KORAN, BISNIS DAN PERANG

HARI itu tak akan terlupakan seumur hidup Ricky Rumaruson. Ia tengah menikmati liburannya pada Selasa, 19 Januari 1999, bertepatan dengan hari raya Idul Fitri.
HARI itu tak akan terlupakan seumur hidup Ricky Rumaruson. Ia tengah menikmati liburannya pada Selasa, 19 Januari 1999, bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Rumaruson baru kembali dari Liliboy, kampung halamannya yang menempuh satu jam perjalanan darat dari kota Ambon.

Sekujur tubuhnya pegal-pegal. Sore itu ia meminta seorang teman memijatnya. Belum selesai dipijat, di luar rumah orang sudah gaduh. Mula-mula satu-dua orang berbicara, lama-kelamaan makin banyak yang berkumpul. Mereka membicarakan satu hal: perkelahian antara pemuda Batumerah dan Mardika.

Batumerah dan Mardika, dua kampung yang bertetangga. Sebagian besar penduduk Batumerah beragama Islam, sedang sebagian besar penduduk Mardika memeluk Kristen. Pemuda dari dua kampung ini sudah biasa bertengkar.

Di Batumerah ada terminal angkutan, tak jauh dari situ ada pasar Mardika. Dua tempat itu jadi tempat nongkrong anak-anak muda putus sekolah, sambil memalak pedagang atau sopir angkutan. Pertengkaran sudah jadi pemandangan umum. Tapi hari itu, berbeda.

Semakin malam, orang yang berkumpul bukan hanya banyak, tetapi juga makin gaduh. Apa saja dipukuli. Tiang listrik. Pintu pagar. Mereka juga membawa golok, pisau, dan senjata tajam lain.

“Mereka serang Mardika,” teriak seseorang.

“Kalau ada orang Islam bunuh,” balas yang lain.

Rumaruson baru ingat kalau teman yang tengah memijatnya beragama Islam. Malam itu ia langsung menyembunyikan temannya. Tak ada yang menyangka bahwa hari itu adalah awal dari kerusuhan di Maluku.

Konflik Maluku, salah satu konflik terbesar di negeri ini. Orang Kristen membunuh dan membakar desa Islam. Orang Islam membunuh dan membakar desa Kristen. Diperkirakan lebih dari 10 ribu nyawa melayang, puluhan ribu rumah dan tempat ibadah hancur.

Konflik cepat menyebar. Pada 19 Januari itu, selain di Batumerah dan Mardika, konflik juga pecah di Dobo, Tanibar, Silale, Waihaong, Kudamati, Paradey, dan Batu Gantung. Sejak itu, konflik antarkampung maupun desa Kristen dan Islam di Maluku makin meluas.

Desa-desa berpenduduk campuran, terutama yang dihuni pendatang dari Pulau Buton, Pulau Bangka, dan Pulau Belitung serta beragama Kristen-Islam menjadi titik-titik panas di wilayah tersebut.

Esok harinya, 20 Januari 1999, konflik berlangsung lebih dahsyat dan meletus di banyak tempat di Ambon, mulai dari Bentengkarang, Nania, Hila, Wailete, Kamiri, sampai Hative Besar.

Satu di antara korban konflik 20 Januari itu Ahmad Ibrahim. Rumah Ibrahim terbakar. Ia terpaksa membawa anak dan istrinya mengungsi.

Rumaruson dan Ibrahim dua wartawan Suara Maluku, satu-satunya harian yang terbit di Maluku. Mereka berdua tak bisa meliput karena harus menyelamatkan keluarganya lebih dulu.

Kerusuhan ini tak diberitakan Suara Maluku. Hampir dua minggu harian tersebut tak terbit. Suara Maluku terbit lagi pada Senin, 1 Februari 1999. Headline yang diusung berbunyi, “Ambon Sudah Dikendalikan.” Beritanya tentang aktivitas keseharian masyarakat Ambon yang mulai normal. Halaman pertama koran itu berisi parade pendapat tokoh masyarakat yang tak menyangka konflik bisa terjadi.

Sepanjang Februari, Suara Maluku terbit sembarang. Kadang terbit, kadang menghilang. Situasi Ambon masih tak normal. Hari ini aman, besok ada desa terbakar. Besoknya lagi pasar terbakar.

Wartawan Suara Maluku, baik yang Islam maupun Kristen tetap datang ke kantor, di Halong Atas. Kalau naik sepeda motor dan memasuki daerah Kristen, wartawan Kristen yang pegang kemudi. Sebaliknya, kalau memasuki wilayah Islam, setir diserahkan ke wartawan Islam.

Tapi Maret, praktis wartawan Suara Maluku yang beragama Islam tak bisa datang lagi ke Halong Atas. Desa yang mayoritas berpenduduk Kristen mengusir orang Islam, demikian juga sebaliknya, desa berpenduduk mayoritas Islam mengusir orang Kristen. Sweeping kartu tanda penduduk secara spontan dilakukan warga. Kalau di desa itu kedapatan orang yang berbeda agama, bukan hanya orang itu yang dibunuh, yang melindungi bisa ikut dibunuh dan dicap pengkhianat.

Halong Atas berjarak sekitar 10 kilometer dari pusat kota Ambon, terletak di kawasan Kristen. Sebelah Halong adalah Galala, juga komunitas Kristen. Wartawan yang beragama Islam tak bisa masuk ke Halong. Tapi wartawan yang beragama Kristen pun tak mudah datang ke sana. Dari arah kota, kalau menempuh jalan darat, harus melewati Batumerah, salah satu perkampungan dan basis Islam yang kuat. Perjalanan aman ditempuh dengan naik speedboat. Satu kilometer dari kantor Suara Maluku, ada dermaga penyeberangan Galala.

Saat itu beberapa anggota redaksi Suara Maluku mengambil keputusan, wartawan Suara Maluku yang Islam tak perlu ke kantor. Wartawan Kristen di kota Ambon, yang tak bisa masuk ke Halong juga tak perlu memaksakan diri. Kalau hendak mengunjungi desa lain, mereka harus menunggu kunjungan pihak kepolisian atau rombongan pejabat yang tengah melihat desa konflik. Biasanya, ikut rombongan aman lantaran pengamanan diperketat.

Berita dikirim lewat faksimile. Ada satu dua orang redaktur di Halong yang akan menyunting berita. Wartawan Islam melaporkan peristiwa yang terjadi di daerah Islam, sedang wartawan Kristen melaporkan peristiwa yang terjadi di komunitas Kristen. Konfirmasi dilakukan dengan meminta komentar pejabat pemerintah atau kepolisian.

Selesai? Ternyata tidak.

Mulai ada kekecewaan di kalangan wartawan Islam. “Kalau saya menulis berita seremonial, kunjungan pejabat atau kegiatan di kantor gubernur dimuat. Tetapi ketika saya menulis peristiwa serangan terhadap desa Islam, selalu tidak dimuat,” kata Ongki Anakoda, salah satu reporter.

Ada 10 orang dari 30-an karyawan Suara Maluku yang beragama Islam, empat di antaranya wartawan. Mereka itu Ahmad Ibrahim, Ongki Anakoda, Hamid Kasim, dan Nasri Dumula. Satu lagi wartawan beragama Islam, Mohammad Tanreha. Tapi sebelum kerusuhan Tanreha bekerja di Jawa Pos News Network, Surabaya. Dari Surabaya, ia sesekali menulis dan mengirimkan berita untuk Suara Maluku.

Dalam situasi konflik, kecurigaan cepat tumbuh. Desas-desus berkembang. Salah satunya Suara Maluku sudah berpihak ke Kristen. Peristiwa penyerangan desa Islam tak akan bisa dimuat. Reporter yang mewawancarai tokoh-tokoh Islam, beritanya tak dimuat. Kalaupun berita itu dimuat, sudah disunting sana-sini. Namun, tokoh gereja dan Kristen mendapat tempat luas dalam halaman Suara Maluku.

Suatu hari Machfud Waliulu, kepala bagian keuangan Suara Maluku, bertanya pada redaksi, “Kenapa tulisan dari wartawan Islam banyak tidak dimuat?”

Ia memperoleh jawaban yang berbeda-beda. “Ada kalanya saya mendapat jawaban, disket yang dikirim ada virusnya, hari berikutnya dijawab faks tidak terbaca. Lain waktu jawabannya tidak ada orang yang mengetik faks dan macam-macam, ” tutur Waliulu.

Waliulu saat itu bukan wartawan. Ia yang dituakan karyawan muslim di Suara Maluku. Sampai Maret itu, Waliulu masih sesekali datang ke Halong.

Jawaban tadi tak memuaskan wartawan Islam. “Kok kerusakan teknis itu sering terjadi. Kenapa faks saya selalu dibilang tidak bisa dibaca, sementara yang lain tidak,” kata Anakoda.

Menurut pengamatan saya, pemberitaan Suara Maluku awal-awal konflik sebetulnya tidak provokatif. Pemakaian kata-kata “Islam” atau “Kristen” dihindari. Suara Maluku banyak memakai nama desa atau sebutan seperti “kelompok bertikai” atau “warga desa.” Tapi Ambon kota kecil. Dengan menyebut nama desa atau nama orang saja sudah terlihat desa itu Islam atau Kristen. Dalam edisi 23 Maret 1999 misalnya, Suara Maluku melaporkan nasib pengungsi dan rumah-rumah yang hancur di Ambon. Semua bangunan dan pengungsi warga Kristen. Ini bisa menimbulkan penafsiran Suara Maluku berpihak kepada warga Kristen.

