Uang sebesar Rp 100 juta itu dianggap sebagai upaya agar kasus kematian almarhum Siyono yang dianggap teroris oleh Densus 88 tidak dipermasalahkan atau sebagai upaya tutup mulut.
http://www.suarakaltim.com- Kasus kematian Siyono, aktivis yang tewas di tangan Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88, beberapa tahun lalu, belum selesai perkaranya.
Tim Pembela Kemanusiaan (TPK) selaku kuasa hukum keluarga almarhum Siyono mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Klaten.
“Upaya ini ditempuh untuk mencari kepastian hukum kasus dugaan pembunuhan terhadap Siyono,” ujar Wakil Sekretaris Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Virgo Sulianto Gohardi, dilansir dari hidayatullah.com saat dikonfirmasi, Kamis (28/02/2019).
Virgo mengatakan, kasus tewasnya almarhum Siyono oleh Densus 88 memasuki babak baru. Setelah 3 tahun mandeg pengusutan kasus tersebut, keluarga almarhum yang diwakili oleh tim kuasa hukum Muhammadiyah telah resmi mengajukan gugatan pra peradilan ke Pengadilan Negeri Klaten, Jawa Tengah, Kamis (28/02/2019) terhadap Kepolisian dalam hal ini Polres Klaten.
“Adapun alasan gugatan ini karena kasus tersebut diduga ditutup atau dihentikan secara diam-diam dan tanpa memberitahukan kepada keluarga almarhum,” ujarnya.
Padahal, kata dia, tim kuasa hukum sudah berulang kali meminta surat pemberitahuan penanganan penyidikan ke kepolisian namun permohonan yang disampaikan secara resmi tersebut tak pernah ada tanggapan atau jawaban.
Ia mengatakan, adanya gugatan pra peradilan terhadap Polres Klaten, publik juga diingatkan tentang uang sebesar Rp 100 juta yang pernah diserahkan pihak polisi kepada istri almarhum sebagai biaya pengurusan jenazah dan untuk biaya pendidikan anak almarhum.
Namun uang itu tidak digunakan oleh istri almarhum. Malah uang yang masih terbungkus kertas coklat itu diserahkan ke PP Muhammadiyah yang diterima Busyro Muqoddas pada sekitar akhir Maret 2016 lalu.
Uang sebesar Rp 100 juta itu dianggap sebagai upaya agar kasus kematian almarhum Siyono yang dianggap teroris oleh Densus 88 tidak dipermasalahkan atau sebagai upaya tutup mulut.
“Juga bisa diartikan sebagai bagian gratifikasi yang oleh PP Muhammadiyah kemudian uang itu dilaporkan ke KPK untuk menelusuri aliran uang itu dan mengungkap siapa pelaku pemberian uang gratifikasi tersebut,” jelasnya.
Namun hingga hari ini, kata dia, pengungkapan kasus oleh KPK tak kunjung terang. Berkali-kali pula ditanyakan mengenai kelanjutan pengaduan tersebut tapi KPK seolah bungkam dan tidak ada titik terang siapa di balik kasus tersebut.
“Untuk itu, kami ingin mengingatkan kembali tentang kasus ini agar bisa diungkap secara terang dan jelas siapa yang paling bertanggung jawab atas gratifikasi dalam bentuk Rp 100 juta tersebut,” ujarnya.
Ia menilai, perlu adanya transparansi akan perkembangan kasus sehingga publik tidak bertanya-tanya, serta untuk menjawab semua dugaan yang selama ini bahwa ada kekuatan besar di balik peristiwa pembunuhan terhadap almarhum Siyono.
“Lembaga manapun termasuk negara harus bertanggung jawab bila terlibat dalam pemberian uang kepada keluarga almarhum Siyono,” pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, Siyono, warga Dusun Brengkungan, Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Klaten, Jawa Tengah, tewas usai dibawa aparat Densus 88, Selasa (08/03/2016).
Warga Muhammadiyah Klaten ini awalnya sehat tanpa sakit tanpa luka. Korban dijemput Densus 88 setelah shalat maghrib di masjid dekat rumahnya. Siyono kemudian telah dinyatakan tewas oleh kepolisian saat pemeriksaan pada Jumat (11/03/2016).*Hidayatullah.com