Perang Air antara Sri Mulyani dan Anis Baswedan

 
 

Oleh: Beggy Rizkiansyah, kolumnis Kiblatnet

 “Mereka alergi seperti menyentuh penyakit kusta dengan dengan istilah azas kekeluargaan,” – Mubyarto.

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”- Pasal 33 Ayat 3.

suarakaltim.com  –  Setahun menjelang keruntuhannya, rezim Soeharto membuat satu kebijakan yang krusial. Ia sepakat untuk membuka keran privatisasi pengelolaan air di Provinsi DKI Jakarta. Keputusan ini menjadi salah satu contoh agenda liberalisasi ekonomi di Indonesia.

Pasal 33 UUD 1945 berbunyi: Bumi, air dan kekayaaan alam lainnya dikuasai oleh negara. Namun bunyi gemerincing uang akhirnya menggilas pasal tersebut. Privatisasi air di Jakarta menjadi salah satu lahan basah yang menggiurkan. Air adalah kebutuhan pokok manusia untuk hidup. Tanpa BBM, manusia masih mungkin untuk hidup. Tetapi tanpa air, manusia pasti mati. Berapapun harga air, ia akan selalu dibutuhkan.

Bryan Lufkin dalam Why Hydro-politics will shape the 21st Century (2017) menyebutkan bahwa politik air akan menjadi penentu di abad ke-21. Peran air dalam menentukan kebijakan politik sudah berlangsung selama berabad-abad. Di peradaban kuno, air menjadi batas alami untuk masyarakat dan kekuasaan. Hari ini, lanskap geopolitik turut ditentukan akses terhadap air.

Ada beberapa negara berbagi sungai yang sama. Sungai Yordan menjadi sumber utama bagi banyak kawasan termasuk Yordania, Palestina dan Israel. Mesir dan Etiopia telah bertikai soal air dari sungai Nil selama berabad-abad. Hulu sungai Nil ada di Etiopia, hilirnya ada di Mesir. Pada 2015, Mesir dan Etiopia mendirikan bendungan terbesar di Afrika. Di Asia Tenggara, Malaysia sepakat memberi akses berbayar terhadap air bersih dari Sungai Johor ke Singapura selama 99 tahun. (Bryan Lufkin: 2017)

Di Indonesia, negeri ini memiliki 21% total suplai air di Asia Pasifik (dan 6% di dunia). Seharusnya Indonesia bukan menjadi negara yang penduduknya kekurangan air. Namun kenyataannya, hanya 70% dari total populasi yang memiliki akses ke air yang layak minum. Menurut World Resource Institute, Indonesia akan menghadapi masalah air lebih banyak pada 2040. (Marwa dan Dio Herdiawan Tobing: 2018)

Penyebabnya yang paling sering disebut adalah tata kelola air yang buruk. Masalah lain yang tak kalah penting adalah privatisasi layanan air di Jakarta yang menyebabkan ketidakseimbangan antara kepentingan bisnis dan publik di Indonesia. (Marwa dan Dio Herdiawan Tobing: 2018)

Di Indonesia, privatisasi air merupakan agenda besar dari haluan ekonomi neo-liberal yang didorong oleh lembaga finansial dunia yaitu Bank Dunia. Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF) dan Departemen Keuangan A.S menjadi motor dari liberalisasi ekonomi di dunia. Hegemoni ketiga lembaga ini menyebar luas pasca Konsensus Washington yang menyatakan bahwa era campur tangan negara dalam perekonomian sudah berlalu. (Narcis Shera, Shari Spiegel dan Joseph E. Stiglitz: 2008)

Liberalisasi ekonomi, privatisasi dan stabilitas makro. Agenda ini kemudian menjadi agenda Bank Dunia yang disebarkan ke seluruh dunia termasuk negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Di Indonesia, privatisasi air telah menjadi agenda dari Bank Dunia dan Asia Development Bank (ADB). Logika privatisasi air Bank Dunia menunjukkan bahwa pengelola air sektor publik di bawah pemerintah membuang terlalu banyak air, kinerja yang koruptif dan ketidakmampuan memberi akses air bersih bagi orang miskin. Oleh sebab itu pengelolaan air akan lebih efisien jika dikelola oleh swasta.