Salah satu pemberitaan yang membuat kecewa beberapa wartawan Islam adalah peristiwa di Ahuru. Peristiwa ini dikenal luas sebagai “Subuh Berdarah.” Peristiwanya terjadi 1 Maret 1999. Warga Rinjani yang Islam bentrok dengan warga Ahuru yang Kristen. Tak jelas siapa yang memulai. Sepuluh personel polisi dan militer mencoba melerai. Tapi gagal. Massa kalap. Petugas melepaskan tembakan. Dor …. dor …. beberapa warga meninggal, di antaranya dalam masjid.

Versi yang sangat terkenal menyebutkan, warga muslim ditembak saat berada dalam masjid. Berita ini disiarkan dalam koran Jakarta, sehingga menyulut demonstrasi di mana-mana. Ribuan mahasiswa muslim dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia berdemonstrasi di depan kantor Departemen Pertahanan Keamanan di Jalan Merdeka Barat, Jakarta. Demonstrasi di kota lain juga digelar. Seruannya, “Hentikan pembantaian terhadap umat Islam.”

“Pembantaian” ini pula yang mendorong organisasi-organisasi Islam di Pulau Jawa dan beberapa pulau lain memobilisasi aksi solidaritas Maluku. Mula-mula berbentuk obat dan makanan, belakangan juga senjata.

Suara Maluku tak menulis versi itu. “Saya sendiri merasa peristiwa itu telah diputarbalikkan. Berita Subuh Berdarah itu tidak benar. Karena peristiwanya terjadi pukul tujuh pagi. Yang sebenarnya terjadi, ada kontak fisik. Warga Islam yang terluka dievakuasi ke masjid, dan di antara mereka ada yang meninggal. Bukan karena mereka ditembak dalam masjid,” kata Novi Pinontoan, redaktur Suara Maluku, yang beragama Kristen.

Wartawan muslim Suara Maluku mulai berpikir membuat koran baru. Di lingkungan desanya, Machfud Waliulu sering ditegur orang.

“Kok Suara Maluku beritanya selalu menjelekkan orang Islam?”

“Kok yang diberitakan hanya kalau Islam menyerang desa Kristen?”

Waliulu selalu menjawab, ia bukan wartawan. Ia bekerja di Suara Maluku sebagai kepala bagian keuangan, tak tahu-menahu soal berita. Tetapi ada dua peristiwa yang akhirnya membulatkan tekadnya mendirikan suratkabar baru. Peristiwa pertama, 17 Juni 1999. Saat itu ia masih di kantor. Pukul 10.00 istrinya menelepon. Rumahnya di Talake diserang. Ia menjawab lewat telepon agar istrinya membawa surat dan dokumen yang perlu dan perbekalan secukupnya. Pukul 12.00 Talake memang hancur. Waliulu ikut mengungsi dan tak kembali ke Halong hingga kini.

Peristiwa kedua, di bulan itu juga, namanya tiba-tiba hilang dari masthead Suara Maluku. “Saya kecewa. Saya ikut membangun Suara Maluku, tapi saya merasa seperti dibuang,” tuturnya.

Menurut Waliulu, para pemimpin Suara Maluku menganggap dia yang Islam bisa membahayakan suratkabar itu. Ketika itu orang saling mengelompok sesama agama. Suasana kantor mulai tak nyaman. Saat ia datang, karyawan lain yang beragama Kristen bisik-bisik dan memandang penuh curiga.

Keinginan Waliulu membuat media baru juga didorong tak adanya media yang menyuarakan Islam. Selain Suara Maluku, wilayah Kristen dianggap mempunyai RRI dan TVRI stasiun Ambon. RRI dan TVRI memang bukan corong Kristen, tapi berkantor di wilayah Kristen dan sebagian besar karyawannya Kristen. Kondisi ini membuat RRI dan TVRI banyak memberitakan pertikaian di desa-desa yang berada di wilayah itu.

“Saat itu, orang Islam selalu diberitakan tukang bunuh dan pencuri. Sementara korban di pihak Islam tidak banyak diberitakan,” kata Waliulu.

KERUSUHAN di Maluku mengkhawatirkan Alwi Hamu di Makassar dan Dahlan Iskan di Surabaya. Alwi direktur utama harian Fajar sekaligus direktur pengembangan Kelompok Jawa Pos. Sementara Dahlan bos Kelompok Jawa Pos yang berpusat di Surabaya. Dahlan ibarat panglima pusat, Alwi panglima daerah. Mereka mempunyai investasi di Suara Maluku yang diterbitkan oleh PT Suara Maluku Intim Press dengan komposisi saham: Fajar 30 persen, suratkabar Jawa Pos 20 persen, Alwi Hamu 20 persen, Nani Andili 10 persen, dan karyawan 20 persen.

Kerusuhan Ambon itu bisa menghancurkan gedung dan mesin percetakan yang telah diinvestasikan untuk media lokal tersebut. “Saat kerusuhan itu, Alwi dan Dahlan selalu menelepon menanyakan perkembangan kantor dan wartawan,” kata Waliulu.

Perkembangan Suara Maluku dibicarakan dalam rapat umum Kelompok Jawa Pos di Surabaya, Februari 1999. Elly Sutrahitu, pemimpin umum Suara Maluku, hadir di sana. Menurut Sutrahitu, kasus Maluku menjadi salah satu bahasan yang panas. Peserta menyarankan Suara Maluku dicetak di tempat netral saja. Sutrahitu bercerita susah sekali mencari tempat yang netral di Ambon. Pilihannya hanya dua, berada di wilayah Kristen atau Islam. Saat itu pula terlontar gagasan membuat satu koran lagi yang diperuntukkan bagi komunitas Islam.

Gagasan tersebut memperoleh sambutan dalam rapat evaluasi Kelompok Jawa Pos di Makassar, Mei 1999. Ini kegiatan rutin kelompok media tersebut untuk mengevaluasi koran-koran mereka yang berada di wilayah timur Indonesia. Pemimpin redaksi Suara Maluku Darmosius Sosobeko, Elly Sutrahitu, Machfud Waliulu, dan Ahmad Ibrahim hadir di pertemuan tersebut.

Mereka mulai mempersiapkan pendirian koran baru yang nantinya berada di wilayah Islam. Nama koran itu Ambon Ekspres. Ini bukan nama orisinal. Nama “Ekspres” sering dipakai Kelompok Jawa Pos, kalau di kota itu sudah ada koran yang menjadi anggota mereka. Di Kendari misalnya ada Kendari Ekspres, selain koran yang terbit lebih dulu, Kendari Pos.

Tak semua orang setuju dengan gagasan memecah Suara Maluku. Darmosius Sosobeko, salah satunya. “Di Ambon semua memang terbagi dua, ada angkot (angkutan kota) Islam ada juga angkot Kristen. Kapal Kristen ada, di Islam juga ada. Apakah kita ingin menambah daftar itu menjadi ada media Islam dan ada media Kristen?” kata Sosobeko dalam pertemuan tersebut.

Sosobeko hanya mengusulkan ada dua pemimpin redaksi, satu dari Islam dan satu lagi dari Kristen. “Biarkan saja berbeda tetapi tetap satu koran,” lanjut Sosobeko.

Kalau ingin berbisnis, Sosobeko mengusulkan agar Suara Maluku mempunyai anak-anak penerbitan di kabupaten di Maluku, seperti Tual atau Seram. “Asal jangan membuat koran yang didasarkan atas agama,” katanya.

Namun, Sosobeko kalah suara. Lebih banyak peserta rapat yang mendukung terbitnya Ambon Ekspres, dengan alasan teknis. “Wartawan Islam sudah tidak bekerja selama empat bulan. Mau dikemanakan mereka? Mereka sudah terbiasa menulis dan meliput. Mereka butuh wadah untuk menulis,” kata Ahmad Ibrahim.

Kelompok Jawa Pos mempunyai dua pilihan saat itu. Pertama, merestui pembentukan media baru milik komunitas Islam. Kalau ini yang dipilih, akan ada dua media berdasarkan agama dalam satu kota. Atau kedua, tak merestui media baru dan lama. Artinya, Kelompok Jawa Pos membekukan Suara Maluku dan tak merestui pembentukan media baru sampai Maluku benar-benar aman. Mereka mempunyai kesanggupan untuk itu sebagai pemilik modal. Tapi, kalau pilihan ini yang diambil, Kelompok Jawa Pos tak akan mempunyai media yang berada di wilayah konflik.

