www.suarakaltim.com– Secara bahasa, sebutan jahiliyah merupakan bentuk mashdar dari kata jahil (orang yang memiliki sifat bodoh). Al-jahl atau kebodohan itu sendiri, menurut Raghib Al-Asfahani, memiliki tiga bentuk, pertama: ketiadaan ilmu pengetahuan, ini adalah makna asal. Kedua: meyakini sesuatu berbeda dengan kenyataan yang ada, ketiga: melakukan sesuatu berbeda dengan apa yang semestinya dilakukan. (Ar Raghib al-Ashfahani, al-Mufrodat fi Ghoribil Qur’an, hlm: 209)
Kata jahiliyah ini merupakan istilah Qurani yang belum digunakan sebelum al-Quran diturunkan. Orang Arab belum pernah menggunakan diksi ini untuk menyifati sekelompok orang yang dianggap menyimpang kecuali setelah Islam datang. Jadi, makna istilah jahiliyah itu hanya bisa dipahami sesuai dengan apa yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an itu sendiri.
Istilah jahiliyah, sebagaimana istilah qurani lainnya, memiliki makna yang diambil dari penggunaan dan pembatasan al-Qur’an terhadap kata itu. Kata jahiliyah dalam al-Qur’an digunakan untuk menyatakan kebodohan terhadap hakikat uluhiyah dengan segala karakteristiknya dan kebodohan yang berkenaan dengan perilaku yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah rabbaniyah. Di antara ayat yang menyebutkan kata jahil ini adalah firman Allah Ta’ala dalam QS. Al-A’raf: 38
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَآئِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْاْ عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَّهُمْ قَالُواْ يَا مُوسَى اجْعَل لَّنَا إِلَـهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ
“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani lsrail berkata: Hai Musa. buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala). Musa menjawab: Sesungguh-nya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan).”
kata jahl dalam ayat di atas jelas menunjukkan tidak adanya pemahaman yang benar tentang hakikat uluhiyah. Sebab, jika mereka mengetahui bahwa Allah Ta’ala itu Sang Pencipta segala sesuatu, tentu mereka tidak akan menyamakannya dengan makhluk dan tidak mungkin mengajukan pertanyaan semacam itu. Sama halnya seperti arab jahiliyah sebelum kedatangan Islam, mereka pun menyakini Allah Ta’ala sebagai Pencipta namun menolak berbadah kepada-Nya semata. Makna jahiliyah lain dalam al-Quran surah al-Maidah: 50
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah: 50)
Ayat tersebut menjelaskan makna jahiliyah, yakni prilaku yang menentang hukum dan perundang-undangan yang disyariatkan Allah Ta’ala. Mereka tahu jika Allah adalah Rabb Yang Maha Adil tapi mereka menolak dan memilah-milih hukum yang datang dari-Nya. Tegasnya, Jahiliyah bukanlah sebutan kepada orang-orang yang bodoh tentang dunia, tapi sebutan ini hanya diperuntukkan terhadap orang-orang yang memiliki tashawwur (cara pandang) yang salah tentang uluhiyah dan hakikat ibadah kepada Allah Ta’ala.
Karakter Jahiliyah, Menyelewengkan Hakikat Ibadah
Masyarakat Arab sebelum datang Islam bukanlah masyarakat yang tak tahu siapa tuhan mereka. Al-Quran menceritakan bahwa bila ditanyakan kepada mereka siapa yang menciptakan langit dan bumi, mereka pasti menjawabnya Allah. Tetapi dalam tataran prakteknya, mereka tidak menempatkan Allah Ta’ala sebagai Rabb yang sebenarnya. Mereka menciptakan sekutu-sekutu dalam beribadah, meyakini ada petunjuk atau kekuatan lain yang mampu mempengaruhi kehidupan mereka. Ringkasnya, mereka meyakini tauhid rububiyah namun mengingkari konsekuensinya, yaitu tauhid uluhiyah. Efeknya, dalam beribadah mereka tidak lagi menyembah Allah semata. Melainkan menyekutukan-Nya dengan tuhan-tuhan yang lain.
Sementara jahiliyah hari ini, ibadah banyak dipahami sebagai ritual-ritual yang dilakukan di seputaran masjid semata. seola-olah kategori ibadah itu hanya shalat, puasa, zakat, haji, dzikir, baca quran, sedekah, dan sebagainya. Sementara aktivitas di luar masjid tidak lagi dipahami sebagai ibadah. Sehingga mereka cenderung mengabaikan aturan Allah Ta’ala di dalam setiap aktivitas di luar komplek masjid.
