Strategi Caleg Muda Kalahkan Senior

 

Rapat paripurna DPR RI. ©twitter.com/DPR_RI

www.suarakaltim.com – Sejak zaman orde baru, politikus di DPR masih didominasi para senior. Nama mereka tenar. Sudah kawakan lantaran malang melintang di dunia politik. Kala itu anak muda jadi anggota dewan adalah sebuah keniscayaan. Hampir tidak ada. Sulit tembus seleksi. Alasan santer terdengar masalah fulus. Bikin jalan mereka tak mulus.

Urusan duit harus disadari menjadi kendala penting. Alat perjuangan untuk bertemu calon pemilih. Sekaligus untuk membeli perlengkapan kampanye. Beragam cara dilakukan demi menekan pengeluaran. Caleg muda selalu punya cara sendiri. Murah dan sederhana.

Ragam cara dilakukan anak muda bersaing dengan para senior. Bertarung di dapil bukan hal mudah. Anak muda harus pintar ambil celah. Tak mau pakai cara lama. Semua dipakai politisi lama sudah usang. Mereka justru lebih semangat.

Dengan kondisi fisik masih segar bugar, semua dilakoni. Ide cemerlang pun muncul. Seperti dilakukan caleg dari Partai Demokrat, Astari Aslam. Perempuan asli Sunda ini memang menargetkan banyak pemilih dari milenial dan kaum ibu. Untuk itu, banyak kegiatan lebih diutamakan kepada kaum hawa. Salah satunya dengan mengadakan tata rias wajah.

Dilansir dari merdeka.com, finalis Puteri Indonesia tahun 2017 ini, mengaku banyak warga antusias. Sambil berbagi ilmu tentang tata rias, Tari mencoba menyerap aspirasi dari warga Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat (Dapil II Jawa Barat). Sebagai bekalnya nanti di DPR bila lolos ke Senayan.

Caleg muda Partai Demokrat, Astari Aslam 2019 Merdeka.com/ instagram @astariaslam

Bagi wanita 26 tahun ini, tidak mudah bisa menang di dapil itu. Sebab harus bersaing dengan caleg lain lebih berpengalaman. Bahkan di Partai Demokrat, dia harus bersaing dengan Dede Yusuf Macan. Mantan aktor laga itu bahkan sudah berpengalaman duduk sebagai wakil gubernur Jawa Barat.

“Saingan terberat saya Dede Yusuf, beliau selain artis laga juga mantan wakil gubernur dan sekarang masih anggota DPR dari Dapil saya,” kata Tari dikutip dari merdeka.com, pekan lalu.

Meski harus bersaing dengan senior, Tari tetap optimis bisa lolos ke DPR. Sebab, selama masa kampanye, dia datang langsung menemui konstituen. Hal ini dianggap cara paling efektif untuk menarik perhatian dan membuat pemilih menjatuhkan pilihan pada dirinya.

Sebagai generasi milenial, sudah selayaknya tahu mengenai banyak teknologi. Kemudahan mengakses internet harus dimanfaatkan betul. Dengan alasan anggaran cekak, ini menjadi senjata lain para caleg muda. Selain dirasa ampuh, juga hemat biaya.

Banyak Saingan Berat

Kondisi itu dirasakan Atikah Shalihat. Caleg PKS untuk Dapil Jabar V, Kabupaten Bogor. Wilayahnya merupakan arena pertarungan politikus senior. Banyak nama tenar dari sana. Sebut saja Wakil Ketua DPR sekaligus Wakil Ketua Umum Partai GerindraFadli Zon dan Anggota Komisi VII DPR yang juga kader PDIP Adian Napitupulu.

Alhasil dia harus lebih cermat. Caranya dengan memaksimalkan media sosial. Tim media Atikah harus kerja keras membuat konten menarik. Sebab di kalangan milenial dia harus bersaing dengan Faldo, caleg muda Partai Amanat Nasional sekaligus Jubir Prabowo-Sandiaga, yang dirasa memiliki beragam konten menarik di media sosial.

Selain membuat konten kreatif kampanye, Atikah punya strategi khusus menarik massa milenial. Salah satunya lewat orangtua generasi milenial. Sebagai kader PKS, dia lebih banyak blusukan dari pengajian satu ke pengajian lainnya. “Biasanya saya bilang, kalau anak ibu-bapak ada yang mau berwirausaha, bisa kontak saya. Insya Allah saya bantu usahanya,” kata Atikah.

caleg muda PKS, Atikah Shalihat 2019 Merdeka.com/ PKS.id

Selain sebagai aktivis, Atikah juga seorang pengusaha muda. Saat ini dia mengelola bisnis tempat makan di kawasan Bojonggede. Dia merasa anak muda hari ini tidak boleh selalu bergantung kepada orangtua. Memulai bisnis kecil-kecilan bisa jadi cara anak muda bisa mandiri dan dia telah membuktikannya.

Sadar saingannya cukup kuat, Atikah pun membatasi diri saat berkampanye. Dia memilih tidak masuk kandang lawan. Dia sengaja menghindari basis massa pesaingnya. Dia pun memaksimalkan kampanye di sekitaran wilayah Bojonggede dan beberapa wilayah lainnya.

Tidak Bisa Instan

Data Kementerian dalam negeri mencatat dari jumlah pemilih 196,6 juta jiwa, 100 juta di antaranya adalah pemilih milenial. Yakni pemilih usia 17 sampai 34 tahun. Data dari Saiful Mujani Research Consulting (SMRC) menyebut ada 34,4 persen pemilih kategori milenial.

Banyaknya jumlah pemilih usia di bawah 40 tahun menjadi modal caleg milenial menggarap suara dari kaumnya. Apalagi mereka sudah melek teknologi. Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggaini menyebut ada empat cara menarik perhatian milenial.

Pertama, merawat basis suara. Meski milenial identik dengan hal-hal praktis. Namun, dalam dunia politik hal itu tidak bisa diterapkan secara utuh. Memelihara basis tidak sepraktis mengirim surat elektronik. Dibutuhkan kreativitas saat mendekati calon pemilih. Menggunakan bahasa anak muda pada sesama milenial. Menggunakan bahasa lebih sopan kepada pemilih yang usianya lebih tua.

“Menang pemilu tidak instan, semua harus dilakukan dengan baik dan bertahap,” kata Titi.

Kedua, menggunakan metode kampanye kreatif. Menyesuaikan kebutuhan dan konten kampanye dengan masyarakat. Keragaman dan kreativitas jadi penentu kesan yang diberikan caleg kepada konstituen.

Ketiga, kata Titi, memaksimalkan media sosial sebagai tempat berkampanye. Kampanye lewat media sosial dianggap lebih praktik dan murah. Di samping kampanye tatap muka, kampanye online juga bisa dimaksimalkan.

Terakhir, membangun soliditas caleg muda dengan internal partai politik. Biasanya kata Titi, peran internal partai sangat berpengaruh. Mereka adalah orang-orang paham medan. Mereka tidak sehari-dua hari di partai. Tak jarang dari mereka juga memiliki basis massa.

“Membangun soliditas dengan struktur partai sangat penting agar bisa didukung kader yang sudah mengakar di lapangan,” ujar Titi menerangkan. [merdeka.com]