Ternyata mereka memilih yang pertama. Pragmatisme mengalahkan prinsip bahwa sebuah kelompok tak bisa dibedakan hanya karena mereka berbeda agamanya. Pilihan ini tak mengejutkan. Menjelang pemilihan umum 1999, Kelompok Jawa Pos mempunyai media-media partai, seperti Amanat (Milik Partai Amanat Nasional), Duta Masyarakat Baru (Partai Kebangkitan Bangsa), Demokrat (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), dan Abadi (Partai Bulan Bintang). Semua media itu saling serang, memuji partai sendiri, dan menjatuhkan partai lawan. Uniknya, semua media itu berkantor di satu tempat, yakni di kantor biro Jawa Pos di Kebayoran Lama, Jakarta. Jarak antara satu redaksi media dengan media lain hanya dipisahkan deretan meja. Wartawan masing-masing media biasa bergaul dan bercanda. Tapi ketika menulis berita, masing-masing harus siap menyerang lawannya. Namun, apa yang terjadi di Ambon berbeda jauh dengan Jakarta. Di Ambon, orang bukan hanya saling kecam dan debat. Di Ambon, bukan lagi mulut yang berbicara, tapi parang, pedang, mesiu, dan bom.

Akhirnya Ambon Ekspres terbit perdana 12 Juli 1999, berbentuk tabloid mingguan dengan pemimpin umum Machfud Waliulu dan pemimpin redaksi Ahmad Ibrahim. Ambon Ekspres diterbitkan oleh PT Ambon Press Intermedia. Komposisi kepemilikan sahamnya Fajar 40 persen, Alwi Hamu 40 persen, dan karyawan 20 persen. Pada terbitan awal, sebagian besar berita Ambon Ekspres masih bersumber dari Jawa Pos News Network dan dari internet. Baru pada edisi seterusnya mengandalkan peristiwa-peristiwa lokal.

46 TAHUN sebelum terjadi partisi, Suara Maluku hanyalah terbitan berbentuk stensilan dua halaman. Terbit pertama kali di Pulau Ternate pada 1953, suratkabar ini dirintis oleh dua tokoh Partai Nasional Indonesia di Maluku, EU Pupella, dan Ot Pattimaipu. Terbitnya tidak rutin. Pada 1959, Suara Maluku gulung tikar.

Nani Andili, yang saat itu pegawai hubungan masyarakat di Pemerintah Daerah Maluku Utara, berusaha menghidupkan kembali Suara Maluku. Pada 1963, Suara Maluku terbit kembali. Bentuknya masih stensilan, kali ini lebih tebal delapan halaman, terbit satu minggu sekali, dicetak 1.000 eksemplar. Tapi jadwal terbitnya asal-asalan. Isinya pun tak jauh dari pekerjaan Andili, yaitu berita dan kegiatan pemerintah, penyuluhan, dan semacamnya.

Di Ambon ada media mirip dengan yang diterbitkan Andili. Namanya Sinar Harapan edisi Maluku. Pendiri sekaligus pengelolanya Etty Manudapessy. Format Sinar Harapan sama dengan Suara Maluku; stensilan delapan halaman, kadang empat halaman. Andili dan Manudapessy sering bertukar terbitan. Pada 1986, mereka sepakat membangun koran lokal di Maluku. Manudapessy memberitahu Andili, kalau ingin Suara Maluku maju harus diterbitkan di Ambon. Ambon pusat pemerintahan Maluku. Minat baca masyarakat lebih tinggi di kota itu ketimbang Ternate, walau banyak orang bilang Ternate lebih kaya.

Ambon memang kota kecil. Luas wilayahnya hanya 4,2 kilometer persegi atau sekitar 10 persen dari luas Pulau Ambon. Tapi posisinya sebagai ibukota provinsi membuat pertumbuhan ekonomi dan penduduk sangat pesat. Saat itu jumlah penduduk Ambon mencapai 250 ribu jiwa. Di Ambon ada pelabuhan dengan kapal yang berlayar tiap hari ke seluruh kabupaten di Maluku.

Pada 1987, Suara Maluku edisi baru terbit di Ambon. Andili sudah pensiun sehingga ia bisa ke Ambon dan berkonsentrasi mengembangkan korannya. Suratkabar ini tak lagi berbentuk stensilan, melainkan dicetak di sebuah percetakan di Manado, Sulawesi Utara. Namun, untuk membangun sebuah media, Andili dan Manudapessy membutuhkan modal, paling tidak mesin cetak.

Mereka bertemu Alwi Hamu, direktur harian Fajar yang terbit di Makassar pada awal 1990. Alwi sering ke Ambon, mengurus bisnis percetakannya, PT Bakti Baru. Percetakan ini menerima pesanan mencetak dokumen dan keperluan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Maluku. Setahun, Alwi bisa dua kali ke Ambon.

Alwi mempertemukan Etty Manudapessy dan Nani Andili dengan Dahlan Iskan, bos Kelompok Jawa Pos. Mereka ingin meniru sukses Fajar, yang setelah bergabung dengan kelompok ini bisa berkembang dengan pesat. Fajar saat itu menjadi harian terbesar di Makassar mengalahkan harian tua, Pedoman Rakyat.

“Saya mau bekerja sama dengan Suara Maluku asal Pak Etty bisa mendapatkan SIUPP harian untuk Suara Maluku,” kata Dahlan, seperti ditirukan Manudapessy.

SIUPP adalah Surat Izin Usaha Penerbitan Pers. Di zaman Orde Baru, untuk menerbitkan suratkabar harus mendapatkan izin yang dikeluarkan oleh Departemen Penerangan dan sulitnya bukan main. SIUPP jadi mekanisme kontrol. Sejatinya, Dahlan semula tak berminat bekerja sama dengan Suara Maluku. Ia membutuhkan koran yang sudah mempunyai SIUPP, tapi sudah mau mati. Tentu saja, bukan koran stensilan macam Suara Maluku.

“Baik. Saya berjanji dalam setahun bisa dapatkan SIUPP untuk Suara Maluku,” kata Manudapessy, tenang. Dahlan tampak terkejut mendengar jawabannya.

Etty Manudapessy kenal baik dengan Harmoko, mantan wartawan yang jadi menteri penerangan saat itu. Perkenalan Manudapessy dengan Harmoko terjadi pada 1980-an lewat temannya asal Ambon, Bram Tuapattinaya, pemilik majalah Metropolitan. Bram Tuapattinaya kini pemilik majalah Kartini. Saat Harmoko menjadi ketua Persatuan Wartawan Indonesia Jakarta, Tuapattinaya menjabat wakil sekretaris. Saat Harmoko menjadi menteri, Manudapessy sempat bertemu Harmoko. Harmoko berjanji akan membantu melicinkan jalan mendapatkan SIUPP bila Manudapessy hendak membuat media di Maluku.

Sambil menunggu SIUPP, Suara Maluku terbit dalam bentuk mingguan. Proses tata letak dan cetak dikerjakan di Fajar. Hari Sabtu, mingguan itu dikirimkan ke Maluku. Agus Latumahina, wartawan Suara Maluku ikut magang di Fajar. Redaktur pelaksana mingguan tersebut pada tahap awal orang Fajar. Mula-mula Usama Kadir, lalu digantikan Amran A. Sayuti pada 1992. Alwi Hamu meminta Sayuti mengelola manajemen dan keredaksian Suara Maluku. Pekerjaan itu hanya sambilan buat Sayuti, tanpa gaji. Wartawan yang ada di Maluku mengirim berita. Berita itu ia sunting kembali, dicampur berita-berita nasional yang diambil dari kantor berita Antara atau Fajar.

Agustus 1992, SIUPP turun. Nani Andili ditetapkan sebagai pemimpin umum, Etty Manudapessy sebagai pemimpin redaksi. Kelompok Jawa Pos memberi enam unit komputer, uang tunai Rp 40 juta, dan mesin cetak bermerek Harris. Mesin cetak ini bekas mesin cetak yang dipakai majalah Tempo, bisa mencetak hitam putih, dalam satu jam bisa memproduksi puluhan ribu eksemplar koran.

Akhir 1992, delapan orang dari Fajar berikut general manager Achmad Qazwini datang ke Maluku menggunakan kapal laut. Qazwini dipilih karena ia mengenal Maluku. Selama beberapa tahun, Qazwini menemani Alwi Hamu mengurus percetakan di Ambon. Ia sudah menjalin hubungan dengan beberapa pejabat dan pengusaha di Ambon. Qazwini saat itu bukan orang redaksi, ia kepala bagian umum dan personalia di harian Fajar. Termasuk dalam rombongan Qazwini, Saifudin Kadir yang akan menjadi redaktur pelaksana di harian Suara Maluku, juga wartawan Fajar asal Ternate Ahmad Ibrahim. Mereka nanti akan mendampingi sekitar 15 orang lokal di Maluku yang sudah bekerja saat Suara Maluku masih mingguan. Struktur organisasi Suara Maluku adalah redaktur pelaksana satu orang Fajar dan satu orang lokal, demikian juga untuk iklan, sirkulasi, tata letak, keuangan, dan administrasi.

Pola ini biasa dilakukan Kelompok Jawa Pos. Ketika bekerja sama dengan suatu koran, mereka menempatkan orang-orangnya. Pemilik lama dibiarkan muncul dalam masthead, tapi orang-orang baru inilah yang sebenarnya menentukan dan mengendalikan jalannya perusahaan. Saat kelompok ini bekerja sama dengan harian Merdeka, milik keluarga B.M. Diah di Jakarta, nama pemilik SIUPP tetap dipajang, sedang kebijakan sehari-hari praktis dikendalikan oleh manajemen Kelompok Jawa Pos.

Saat tiba di Ambon, Achmad Qazwini harus hidup prihatin. Bersama orang yang dibawa dari Makassar, ia mengontrak rumah, tak jauh dari kantor Suara Maluku. Ia tidur hanya beralas tikar.