“Private participation in water and wastewater utilities has generally resulted in sharp efficiency gains, improved service, and faster investment in expanding service.”(Raja P. Siregar: 2012)

Instalasi pengolahan air di Jakarta dikuasai swasta.

 

Bank Dunia memijakkan tapaknya pertama kali dalam pengelolaan air di Indonesia ketika memberi pinjaman sebesar 92 juta dollar AS untuk kemajuan infrastruktur pada PAM Jaya pada Jui 1991. Bank Dunia saat itu mendorong pemerintah untuk melakukan privatisasi pada PAM Jaya.”(Raja P. Siregar: 2012)

Privatisasi air di Jakarta mendapat gongnya ketika Presiden Soeharto memberi akses pada putranya, Sigit, meski tanpa pengalaman mengelola air. Sigit Harjojudanto dapat terjun ke bisnis ini dan bermitra dengan Thames Water Overseas Ltd pada 1993. Proses penunjukkan tanpa tender ini kemudian membentuk perusahaan lokal dimana Sigit mendapat 20% saham. (Andreas Harsono: 2012)

Hal ini menimbulkan kecemburuan Suez, sebuah perusahaan pengelola air dari Perancis. Suez kemudian bermitra dengan Anthony Salim, putra dari Lim Soe Liong, kroni konglomerat Soeharto. Sebagai perantarta Suez adalah konsultan bernama Bernard Lafrogne. Jakarta cukup besar untuk dua perusahaan. Demikian alasan Lafrogne. (Andreas Harsono: 2012)

Lobi Suez dan Thames berhasil. Seoharto mengizinkan privatisasi air di Jakarta pada 12 Jui 1995. Soeharto memerintahkan Menteri Pekerjaan Umum, Mochtar untuk membagi dua pengelolaan air di Jakarta. Satu untuk Suez, satu lagi untuk Thames. Aturan yang melarang pengelolaan air oleh asing pun diterabas oleh Menteri Mochtar dengan Peraturan Menteri. (Andreas harsono: 2012)

Kontrak ini berlangsung selama 25 tahun (hingga 2023) dan memberi semua sistem air kepada perusahaan swasta, dari bahan baku air, pabrik pengolahan hingga metering dan billing serta aset bangunan milik PAM Jaya. Sebaliknya, PAM Jaya tidak berhak melihat laporan keuangan perusahaan tersebut. PAM Jaya akhirnya hanya menjadi macan ompong dalam mengawasi perusahaan lokal yang dibentuk Suez dan Thames.

Krisis Moneter pun menghantam Asia. Rezim Orde Baru terhuyung-huyung hampir jatuh. Kerusuhan pun merebak di mana-mana. Terjadi gelombang eksosdus keluar negeri. Para eksekutif dari Thames Water dan Lyonnaise des Eaux pun ikut melarikan diri ke luar negeri.

Terjadi krisis pengelolaan air di Jakarta. Tanpa komando, atau instruksi, manajemen ditinggalkan begitu saja oleh para eksekutif Thames dan Suez. Mereka bahkan tidak menelpon para petinggi PAM Jaya. (Andreas Harsono: 2012)

Jakarta sendiri akan mengalami krisis air jika tidak ditangani secara cepat waktu itu. Rama Boedi, pemimpin dari PAM Jaya mengambil alih pengelolaan air di Jakarta atas persetujuan Gubernur Sutiyoso. Boedi juga berniat membatalkan kontrak PAM Jaya dengan Thames dan Lyonnaise des Eaux. (Andreas harsono: 2012)

Ketika Rama Boedi menemui petinggi perusahaan lokal yang dibentuk Thames dan Suez, rapat begitu mencekam. Perwakilan perusahaan lokal di Indonesia tersebut dikawal oleh penjaga bersenjata api. Eksekutif Suez, Bernard Lafrogne dikawal polisi. Rapat berlangsung alot. Kedua pihak mulai saling berteriak. Para perwakilan PAM Jaya menyebut privatisasi adalah ilegal dan korup. (Andreas harsono: 2012)

Thames dan Suez menolak upaya ini. Meski rezim orba sudah runtuh, mereka terus menekan pemerintah dan PAM Jaya. Mundurnya grup Salim dari kesepakatan ini tak membuat mereka ciut. Mereka mengancam pemerintah dengan denda. Pemerintah khawatir perseteruan dengan Thames dan Suez akan membuat investor asing ketakutan. (Andreas harsono: 2012)