Padahal bila dilihat dari definisi ibadah itu sendiri, kata “ibadah” memiliki beberapa makna yang mengikat, yaitu: ketaatan (al-ubudiyah), ketundukan (al-khudhu’), kehinaan (adz-dzull), dan lain-lain. Dalam setiap aktivitas kita, baik itu di dalam bermuamalah, bekerja, bersosial, berpolitik dalam seluruh sisi hidup kita terhitung ibadah kepada Allah. Artinya, semua amalan itu harus mempertimbangkan keridhaan Allah Ta’ala.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah,” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Ayat Al-Qur’an di atas sekalipun ungkapannya pendek, namun ia mengandung sebuah hakikat makna yang amat besar. Karena kehidupan manusia di muka bumi ini tidak akan menjadi benar dan lurus tanpa memahaminya dengan benar, baik dalam kehidupan pribadi, sosial, budaya, politik bahkan dalam kehidupan manusia secara keseluruhan. Yaitu memurnikan ibadah sepenuhnya kepada Allah Ta’ala semata.
Karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, mendefinisikan ibadah sebagai segala sesuatu yang diridhai Allah Ta’ala baik dalam bentuk ucapan dan perbuatan lahir atau batin. Pengertian ini mencakup shalat, puasa, zakat, haji, menunaikan tugas, berbuat baik kepada orang tua, silaturrahmi, amar ma’ruh nahi munkar, berjuang mempertahankan agama, bersikap baik dengan tetangga, anak yatim, fakir miskin dan amalan-amalan lainnya dalam aktivitas hidup manusia. Semuanya ada keterkaitannya dengan petunjuk dan aturan Allah Ta’ala. Sedangkan kita sebagai hamba-Nya dituntut untuk patuh, pasrah dan tunduk sepenuhnya terhadap ketetapan tersebut. Dan tampaknya inilah wujud dari saksi yang sering kita ulang-ulang dalam setiap shalat kita.
قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ* لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
“Katakanlah sesungguhnya salatku, ibadahmu, hidupku dan matiku semata untuk Allah Dzat Penguasa alam semesta* Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah),” (QS. Al-An’am: 162-163)
Dalam bukunya, Jahiliyah al-Qarni al-isyriin, Muhammad Qutb menjelaskan jahiliyah bukanlah hanya keadaan di jazirah Arab pada masa awal Nabi Muhammad SAW diutus. Jahiliyah merupakan sifat yang mungkin berlaku bagi masyarakat manapun dan di zaman kapanpun. Petunjuk agama sejak awal diturunkan merupakan sistem menyeluruh bagi kehidupan manusia. Mencakup persoalan kemasyarakatan, ekonomi, budaya, pendidikan, politik dan sebagainya. Dan jahiliyah hari ini berusaha memisahkan dan melenyapkan semua kebenaran agama tersebut, dan menganggap bahwa agama sama sekali tidak berhak ikut campur tangan kecuali dalam persoalan ubudiayah semata (ibadah mahdhah) dan tidak berhak menentukan aturan bagi kehidupan praktis umat manusia.
Berikutnya, beliau menegaskan, Jahiliyah adalah kesesatan dan penyelewangan dari bentuk penghambaan yang benar kepada Allah. Yaitu suatu bentuk peribadatan yang dibuktikan dengan ketundukan kepada Allah semata dalam segala aspek kehidupan. (Jahiliyah al-Qarni al-isyriin, hlm. 42-43)
Walhasil, hakikat jahiliyah tidak bisa dipahami sebagai kebodohan semata. Tapi ia merupakan istilah Qurani yang hanya dapat dipahami lewat penjelasan Al-Quran dan Sunnah. Salah satu makna jahiliyah yang disebutkan dalam al-Quran adalah ketika pola pikirnya salah dalam memahami tauhid. Sehingga pemahaman ibadahnya pun rancu, sering disertakan sekutu di dalamnya atau dibatasi pemaknaannya dan hanya dipahami sebagai ritual atau aturan-aturan Allah yang mengikat di dalam masjid saja. Sementara di luar itu, aturan Allah tidak perlu lagi ikut mengatur. Wallahu a’lam bissowab. Penulis: Fakhruddin/ kiblat.net/Foto: Menyembah berhala (Ilustrasi)
BACA JUGA
Kalimat dari Buya Hamka yang Melegenda