Harian Suara Maluku terbit perdana pada 19 Februari 1993. Hal pertama yang dilakukan membenahi pemasaran. Urusan redaksi diserahkan pada redaktur pelaksana, Saifudin Kadir dan Dien Kelilauw. Suara Maluku selain dijual di toko dan pusat keramaian, dijual pula di dermaga-dermaga penyeberangan. Meskipun bisa menempuh perjalanan darat, orang Maluku lebih suka lewat jalur laut, lebih murah dan cepat. Dermaga penyeberangan pun selalu ramai. Di sana Suara Maluku dijual. Qazwini juga menggunakan koneksinya dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hasilnya, ia bisa menarik sejumlah guru untuk berlangganan Suara Maluku.

Meskipun didirikan oleh Andili, seorang haji, dan anggota redaksi campuran, Suara Maluku dianggap sebagai media Kristen. “Mungkin karena pembaca Suara Maluku awalnya adalah penduduk Kristen,” kata Qazwini.

Pegawai-pegawai pemerintahan di Ambon kebanyakan diisi warga Kristen. Mereka inilah yang banyak mengonsumsi media. Umumnya warga Islam hidup sebagai petani, nelayan, atau pedagang, yang jarang bersentuhan dengan media.

Untuk menghilangkan kesan Suara Maluku sebagai media Kristen, Qazwini mempunyai trik khusus. Saat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, dua hari raya besar bagi umat Islam, Suara Maluku dicetak dan dibagikan secara gratis. Ongkosnya diambil dari iklan ucapan selamat dari bank-bank pemerintah atau instansi-instansi di Maluku. Tiap hari Jumat suratkabar ini menerbitkan Dialog Jumat. Panjangnya hanya seperempat halaman koran. Isinya soal-soal keagamaan dan tanya jawab masalah Islam.

Dialog Jumat ini suatu saat justru menimbulkan masalah. Pada hari Maulid Nabi Muhammad, 27 Agustus 1999, di bagian bawah kolom itu tertera ucapan berbunyi “Selamat Hari Maulid Babi Muhammad SAW.” Siang itu juga puluhan mahasiwa dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, serta sejumlah warga Islam berdemonstrasi di depan kantor Suara Maluku. Mereka memprotes berita itu dan menganggap Suara Maluku menghina umat Islam, khususnya umat Islam Maluku. Mereka juga mengancam akan membakar kantor Suara Maluku.

Demonstrasi itu membesar dan mendapat tanggapan luas dari pejabat pemerintah Ambon. Adakah sabotase? Qazwini meneliti master film cetakan dan di sana memang tertulis Babi Muhammad (dengan huruf ‘b’ bukan ‘n’). Mungkin kesalahan ketik. Pada kibor komputer, letak huruf ‘b’ dan ‘n’ berdampingan.

Suara Maluku yang terjual ke pasar pun ditarik kembali. Koran yang telanjur dipajang di kios-kios itu dibetulkan salah ketiknya satu per satu, dengan menempelkan secarik kertas kecil bertulis huruf ‘n’ dari tinta hitam. Kepada para demonstran, Achmad Qazwini mengatakan Suara Maluku juga koran Islam. Ia sendiri saat mahasiswa juga aktivis HMI. “Tidak perlu meragukan keislaman saya,” kata Qazwini. Demonstrasi itu akhirnya mereda, tapi sudah cukup membuktikan bahwa tak mudah menerbitkan koran di Ambon. Isu agama tetap menjadi isu sensitif yang setiap saat bisa meledak.

HINGGA Oktober 1993, delapan bulan setelah dikelola Kelompok Jawa Pos, oplah Suara Maluku mencapai 4.000 eksemplar. Tetapi angka ini tak cukup bagi Kelompok Jawa Pos. Dalam rapat evaluasi kelompok media tersebut di Manado, November 1993, nasib Qazwini diputus. Dahlan Iskan menganggap Suara Maluku gagal. Suratkabar tersebut tak bisa menepati jadwal terbit. Bagi Suara Maluku, sebagai koran pagi, mutlak terbit sebelum pukul 06.00. Kenyataannya, Suara Maluku sampai enam bulan masih terbit siang hari, bahkan sering pada pukul 12.00.

Qazwini keberatan terhadap keputusan Dahlan, “Bagi saya sehat tidaknya koran bisa diukur dari cash flow. Kalau saya modalnya bikin koran Rp 1.000 per biji, dan saya bisa menjual lebih berarti masih untung. Koran masih sehat. Lagi pula, saya bisa mencetak sesuai target 4.000 eksemplar.”

Tapi kenapa tidak bisa terbit pagi hari? Menurut Qazwini, saat itu terjadi sabotase yang dilakukan orang-orang Suara Maluku, persisnya wartawan lokal. Mereka tak suka dengan kehadiran orang-orang Makassar yang dianggap bisa mengancam posisi mereka di Suara Maluku.

“Bentuk sabotase itu macam-macam. Saat menjelang naik cetak, selalu saja ada gangguan. Ada kalanya mouse komputer hilang, ada juga komputer disiram air kopi. Pernah juga menjelang deadline misalnya, file tiba-tiba hilang sehingga harus diketik ulang. Pokoknya selalu saja ada gangguan,” kata Qazwini.

Kebijakan menempatkan orang Fajar tak disukai beberapa karyawan. “Kebijakan itu bukan malah membuat persaingan sehat, tetapi seringkali malah menimbulkan intrik dan kecemburuan,” kata Dien Kelilauw, redaktur pelaksana Suara Maluku.

Saat itu, menurut Qazwini, ada isu soal Islam dan non-Islam. Etty Manudapessy juga tak bisa menutupi ketidaksenangannya pada orang-orang Fajar. Ia tak menyangka kalau kehadiran mereka membuat posisinya sebagai pemimpin redaksi hanya sekadar pajangan di masthead koran tersebut.

Pada November 1993, Kelompok Jawa Pos mengganti Qazwini dengan Sam Abede Pareno. Qazwini sempat kerja di beberapa tempat, sebelum akhirnya kembali lagi ke Fajar. Hingga kini ia ada di biro direksi Fajar.

Sam Abede Pareno, pengganti Qazwini, wartawan suratkabar Jawa Pos. Ia berasal dari Pulau Seram. Ia dikenal terutama lewat tulisannya soal budaya dan seni. Pareno dikirim ke Suara Maluku untuk membenahi apa yang dianggap gagal oleh Kelompok Jawa Pos, yaitu sisi redaksi koran itu.

Pareno langsung membuat gebrakan. Sebagai orang asli Maluku, ia tampaknya tahu betul cara menghadapi orang Maluku. “Orang Maluku itu keras, karena itu saya harus keras pula. Meski itu berakibat saya tidak disukai,” katanya.

Dari sisi pemasaran, Pareno membuat Suara Maluku menjadi 12 halaman. Bulan-bulan awal ia melakukan promosi gratis ke beberapa tempat pembaca potensial Suara Maluku, seperti kampus dan instansi pemerintah. Dari sisi redaksi, ia mengajarkan kembali arti berita. “Saat saya pertama kali masuk, tidak jelas antara berita dan opini. Banyak berita yang dicampuri dengan opini. Prinsip berita juga mulai saya terapkan. Sebelumnya peristiwa yang harusnya menjadi headline, ditulis di halaman dalam,” kisah Pareno.

Ia juga mengkritik kecenderungan menulis berita seremonial. Berita korupsi pejabat pemerintahan mulai dimunculkan. Feature soal budaya dan kesenian juga diperbanyak. Pareno memanfaatkan kewenangan untuk membenahi semua lini, mulai dari keuangan, iklan, adminstrasi, sampai redaksi. Tindakan ini membuat Etty Manudapessy merasa diabaikan.

“Ia bertindak seakan berkuasa di rumah orang. Padahal, saya tetap menjadi pemimpin redaksi dan Pak Andili pemimpin umum. Ia melakukan intervensi ke mana-mana. Setiap kebijakan tidak pernah dibicarakan dengan saya,” katanya.

Puncak kemarahan Manudapessy terjadi ketika meja di ruangannya dipindahkan oleh Sam Abede Pareno. Manudapessy memang jarang ke kantor. Sejak 1993, istrinya sakit kanker payudara. Manudapessy pergi ke berbagai tempat untuk mencari obat bagi kesembuhan sang istri.

Pareno mempunyai jawaban, “Secara de jure, saya memang bukan pemimpin redaksi. Tetapi saya mempunyai kewenangan penuh dari Jawa Pos untuk melakukan segala hal untuk membenahi Suara Maluku.” Setelah dikelola Kelompok Jawa Pos, 70 persen saham Suara Maluku dimiliki Fajar, Alwi Hamu, dan suratkabar Jawa Pos. Pemilik lama dan karyawan hanya memperoleh 30 persen saham.

Ada kubu Pareno. Ada kubu Manudapessy. Ketegangan sering terbawa ke ruang rapat. Pareno juga mengganti beberapa orang yang dia anggap tak mampu. Ia juga merekrut saudaranya dan anak-anak kenalannya. Kubu Manudapessy menganggap Pareno melakukan favoritisme dan menyingkirkan orang-orang lama di Suara Maluku.