Ancaman mereka berhasil. Kesepakatan baru privatisasi air di Jakarta dibuat pada 22 Oktober 2001. Dibentuklah perusahaan baru: P.T. Thames PAM Jaya dan P.T. PAM Lyonnaise Jaya. 95% kepemilikan dikuasai perusahaan induk mereka di London dan Paris. 5% saham diberikan pada P.T. Terra Metta Phora dan P.T. Bangun Cipta Sarana. Keduanya adalah subkontraktor perusahaan asing tersebut. Hal ini menandai berkuasanya perusahaan swasta atas pengelolaan air di Indonesia.

Buruknya Kinerja Swasta

Janji Bank Dunia atas pengelolaan air oleh swasta akan lebih baik hanya isapan jempol. Keterlibatan swasta tidak menjamin kinerja yang memuaskan. Palyja dan Aetra (dahulu Thames Pam Jaya) hanya mampu menambah jangkauan pelayanan sekitar 14, 9% (dari 44,5% pada 1998 menjadi 59,4% pada 2018). Padahal tahun 2023 ditargetkan cakupan layanan mencapai 82%. (Gatra, 20 Februari 2019)

Di Muara Baru, Jakarta Utara misalnya, warga kebanyakan tak dapat menikmati layanan air minum hasil privatisasi ini. Air ledeng seringkali tidak menyala dan kalaupun menyala hanya tengah malam. Alhasil kebanyakan warga membeli air dari penjual air.(Athina Triyananda: 2013)

Meski buruknya kinerja kedua perusahaan asing tersebut, namun dalam kontrak ada klausul yang menggelikan. Yaitu klausul jaminan keuntungan yang diperoleh swasta pada 2023 sebesar 6,7 triliun rupiah, terlepas dari baik atau buruknya kinerja mereka. (Gatra, 20 Februari 2019)

Serang pekerja mengisi air bersih ke dalam jerigen untuk dijual di Muara Angke, Jakarta, Senin (28/1/2019). Pekerja menjual air bersih tersebut dengan harga Rp4.000 per jerigen untuk dipakai kebutuhan sehari-sehari. ANTARA FOTO/Dede Rizky Permana/ama.

 

Warga Jakarta juga harus membayar rata-rata 7.800 per meter kubik (terbagi dalam 7 kategori pelanggan). Ironisnya harga ini lebih mahal 3 kali lipat daripada air bersih di Surabaya. Harga air di Jakarta bahkan paling tinggi di Asia Tenggara, mengalahkan Singapura yang hanya 3.500 per meter kubik. (Gatra, 20 Februari 2019)

Selain harga tinggi, taktik akal-akalan juga ditempuh direksi Palyja. Pada masa awal konsesi, Palyja dan Thames Pam Jaya (sekarang Aetra) mendapat pinjaman. Pembayaran pinjaman ini dibayar dengan penjualan obligasi. Artinya Palyja membayar hutang memakai dana publik. Pada 2008 direksi meminjam Rp. 455 miliar dari ADB dan diketahui bahwa dana tersebut terindikasi kuat dipakai untuk membayar hutang jangka panjang, bukan untuk investasi dan operasi. (Andreas Lako dan Nila Ardhianie: 2011)

Beban bunga dari kebijakan hutang ini berdampak pada kenaikan tarif agar perusahaan tidak mengalami penurunan laba. Bahkan laba terus meningkat. Maka pada 2005-2007 terjadi pemaksaan penaikan tarif. Taktik kenaikan tarif ini tidak disetujui, mereka tidak kehilangan akal. Pada 2008 mereka melakukan reklasifikasi kelompok pelanggan. Pelanggan yang berada di kelompok menengah ke bawah, diubah menjadi menengah ke atas. (Andreas Lako dan Nila Ardhianie: 2011)

Pada tahun 2013, atas mahalnya harga air bersih akibat swastanisasi perusahaan air minum, masyarakat atas nama Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) menggugat ke pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan meminta pengelolaan air dikembalikan pada negara. Mereka menggugat Presiden SBY, Gubernur DKI Joko Widodo dan Perusahaan air minum Palyja, Kementerian Keuangan dan beberapa lembaga negara lainnya.

