapainya produksi pada 2017 mendorong perusahaan untuk aktif mengembangkan ekonomi daerah dan nasional, salah satunya memberikan dampak positif bagi masyarakat,” ucapnya.
Bahkan, program hibah kepemilikan saham kepada pemerintah daerah adalah salah satunya, dan telah menjadikan Pemkab Banyuwangi sebagai salah satu pemegang saham terbesar di tambang Tumpang Pitu. Kepemilikan saham tersebut melalui PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), induk usaha dari PT BSI.
Harapannya tentu saja mampu memberikan keuntungan yang besar bagi masyarakat Banyuwangi secara keberlanjutan.
BSI juga telah mengakomodasi kepentingan daerah dengan penggunaan tenaga kerja lokal, dan tercatat tenaga kerja di tambang termasuk seluruh karyawan dan kontraktor berjumlah 1.795 orang, terdiri dari 99 persen warga negara Indonesia dan 1 persen ekspatriat.
Dari angkatan kerja, 60 persen berasal dari Kabupaten Banyuwangi, termasuk sekitar 38 persen dari Kecamatan Pesanggaran setempat.
Di daerah lain, pertambangan emas di Jember hingga Desember 2018 masih terjadi berbagai aksi penolakan dilakukannya eksplorasi.
Salah satu pihak penentang adalah aktivis mahasiswa tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang berunjuk rasa pada 7 Desember 2018 di halaman Kantor Pemkab setempat, Jawa Timur, bahkan nyaris berujung ricuh.
Massa memaksa masuk ke Kantor Pemkab Jember menemui Bupati Faida, namun puluhan personel aparat kepolisian dan Satpol PP bersiaga di depan pagar kantor sehingga terjadi aksi saling dorong antara petugas dan mahasiswa.
“Kami minta Pemkab Jember serius melakukan penolakan penambangan emas di Kecamatan Silo sehingga tidak ada lagi investor atau pihak lain yang melakukan survei ke lokasi yang diduga memiliki kandungan emas, karena semua warga menolak adanya pertambangan,” kata koordinator aksi Ferry F Fadillah.
Mayoritas penduduk Jember yang bermata pencaharian sebagai petani dan tidak bisa lepas dari kondisi alam menjadi alasan tidak sepakatnya ada penambangan yang dikhawatirkan merusak lingkungan.
PMII Jember juga mendesak pencabutan Keputusan Menteri ESDM 1802 K/30/MEM/2018 tentang wilayah izin usaha pertambangan dan menghentikan rencana lelang tambang yang dilakukan pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi.
Bupati Jember Faida sudah berkirim surat kepada Gubernur Jawa Timur dan Menteri ESDM terkait dengan keberatan atas keputusan tersebut pada 24 September agar tidak dilakukan lelang terkait pertambangan emas di Blok Silo.
Di sisi lain, Pemprov Jatim tidak ingin disalahkan dalam kasus sengketa tersebut, karena pada salah satu butir kesepakatan yang dicapai pada mediasi di kantor Kemenkumham RI awal Januari lalu berbunyi “Penetapan WIUP Blok Silo oleh Menteri ESDM sebagaimana yang diusulkan oleh Gubernur Jawa Timur tidak melalui koordinasi terlebih dahulu dengan Bupati Jember, sehingga penetapan Blok Silo sebagai WIUP cacat formal”.
“Jangan ada dusta di antara kita. Kita ini sama-sama pemerintah, jadi apa yang dikehendaki rakyat akan diikuti. Jangan ada kesan sepertinya menyalahkan Pemprov Jatim. Ini karena penetapan wilayah pertambangan untuk mineral logam berdasarkan UU 4/2009 dan peraturan pemerintahnya adalah menteri dan atas koordinasi dengan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota,” kata Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jatim Setiajit.
Ia menjelaskan, terdapat lahan seluas 4.023 hektare di Blok Silo dan bukan merupakan wilayah permukiman, melainkan masuk wilayah Perhutani dan perkebunan.
Gubernur juga telah berniat baik dan akan melibatkan masyarakat sekitar, agar masyarakat tidak sekadar menjadi penonton, kemudian anak-anak di sana disekolahkan masuk SMK Pertambangan dan menjadi tenaga di sana.
Penolakan terjadi karena warga sekitar tambang khawatir dan akan tersisih, padahal warga sekitar termasuk yang “unskill”, harus diterima atau dipekerjakan sehingga mendapatkan kemampuan dan penghasilan.
Dengan demikian, terhadap warga perlu adanya pendekatan secara personal agar warga ikut menjadi bagian dalam proyek tersebut.
Seperti tambang semen Holcim, yaitu sempat merasakan penolakan yang sama hingga beritanya cukup ramai, tapi setelah pekerja “unskill” bisa diterima bahkan anak-anaknya disekolahkan maka aksi-aksi penolakan pun selesai dengan sendirinya.
Di sisi lain, adanya potensi emas yang tertimbun tanah di Jatim sangat berpeluang meningkatkan sektor perekonomian Indonesia, khususnya provinsi setempat.
Potensi tambang yang bukan hanya menghasilkan emas, tapi juga akan diikuti oleh tembaga, berlian dan batu-batuan lain sehingga industri perhiasan Jatim bisa memenuhi kebutuhan bahan baku dalam negeri.
Nah, mengingat potensinya emas meningkatkan perekonomian, tapi di sisi lain dikhawatirkan mengganggu kelestarian alam maka ditunggu bagaimana langkah yang akan dilakukan dengan munculnya pro kontra pertambangan emas tersebut, termasuk keberanian pemerintahan baru yang akan dipimpin Khofifah Indar Parawansa dan Emil Elistianto Dardak. sk-001/antaranews.comFiqih Arfani/Didik Kusbiantoro