Dien Kelilauw salah satu korban Pareno. Keliauw sudah bergabung dengan Suara Maluku saat koran ini masih mingguan. Ketika Achmad Qazwini menangani Suara Maluku, Kelilauw redaktur pelaksana bersama Saifudin Kadir. Di masa Pareno, Kelilauw sempat “diturunkan” pangkatnya untuk menangani bagian penelitian dan pengembangan, bahkan pernah dipindahkan menjadi koresponden di daerah Tual, Maluku Utara.

“Saya melihat banyak kebijakan Pareno yang jalan sendiri tidak berbicara dengan pimpinan lain, terutama pemilik lama,” kata Kelilauw.

Dari sisi redaksi, kebijakan Pareno juga memunculkan kontroversi ketika mengungkap korupsi pejabat pemerintahan daerah atau tingkah polah mereka. Salah satu di antaranya berita tentang keponakan gubernur Maluku saat itu, Mohamad Akib Latuconsina. Kisahnya, pada Agustus 1994, keponakan gubernur tengah membangun sebuah gedung di Tantui. Tepat di sebelah gedung yang tengah dibangun itu, rumah mantan seorang tentara yang menjadi penjaga keamanan di sebuah hotel di Ambon. Karena sering mendengar suara bising dan sering kejatuhan bahan bangunan, pria tersebut protes. Protes itu bukan ditanggapi, malah si pemrotes dibawa ke kantor Polisi Militer. Di sana ia diinterogasi dan dipukuli. Esoknya, ia mati. Mohammad Sirham dari Suara Maluku menulis peristiwa itu dengan judul “Pukulan Maut.”

Etty Manudapessy tak setuju. Berita tersebut dianggapnya bisa memalukan Akib Latuconsina, yang notabene gubernur pertama Maluku yang beragama Islam. Selama puluhan tahun petinggi birokrasi di Maluku selalu dipegang orang Kristen. Ini warisan lama yang bisa ditarik ke abad silam. Islam masuk ke wilayah 1.000 pulau ini pada abad ke-13 lewat para saudagar Arab. Dalam perjalanannya, banyak raja di kawasan ini yang masuk Islam, sehingga muncul kerajaan Islam yang menonjol, seperti Bacan, Jailolo, Ternate, dan Tidore. Memasuki abad ke-16, ajaran nasrani masuk ke Maluku bersamaan dengan masuknya Portugis dan Spanyol. Satu abad kemudian, Belanda mendirikan kongsi dagang Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) dan mencengkeramkan kukunya di Maluku. Basis VOC di wilayah Selatan. Sejalan dengan kebutuhan Belanda untuk mengisi birokrasi, sehingga banyak direkrut penduduk Maluku Selatan yang beragama Kristen. Ini berlangsung lama. Penduduk yang beragam Kristen cenderung bekerja di lingkungan pemerintah dan militer, sedangkan warga Islam banyak bekerja di sektor perdagangan dan pertanian.

Pada masa Republik Indonesia, gubernur Maluku selalu diisi oleh orang Kristen. Pada 1990-an semuanya berubah. Tahun-tahun itu, muncul gerakan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang membuat terjadinya politisasi dan islamisasi di kalangan birokrasi. Stempel ICMI, menjadi kendaraan untuk menjadi birokrat pemerintah, kampus, rumah sakit, dan sebagainya di Maluku. Sejak itu, berbagai posisi penting yang tadinya didominasi warga Kristen-bermarga Tutupoli, Manuhutu, Wattimena, dan Talaut-digantikan pejabat muslim yang bermarga Tuasikal, Latuconsina, dan Marasabessy.

Pada 1992, untuk pertama kalinya, gubernur Maluku dijabat Mohamad Akib Latuconsina yang Islam. Naiknya Latuconsina membuat suasana di lingkungan birokrasi penuh gosip dan kasak-kusuk. Orang Islam menganggap kenaikan Latuconsina sebagai berkah dan memang sudah waktunya orang Islam memimpin Maluku. Sementara itu birokrat Kristen khawatir naiknya Latuconsina menimbulkan “islamisasi.” Ada isu, pejabat di bawah gubernur akan diisi oleh orang Islam.

Pada titik inilah berita-berita miring soal keponakan gubernur bisa berdampak politis. Manudapessy, yang beragama resmi Kristen tapi berhubungan dekat dengan Latuconsina, menganggap Pareno tak peka terhadap persoalan di Maluku, “Pareno meskipun asli Maluku, ia sudah lama tidak tinggal di Maluku. Ia tidak tahu soal Maluku. Ia tidak sensitif terhadap persoalan ini, padahal sudah beberapa kali saya ingatkan.”

Pareno tak peduli. Suara Maluku juga menulis soal dugaan korupsi pengadaan bibit senilai 400 juta dari Dinas Tanaman Pangan. Suara Maluku juga menulis soal kredit macet di Bapindo Maluku senilai Rp 6 miliar. “Tapi justru berita itu yang membuat Suara Maluku laku,” kata Mohammad Sirham, mantan reporter Suara Maluku. Di tangan Pareno, oplah Suara Maluku naik menjadi sekitar 8.000 eksemplar. Kegagalan Pareno hanyalah ia tak bisa menyelesaikan pertikaian internal di Suara Maluku.

Isu islamisasi, yang tidak jelas dari mana asalnya, kembali muncul. “Isu agama untuk menyingkirkan saya itu memang ada. Bahkan saya percaya ada orang Suara Maluku yang mendukung RMS,” kata Pareno. RMS kependekan dari Republik Maluku Selatan, sebuah upaya separatisme pada 1950-an yang ditekan Jakarta. Keluarga Pareno pindah ke Surabaya pada 1953, karena desa mereka mendapat serangan RMS. Mungkin, Pareno masih trauma dengan RMS.

Tak semua wartawan sepakat ada isu islamisasi saat kepemimpinan Pareno. “Saya memang saat itu sudah mendengar adanya isu islamisasi. Saya tidak begitu percaya. Pareno orangnya terlalu tegas. Ia banyak merekrut orang yang dekat dengannya. Itu mungkin yang membuat isu islamisasi menguat saat itu,” kata Mohammad Tanreha, saat itu reporter di Suara Maluku.

Pada April 1996 Pareno menunaikan haji. Dari Mekkah, ia masih sempat kontak beberapa kali ke redaksi Suara Maluku. Di Mekkah, Pareno membuat serial tulisan pengalamannya di Tanah Suci. Ia menelepon Ahmad Ibrahim, redaktur pelaksana, agar tulisan itu ditaruh di pojok kanan halaman pertama. Saat pulang ke Maluku, ia kaget. Tulisannya selama naik haji tak ada. Namanya bahkan raib dari masthead Suara Maluku. Ia disodori sebuah surat yang intinya ia ditarik kembali ke suratkabar Jawa Pos.

Saat Pareno berada di Mekkah, Manudapessy dan Andili mengirim surat ke Dahlan Iskan. Isinya, mereka minta Pareno ditarik ke Jawa Pos kembali. Kehadiran Pareno dinilai gagal membawa kemajuan bagi Suara Maluku dan menciptakan suasana kerja yang tak enak. Dahlan setuju. Pareno akan diberitahu sepulang dari Mekkah.

Pareno merasa dikudeta. “Sampai sekarang saya tidak terima dengan cara Jawa Pos memecat saya dari Suara Maluku. Bagi saya, Jawa Pos itu pengecut. Ketika mendapat surat Manudapessy, Dahlan sudah takut,” katanya.

Dahlan berusaha meredakan kemarahan Pareno dengan menawarinya mengurus Pekan Seni Surabaya. Pareno menolak. Esok harinya, ia meninggalkan Ambon hingga kini. Beberapa wartawan yang dianggap kubu Pareno ikut disingkirkan.

Kelompok Jawa Pos menunjuk Hasanuddin Solihin sebagai pengganti Pareno. Solihin ternyata hanya bertahan sebulan. Menurut Mohammad Sirham, Solihin tak tahan dengan intrik-intrik yang terjadi di Suara Maluku. Manudapessy sendiri mengirim surat ke Kelompok Jawa Pos agar selanjutnya Suara Maluku tidak perlu dipimpin orang Fajar atau Jawa Pos.

“Saat itu saya berhasil meyakinkan Dahlan. Saya katakan, dengan dikelola oleh orang lokal sendiri, biaya yang dikeluarkan Jawa Pos menjadi kecil. Juga tidak akan timbul kecemburuan di kalangan wartawan lokal,” kata Manudapessy.

Setelah Solihin angkat kaki, Suara Maluku memang dipimpin orang-orang lokal Maluku. Setelah Andili meninggal, Manudapessy ikut turun dari pemimpin redaksi. Jabatan pemimpin umum dipegang Elly Sutrahitu, sedangkan pemimpin redaksi Darmosius Sosobeko.

Konflik belum berhenti. Manajemen yang tertutup menyebabkan suasana kerja tak menyenangkan. Ongki Anakoda, yang saat itu reporter baru, mengatakan kalau ada wartawan berkumpul sudah dicurigai bikin klik tertentu. Konflik setiap saat bisa meledak. Sementara oplah Suara Maluku sedikit demi sedikit turun. Sampai menjelang kerusuhan, pada Januari 1999 oplah Suara Maluku tinggal 5.000 eksemplar.