Meski pada 18 Februari 2015, MK sudah membatalkan UU Sumber Daya Air (SDA) namun putusan gugatan ini belum juga keluar. Namun sebulan kemudian pengadilan mengabulkan gugatan tersebut dan menyatakan Perjanjian Kerjasama yang ditandatangani PAM dan Pam Lyonnaise Jaya pada 1997 (dan diperbarui pada 2001) batal dan tidak berlaku.

Namun pada 2016, di Pengadilan Tinggi, gugatan tersebut kemudian ditolak. KMMSAJ mengajukan kasasi pada MA. Pada Oktober 2017, di tingkat Kasasi, Mahkamah Agung membatalkan putusan PT DKI. Putusan itu menyatakan PT Aetra Air Jakarta, PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan Pemprov DKI harus menyetop swastanisasi air.

Putusan ini tentu saja kabar gembira bagi kembalinya pengelolaan air ke tangan rakyat (negara). Namun sekali lagi, kabar gembira ini tidak berlangsung lama. Menteri Keuangan, Sri Mulyani pada 22 Maret 2018 mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. 8 Bulan kemudian, 30 November 2018, PK tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Agung. (Gatra, 20 Februari 2019)

Hal ini tentu saja mencederai rasa keadilan. Swastanisasi air yang melanggar UUD Pasal 33 justru didukung oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Padahal Pihak Pemprov DKI di bawah Gubernur Anis Baswedan telah menerima gugatan tersebut karena menganggap swastanisasi jauh dari rasa keadilan. Kontrak itu dianggap membuat Pemerintah kehilangan kontrol kewenangan atas pengelolaan air bersih. Kedua pengelolaan tata kelola air oleh pihak swasta di semua lini membuat PAM Jaya kehilangan hak pengelolaan air minum. (Gatra, 20 Februari 2019)

Anis mengaku tak ambil pusing dengan adanya putusan PK yang diketok MA tersebut. Ia menyatakan pihaknya menjadikan UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 sebagai landasan dalam membangun pengelolaan air minum di Jakarta. (Gatra, 20 Februari 2019)

Bagaimanapun juga, putusan PK ini tentu saja menyulitkan Gubernur DKI selaku pihak yang terkait untuk menguasai kembali pengelolaan air di Jakarta. KMSAJ sendiri meminta Anis membatalkan kontrak dengan Aetra dan Palyja. Namun kenyataannya tidak semudah itu. Jika Pemprov DKI memutus kontrak secara sepihak, maka Pemprov diwajibkan membayar biaya terminasi sebesar 1 triluin rupiah. Padahal kontrak akan berakhir 4 tahun lagi. (Gatra, 20 Februari 2019)

Gubernur Anis sendiri membentuk tim evaluasi. Opsi pertama dinilai tim evaluasi tidak menguntungkan. Begitu pula jika Pemprov membiarkan kontrak berakhir dengan sendirinya pada tahun 2023. Pemprov DKI diharuskan menyetor jaminan keuntungan sebesar 8,5 triliun rupiah. 6,7 triliun pada Palyja, dan 1,8 triliun pada Aetra. Opsi ini jelas tidak adil, karena menimbang kinerja buruk keduanya. (Gatra, 20 Februari 2019)

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bertekad hapuskan swastanisasi air di Jakarta.

 

Opsi lain yang akhirnya dipilih adalah Pemprov akan membeli saham Palyja dan Aetra. Opsi ini sendiri pernah direncanakan Gubernur DKI sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Saat itu angka yang ditaksir untuk membeli Palyja sebesar 800-900 miliar rupiah setelah dikurangi deviden. (Gatra, 20 Februari 2019)

Opsi memutar dengan akuisisi ini jelas tidak mudah bagi Anis Baswedan. Namun pertanyaan penting yang layak dicetuskan adalah: Mengapa Menteri Keuangan mendukung swastanisasi air yang jelas bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33? Hermawanto, Direktur Sekolah Konstitusi Indonesia misalnnya, menuding PK yang dilakukan oleh Menteri Keuangan atas inisiatif dari pihak swasta. (Gatra, 20 Februari 2019)

Kementerian Keuangan menolak hal ini. Kemenkeu mengajukan PK karena ikut terlibat dalam kerjasama antara pemerintah dan swasta di tahun 1997 tersebut. Kemenkeu (waktu itu Departemen Keuangan) memberikan support letter atau surat penjaminan kepada swasta yang ditunjuk. (Gatra, 20 Februari 2019)

Masalahnya lebih dari sekedar teknis. Menteri Keuangan, Sri Mulyani seharusnya menjadi pengusung dari semangat pasal 33, namun kenyataannya tidak. Mengapa? Untuk mengetahui jawabannya, kita harus kembali ke 16 tahun yang silam.