ALWI Hamu, pria bertubuh besar dan kelihatan bersahabat ini, tak menyesal dengan kelahiran Suara Maluku dan Ambon Ekspres. Bagi Alwi, kehadiran Suara Maluku dan Ambon Ekspres adalah kenyataan sejarah, dibentuk oleh situasi dan kondisi.

“Tidak ada yang aneh dengan dua koran ini. Selama ini Jawa Pos juga banyak mempunyai dua koran di satu kota. Di Kendari, Jawa Pos mempunyai dua koran juga,” katanya.

“Tapi, bukankah di Ambon lain dengan daerah lain? Dua koran ini untuk agama yang berbeda,” kata saya.

“Siapa bilang? Memang Suara Maluku dan Ambon Ekspres diedarkan untuk wilayah komunitas agama masing-masing, tetapi pemberitaan mereka berimbang, tidak membela agama masing-masing. Jika saatnya damai nanti, bisa saja Suara Maluku atau Ambon Ekspres diarahkan seperti halnya di Kendari,” jawab Alwi.

Alwi Hamu jelas membela diri. Suara Maluku dan Ambon Ekspres memang tak dirancang Alwi untuk menjadi corong Kristen dan Islam. Namun, eskalasi konflik membuat kedua suratkabar ini akhirnya benar-benar menjadi corong kedua pihak yang berseberangan. Membuat media yang profesional tak semudah yang dibayangkan Alwi. Wartawan Suara Maluku dan Ambon Ekspres juga korban dari konflik. Sebagian dari mereka rumahnya terbakar dan harus tinggal di pengungsian. Ada yang tertembak dan hampir tewas ketika meliput. Ada anggota keluarganya yang terbunuh. Semua itu mempengaruhi penulisan berita di Suara Maluku dan Ambon Ekspres.

Sebagian besar, kalau tak bisa dikatakan seluruhnya, berita Suara Maluku dan Ambon Ekspres hanya satu versi. “Kita mempunyai keterbatasan untuk menerjunkan wartawan. Kesulitan teknis belum lagi keselamatan wartawan,” kata Novi Pinontoan, redaktur pelaksana Suara Maluku.

Verifikasi sukar dilakukan, karena hampir tak mungkin wartawan Suara Maluku datang ke lokasi yang mayoritas penduduknya Islam. Sebaliknya Ambon Ekspres tak bisa menerjunkan wartawan ke daerah yang mayoritas penduduknya Kristen. Suara Maluku dan Ambon Ekspres mengharapkan konfirmasi itu dari pejabat pemerintah atau militer. Tapi, mereka selalu tidak siap, bahkan tidak tahu kejadiannya.

“Meliput di Maluku itu sulit. Bisa hidup selamat saja sudah bagus. Percuma dapat berita bagus kalau harus mati. Wartawan bukan pahlawan. Tidak ada yang bisa melindungi kita selain kita sendiri. Anggota militer yang membawa senjata saja bisa mati, apalagi wartawan,” kata Pinontoan.

Bagaimana berita diperoleh? Di desa yang mayoritas penduduknya Kristen ada gereja. Para pendeta akan memberitahu bagaimana penyerangan terjadi dan berapa korbannya. Ini kalau desa Kristen yang mendapat serangan. Bagaimana kalau warga Kristen yang menyerang desa Islam? Suara Maluku tak mempunyai kontak. Akibatnya, banyak peristiwa serangan terhadap desa-desa Islam tak diberitakan Suara Maluku. “Tidak ada maksud untuk membeda-bedakan. Sebab terutama adalah keterbatasan dan kesulitan teknis,” kata Pinontoan, lagi.

Hal serupa dilakukan Ambon Ekspres. Berita mengenai serangan warga Kristen akan ditempatkan dalam halaman utama, sementara kalau warga Islam yang menyerang jarang diberitakan. Kalaupun diberitakan selalu dikatakan tindakan itu pembelaan diri. Karena itu, peristiwa Ambon bukan hanya diberitakan dari satu sisi, melainkan juga peristiwa yang menguntungkan masing-masing pihak. Bagaimana kalau peristiwa itu terjadi di daerah Kristen?

Ambon Ekspres memilih mengutip berita dari kantor berita Antara atau meminta komentar pejabat resmi. Pihak Islam selalu benar di mata Ambon Ekspres dan sebaliknya pihak Kristen selalu benar dalam pandangan Suara Maluku. Berita kontroversial islamisasi di desa Salas dan Solan, kecamatan Bula, kabupaten Maulu Tengah, bisa dijadikan contoh. Berita ini diawali dengan pembentukan tim investigasi yang dibentuk Gereja Protestan Maluku (GPM). Dalam investigasinya, tim menemukan sebanyak 278 warga Salas yang dipaksa pindah agama. Peristiwa ini terjadi saat konflik tahun 2000. Hasil investigasi GPM itu dimuat Suara Maluku edisi 22 Juni 2001. Suara Maluku menulis dalam dua berita besar, yang satu berisi hasil investigasi GPM dan yang lain berisi desakan kepada pemerintah agar menindaklanjuti temuan GPM tersebut. Suara Maluku dalam berita itu menyatakan, isu islamisasi terbukti bukan karangan, tetapi benar-benar terjadi.

Ambon Ekspres tak memuat hasil investigasi tersebut. Ambon Ekspres mewawancarai Husni Hentihu, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Maluku dari Partai Golongan Karya yang berasal dari Maluku Tengah. Hentihu menolak semua pernyataan gereja tentang islamisasi di Maluku. Islamisasi tidak mungkin terjadi, karena pindah agama dengan cara paksaan tak dibenarkan dalam agama Islam. Berita itu juga menyebutkan pernyataan gereja tadi berbau provokasi dan fitnah yang dapat menyulut pertikaian baru.

Pembaca Kristen yang membaca Suara Maluku akan selalu disuguhi berita penyerangan terhadap desa Kristen dan semacamnya. Sebaliknya, warga Islam yang membaca Ambon Ekspres akan disuguhi berita soal serangan terhadap warga Islam atau konspirasi gereja dan RMS. Contohnya, berita peristiwa Wisma Gonsalo, Karang Panjang, pada 12 Juni 2001. Dalam peristiwa tersebut, tiga orang meninggal dan puluhan luka-luka. Suara Maluku edisi 13 Juni 2001 menulis berita dengan judul “Kopertis Disusupi Perusuh, Teluk Dalam Bergolak, Delapan meninggal, Puluhan Warga Kristen Terluka.” Dalam berita itu disebutkan korbannya warga Kristen. Pelaku serangan diidentifikasikan sebagai kelompok perusuh yang berasal dari Batumerah. Meski tak menunjuk Islam, menyebut Batumerah, secara mudah bisa diasosiasikan dengan kelompok Islam.

Pada hari yang sama, Ambon Ekspres menulis peristiwa itu dengan tajuk “Teluk Ambon dan Karang Panjang Kembali Berdarah.” Berita itu dikutip Ambon Ekspres dari Antara. Lantaran lokasi kejadiannya di wilayah Kristen, Ambon Ekspres tak mungkin menerjunkan wartawannya ke sana. Peristiwa ini tak diberitakan Ambon Ekspres sebagai serangan, tapi sebuah baku tembak. Pelakunya tak disebut berasal dari desa Batumerah, tetapi sekelompok orang tak dikenal.

Tak jarang berita Suara Maluku dan Ambon Ekspres saling menanggapi. Suara Maluku menyatakan A, dibalas dengan berita Ambon Ekspres dengan B. Tentu dengan menyatakan berita dari koran lain keliru atau penuh rekayasa.

Contohnya, dalam kasus Toma Jaya. Peristiwanya berlangsung pada 27 Juli 2001. Saat itu kapal motor Toma Jaya membawa 11 penumpang dari Asilulu menuju Ambon. Asilulu wilayah di Maluku Tengah yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Seluruh penumpang dalam kapal tersebut beragama Islam. Naas bagi Toma Jaya, sebelum sampai di Ambon, kapal tersebut diterjang badai dan terpaksa menepi ke pesisir pantai di desa Liliboy yang mayoritas berpenduduk Kristen. Para penumpang selamat, tapi kisah selamatnya awak kapal tersebut diceritakan secara berbeda-beda.

Suara Maluku terlebih dahulu menulisnya pada edisi 28 Juli 2001. Suara Maluku mewawancarai ketua Jemaat GPM Liliboy, pendeta A.F. Tohatta. Dalam berita itu disebutkan bahwa penumpang selamat berkat kebaikan dan cinta kasih penduduk kristiani Liliboy. Saat Toma Jaya oleng dan terapung-apung, penduduk Liliboy yang melihat orang berenang dalam gelombang besar segera datang menolong.

Ambon Ekspres baru memuat kisah ini empat hari kemudian, pada 1 Agustus 2001. Ambon Ekspres memulai berita itu dengan menyatakan pemberitaan koran lokal (tanpa menyebut Suara Maluku) fitnah, bohong dan penuh rekayasa. Berita itu menyebutkan Den Zipur V Wayame, yang kebetulan berada di lokasi kejadian, telah menyelamatkan penumpang Toma Jaya. Saat kapal menepi di pantai desa Liliboy, warga desa justru mengacung-acungkan parang dan golok. Mereka berteriak, kalau kapal menepi, semua penumpang akan dihabisi. Penumpang panik dan meloncat ke laut. Mereka berenang tanpa menyentuh tepi desa Liliboy.

Versi mana yang benar? Yang pasti, baik wartawan Ambon Ekspres maupun Suara Maluku tak pernah terjun ke lapangan. Kedua koran ini tak pernah datang ke Liliboy, juga tak mewawancarai warga desa Liliboy atau penumpang kapal yang selamat.

Berita yang hanya satu sisi ini, selain tidak ada akses ke wilayah beda agama juga lantaran adanya tekanan. Novi Pinontoan bercerita bahwa seringkali Suara Maluku diancam oleh orang Kristen yang minta agar berita lebih didramatisasi dan dibuat memihak Kristen. Ongki Anakoda dari Ambon Ekspres juga mendapat pengalaman serupa. Orang Islam minta Ambon Ekspres lebih berani menulis berita yang korbannya warga Islam.

Pada Agustus 1999, di depan masjid al-Fatah, berlangsung demonstrasi yang dilakukan Forum Umat Islam Maluku. Dalam demonstrasi itu mereka menyerang pemberitaan Suara Maluku dan koran di daerah Kristen yang dinilai memojokkan Islam. Puncak demonstrasi itu ialah pembakaran patung Alwi Hamu dan Dahlan Iskan.

“Tidak persis gambar Alwi dan Dahlan. Patung itu berupa potongan kertas yang ditulisi Alwi Hamu dan Dahlan Iskan,” kata Abdul Rasyid Ohorella, koresponden harian Surya di Maluku, yang saat itu meliput.

Mungkin para demonstran tak mengenal Dahlan dan Alwi. Menurut Ohorella, mereka mengkritik Dahlan dan Alwi yang beragama Islam, tapi membiarkan Suara Maluku memojokkan Islam. Tepat di depan masjid al-Fatah, tempat demonstrasi berlangsung, kantor suratkabar Ambon Ekspres.

KONFLIK adalah bisnis. Ini ungkapan klasik yang ditulis Phillip Knightley dalam bukunya The First Casualty: A History of War, Correspondents and Propaganda. Kebenarannya terbukti. Saat perang berkecamuk, keinginan orang untuk membaca meningkat. Orang ingin tahu apa yang terjadi di luar.

Oplah Ambon Ekspres sepanjang 1999-2000 yang saat itu masih berupa mingguan mencapai 5.000 eksemplar. Oplah Suara Maluku rata-rata 13 ribu eksemplar. Ini oplah terbesar Suara Maluku sejak pertama kali terbit pada 1953.

Oplah Suara Maluku memang lebih besar dibandingkan Ambon Ekspres, meski perbandingan jumlah penduduk Islam dan Kristen tak berbeda jauh. Data 1998 menunjukkan, di kota Ambon penduduk Islam 42,38 persen, Protestan 51,92 persen, dan Katolik 5,55 persen dari total penduduk 311 ribu jiwa. Tapi, pegawai negeri di Ambon sebagian besar beragama Kristen. Mereka inilah pembaca potensial. Sementara masyarakat Islam di Ambon sebagian besar pedagang dan tak memprioritaskan media sebagai kebutuhan. Oplah Ambon Ekspres ini, menurut Machfud Waliulu, pemimpin umum Ambon Ekspres, tertolong berkat distribusi Ambon Ekspres ke luar kota Ambon, seperti di Maluku Utara, yang jumlah penduduk Islamnya lebih besar.

Namun, Alwi Hamu menyebut Suara Maluku dan Ambon Ekspres adalah proyek rugi. “Salah kalau menyebut kami memanfaatkan konflik untuk mendapatkan keuntungan. Suara Maluku dan Ambon Ekspres masih rugi. Saya sering menyatakan penerbitan di Maluku ini proyek rugi,” katanya.

Menurut Alwi, pada 1998 Suara Maluku sudah mencapai impas (break event point). Namun saat konflik, kembali merugi. Rata-rata penerbitan di lingkungan Kelompok Jawa Pos memperoleh titik impas di tahun keempat atau kelima, asal manajemennya bagus.

Penerbitan yang bergabung dengan Kelompok Jawa Pos umumnya mendapat mesin cetak, komputer, peralatan tata letak, magang kerja, dan pasokan kertas plus jaringan berita dari seluruh Indonesia lewat Jawa Pos News Network. Lewat jaringan berita ini, koran tak perlu merekrut banyak wartawan dan membuat biro di luar daerah. Berita-berita daerah lain, nasional atau internasional cukup diambil dari jaringan berita ini. Koran lokal cukup merekrut wartawan untuk meliput peristiwa lokal saja. Tapi ini semua tidak gratis. Tiap bulan koran tersebut harus membayar kredit kertas, cetak, jaringan berita, dan perlengkapan kantor. Karena itu, dalam lima tahun pertama, biaya ditekan. Gaji wartawan dibayar rendah. Hal itu juga yang dilakukan di Suara Maluku. Tiap bulan Suara Maluku harus menghasilkan uang untuk membayar semua biaya tersebut. Memang bisa hutang untuk beberapa bulan, tapi tak bisa lama. Dengan pola semacam ini, Kelompok Jawa Pos sudah bisa menarik keuntungan pasti. Perusahaan penyedia kertas dapat konsumen pasti, demikian juga dengan Jawa Pos News Network dan percetakan.

Pada 1998 Suara Maluku bukan hanya bisa balik modal, juga mencetak keuntungan. Berdasarkan keterangan Elly Sutrahitu, ketika itu simpanan Suara Maluku di Bank Bapindo Maluku berjumlah Rp 500 juta. Menurut Sutrahitu, saat itu sudah ada karyawan yang menanyakan hak mereka dan pembicaraan untuk membagi deviden kepada karyawan pun sempat dilakukan. Namun, ketika kerusuhan pecah, ceritanya menjadi lain.Tak ada dana segar yang masuk ke Suara Maluku. Tagihan sebesar Rp 250 juta tertahan di agen, karena kerusuhan membuat semua agen dan loper pergi menyelamatkan diri. Suara Maluku hanya punya peralatan kantor dan sedikit kertas.

Sutrahitu berinisiatif menelepon Dahlan Iskan. Ia minta izin untuk menggunakan uang Rp 500 juta itu sebagai modal, tapi Dahlan tak setuju.

“Pak, Suara Maluku sudah tidak terbit dua minggu. Saya ingin terbit lagi, tetapi tidak ada dana di kas. Yang ada hanya kertas.”

“Yang penting bisa terbit, dengan modal seadanya. Usahakan bisa terbit,” kata Dahlan di ujung telepon, seperti ditirukan Sutrahitu.

Suara Maluku terbit lagi pada 1 Februari 1999. Namun, dana Rp 500 juta itu tak jadi dibagikan pada karyawan. Menurut Sutrahitu, Rp 350 juta dari uang tersebut digunakan Kelompok Jawa Pos untuk modal mendirikan Ambon Ekspres. Sisanya masuk kas kelompok tersebut.

Jika Suara Maluku bisa bertahan, itu semata-mata ditopang sirkulasi. Suara Maluku terbit 12 halaman, dijual Rp 2.500, dan pendapatan masuk ke penerbit separuhnya. Jadi, pemasukan dari tiras suratkabar mencapai Rp 15 juta per hari. Pemasukan ini, meskipun tanpa iklan, sudah bisa menutup ongkos produksi meliputi cetak, kertas, listrik, dan gaji wartawan.

Oplah yang tinggi ternyata menimbulkan masalah baru di kalangan wartawan Suara Maluku. Beberapa wartawan mulai mempertanyakan kesejahteraan mereka. Ada yang terang-terangan minta kenaikan gaji. Gaji wartawan di Suara Maluku berkisar Rp 350 ribu sebulan. Saat konflik uang ini dirasa kurang. Ongkos transportasi naik gila-gilaan. Wartawan tak bisa bergerak. Ricky Rumaruson, reporter Suara Maluku, bercerita bahwa biaya transportasi ke kantor redaksi saja mahal. Karena itu ia lebih memilih mengirim berita lewat faksimile. “Kalau tiap hari ke kantor pasti nombok, karena tidak sesuai dengan gaji yang diterima,” katanya.

Rumah Rumaruson terletak di daerah Benteng. Untuk ke kantor, ia bisa naik speedboat ke Galala. Dari Galala, jalan kaki atau naik ojek ke Halong Atas. Alternatif lain bisa lewat darat. Masalahnya, dari kota ke Halong Atas, harus menghindari daerah Batumerah dan Tantui. Batumerah, mayoritas berpenduduk Islam. Sementara Tantui, campuran, Islam dan Kristen. Celakanya perjalanan lewat darat ini memakan waktu sampai empat jam, karena jalannya memutar. “Untuk ongkos perjalanan pakai speedboat saja tiap hari bisa mencapai minimal Rp 10 ribu. Ongkos speedboat yang sebelum konflik mau dibayar Rp 2.000 saat kerusuhan minta Rp 5.000,” katanya.

Sampai akhir 2000, berarti dua tahun pascakonflik, dengan oplah mencapai 13 ribu eksemplar, menurut perhitungan pemimpin redaksi Darmosius Sosobeko, Suara Maluku sudah menghasilkan keuntungan bersih Rp 400 juta. Perhitungan Sosobeko, per bulan keuntungan yang didapat Suara Maluku bisa mencapai Rp 20 juta.