Tahun 2003, pasca reformasi muncul suara untuk mengamandemen UUD 1945, termasuk pasal 33. Namun tidak semua sepakat untuk mengamandemen pasal 33. Tim Ahli Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat terbelah suarannya. Penolakan terhadap amandemen disuarakan Ketua Tim Ahli, yaitu Mubyarto, ekonom yang dikenal mengusung ekonomi kerakyatan, dan Dawam Rahardjo. Di seberang mereka, berkumpul ekonom yang mendukung amandemen pasal 33, yaitu Sjahrir, Sri Adiningsih, Didik J. Rachbini serta Sri Mulyani. (Tempo.co: 2003)

Mubyarto dan Dawam Raharjo akhirnya mengundurkan diri dari Tim Ahli. Menurut Mubyarto, pengunduran dirinya disebabkan hal prinsipil, yaitu azas kekeluargaan dalam perekonomian nasional yang mengatur hajat hidup orang banyak. Mubyarto mengatakan, penghapusan azas kekeluargaan hendak dilakukan oleh kubu Sri Mulyani dkk. “Mereka alergi seperti menyentuh penyakit kusta dengan dengan istilah azas kekeluargaan,” cetus Mubyarto. (Tempo.co : 2003)

Mengutip pendapat Bung Hatta, Mubyarto dalam Amandemen Pasal 33 UUD 1945 yang Dipaksakan mengatakan bahwa Pasal 33 berisi perintah dianutnya dan dilaksanakannya sistem ekonomi kekeluargaan dan kerakyatan yang demokratis, yang menjamin dicapainya tujuan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Pasal 33 adalah pasal ekonomi ynng berciri anti liberalisme dan anti kapitalisme.

Ironisnya, salah satu draft amandemen yang diajukan adalah digantinya kata “…dikuasai oleh negara”, dengan “diatur oleh negara.” Mubyarto juga mengkritik dipakainya kata efisiensi dalam pasal 33 yang sudah diamandemen. “Mereka yang ingin menggusur asas kekeluargaan memang bersemangat sekali memasukkan kata efisiensi (ekonomi) karena dianggap asas kekeluargaan menolak sistem ekonomi pasar yang berpinsip efisiensi….,” terang Mubyarto. (Mubyarto; 2003)

Kehadiran Sri Mulyani sebagai penyokong amandemen pasal 33 memberi pertanda yang jelas. Ia bukanlah pengusung spirit anti kapitalisme dan anti liberalisme pasal tersebut. Sebaliknya ia adalah penyokong ekonomi pasar yang memasukkan kata efisiensi dalam pasal 33. Oleh sebab itu tidak mengherankan, sebagai Menteri Keuangan, ia berada di seberang pasal 33 UUD 1945.

Perjuangan rakyat untuk merebut kembali hak mereka atas pengelolaan air masih panjang dan harus berdarah-darah. Perjuangan yang dilakukan bertahun-tahun kandas ditangan Menteri Keuangan.

Pemerintah Provinsi DKI harus berjuang lebih keras untuk merebut kembali pengelolaan air di Jakarta. Mereka untuk menyiasati putusan PK tersebut. Gubernur Anis Baswedan yang menyebut perjanjian privatisasi itu “jauh dari rasa keadilan” harus berhadapan dengan Sri Mulyani. Menteri yang rekam jejaknya bertentangan dengan semangat anti kapitalisme dan anti liberalisme pasal 33.

Di tengah riuhnya kontestasi pilpres dan perhatian publik yang tersita persoalan pilpres, sedang terjadi perang senyap antara Sri Mulyani dan Anis Baswedan. Perang yang menguasai hajat hidup orang banyak.k/sk-009-kiblat.net