Pada November 2000, bersama beberapa wartawan, Sosobeko meminta pemilik Suara Maluku agar mengungkap keuntungan yang didapat suratkabar itu secara transparan. Sosobeko bahkan meminta Kelompok Jawa Pos melakukan audit keuangan terhadap suratkabar ini. Audit tersebut sampai akhir 2000 tak terlaksana. Buntutnya, Sosobeko malah dianggap membangkang. Desember 2000, Sosobeko mengundurkan diri dari Suara Maluku. Posisinya sebagai pemimpin redaksi dirangkap Elly Sutrahitu.

Sebesar itukah pendapatan Suara Maluku selama konflik? Ketika hal ini saya tanyakan pada Elly Sutrahitu, ia mengatakan meski pemasukan besar, ongkos produksi juga besar. Suara Maluku harus mengeluarkan biaya tambahan, terutama untuk pengawalan. Saat konflik memanas, Suara Maluku harus menyewa tentara untuk menjaga kantor. Saat itu sudah ada ancaman kalau gedung Suara Maluku di Halong akan dibakar. Biaya pengawalan ini mencapai 25 ribu orang semalam. Padahal dalam semalam bisa tiga sampai empat orang yang menjaga kantor. Pengiriman kertas dari pelabuhan juga membutuhkan biaya ekstra. Pelabuhan Ambon terletak di wilayah muslim. Dari pelabuhan itu, satu-satunya jalan harus lewat jalur darat. Suara Maluku menyewa mobil tentara dan untuk setiap pengiriman mereka meminta Rp 1,5 juta. Pengiriman plat cetak dari Halong ke Galala juga membutuhkan biaya pengawalan sebesar Rp 500 ribu. “Jadi, meski oplah tinggi kalau dihitung-hitung tetap saja impas. Rata-rata per bulan harus sedia uang Rp 5 juta untuk pengeluaran ekstra ini,” kata Sutrahitu.

Tahun 2001 adalah masa-masa sulit bagi Suara Maluku. Beberapa awak suratkabar ini pindah atau menjadi koresponden media di Jakarta. Oplah Suara Maluku sedikit demi sedikit juga turun. Jika 1999-2000 adalah masa keemasan Suara Maluku dengan oplah di atas 10 ribu eksemplar, sampai tahun 2001, oplah itu turun hampir setengahnya. Penurunan itu bisa karena warga sudah jenuh dengan berita-berita konflik. Bisa juga sejak 2001, hanya sedikit peristiwa besar. Tapi, mungkin lantaran Suara Maluku tak bisa mempertahankan pasarnya terutama di wilayah Kristen. Berbeda dengan Ambon Ekspres, yang tampil sendirian di kalangan pembaca Islam, Suara Maluku harus bersaing dengan koran-koran Kristen lain.

Februari 2001, Darmosius Sosobeko mendirikan mingguan Tragedi Maluku. Ia juga mendirikan beberapa koran di kabupaten lain di luar Ambon, seperti di Tual (Tual Pos) dan Seram (Seram Pos). Sayang sekali, dalam perjalanannya, Tragedi Maluku, Tual Pos, dan Seram Pos, terbit tidak teratur. Di tahun yang sama, juga terbit harian Siwalima. Harian ini diterbitkan dengan ide mulia, yakni menyatukan suara Islam dan Kristen. Pendirinya tokoh Islam dan Kristen. Namun, eskalasi konflik membuat niat baik itu gagal diterapkan. Wartawan yang tak bisa mengendalikan diri, membuat Siwalima pelan-pelan menjadi koran yang menyuarakan kelompok Kristen.

Siwalima ancaman pasar yang paling serius bagi Suara Maluku. Padahal mutu cetakan Siwalima yang dijual Rp 1.500 dan terbit hanya delapan halaman itu kalah dibandingkan Suara Maluku.

Jika Suara Maluku terkesan membela Kristen dengan malu-malu, Siwalima hadir dengan pembelaan yang jelas. Siwalima tak segan menyebut Laskar Jihad, organisasi milisi Islam dari Yogyakarta, sebagai teroris dan perusuh, tak sungkan menyebut tokoh Islam sebagai provokator dan dalang kerusuhan. Sementara itu Suara Maluku masih sering memakai kata-kata lunak seperti ‘warga desa Batumerah’ atau ‘kelompok mayoritas’ dan sebagainya. Kalau Suara Maluku cenderung memakai sumber-sumber resmi gereja, Siwalima biasa memakai sumber kelompok Kristen yang radikal. Preman pun bisa menjadi sumber Siwalima. Gaya Siwalima yang tegas dan bernada pembelaan yang jelas ini, nampaknya mendapat tempat di beberapa kalangan Kristen. Sampai tahun 2001, oplah Siwalima bisa menembus angka 5.000 eksemplar. Angka tersebut cukup menggerogoti pasar Suara Maluku.

Saat oplah Suara Maluku turun, Ambon Ekspres perlahan membaik. “Sejak 2001, perkembangan Ambon Ekspres lebih baik daripada Suara Maluku,” kata Syamsu Nur, direktur harian Fajar dan komisaris Suara Maluku serta Ambon Ekspres.
Pada 12 Juli 2001 Ambon Ekspres yang semula mingguan terbit harian.

BOS Kelompok Jawa Pos, Dahlan Iskan, Februari 2001, diundang untuk berbicara dalam pertemuan jurnalis dan pemimpin media Maluku dan Maluku Utara di Bogor. Acara ini atas prakarsa Dewan Pers dan Aliansi Jurnalis Independen. Dalam acara tersebut, Dahlan menjadi sasaran kritik. Kebijakan dan persetujuan Kelompok Jawa Pos membentuk dua koran berbeda agama di Ambon dinilai ikut memperumit persoalan media di Maluku. Dahlan menjawab, munculnya dua koran itu karena benar-benar alasan teknis. “Wartawan Islam tidak bisa masuk ke wilayah Kristen. Kalau bisa ditutup, saya akan menutup. Tetapi itu tidak menyelesaikan persoalan,” kata Dahlan, seperti ditirukan Abdul Rasyid Ohorella, wartawan Maluku yang hadir dalam pertemuan itu.

Wartawan Suara Maluku dan Ambon Ekspres turut hadir. Dari Suara Maluku ada Agus Latumahina, Novi Pinontoan, dan Febi Keihatu, sedangkan Ambon Ekspres diwakili Ahmad Ibrahim, Ongki Anakoda, Hamid Kasim, dan Hasan Pataha. Usai pertemuan, Dahlan meminta wartawan dari Ambon Ekspres dan Suara Maluku ke kantor Jawa Pos di Surabaya, sebelum mereka pulang ke Ambon. Di Surabaya, menurut Agus Latumahina, Dahlan memberi semangat kepada wartawan kedua koran ini untuk tetap percaya diri meski dikritik kanan-kiri.

Setelah pertemuan di Bogor dan Surabaya itu, hubungan antar wartawan Suara Maluku dan Ambon Ekspres makin baik. Wartawan Suara Maluku sudah mulai bertandang ke kantor Ambon Ekspres, demikian juga sebaliknya, wartawan Ambon Ekspres menyambangi Suara Maluku.

Ongki Anakoda dari Ambon Ekspres dan Novi Pinontoan dari Suara Maluku kini biasa bertukar informasi dan agenda kegiatan, yang tak pernah mereka lakukan dua atau tiga tahun lalu.

Pada 27 Juli 2002, sebuah bom meledak di Jalan Tulukabesi, sekitar 300 meter di belakang hotel Amans, tempat saya menginap. Bom itu ditaruh di daerah ramai, di depan kampus alternatif politeknik Universitas Pattimura. Sekitar satu kilometer dari ledakan tersebut terletak daerah Batumerah. Ledakan itu cukup keras dan saya menduga akan ada pengumpulan massa setelah itu. Ternyata tidak. Padahal 500 meter dari tempat ledakan tersebut berkumpul ratusan pedagang yang mendirikan toko-toko darurat di bekas reruntuhan Pasar Mardika. Pasar ini dulunya adalah pasar terbesar di Ambon. Saat kerusuhan, pasar ini menjadi sasaran pembakaran massa. Warga muslim, terutama yang berada di wilayah Batumerah, membeli barang-barang dari pasar ini.

Banyak koran menyoroti korban, yang di antaranya seorang bayi. Saya tak bisa membayangkan kalau peristiwa ini terjadi dua atau tiga tahun lalu. Koran bisa cepat-cepat menyatakan korban adalah Kristen dan pelakunya Islam, atau sebaliknya, korban Islam dan pelakunya Kristen. Koran-koran yang terbit hari itu tak menyebut agama dan mereka mengutuk pelaku pengeboman serta meminta polisi segera bertindak.

Pengalaman lebih dari tiga tahun konflik membuat orang Ambon sudah lelah dengan perang. Wartawan dari Suara Maluku atau Ambon Ekspres dan juga Siwalima kini biasa bertemu di Maluku Media Center. Ini tempat berkumpul wartawan beragama Islam dan Kristen di Ambon, yang diprakarsai Aliansi Jurnalis Independen setahun lalu.

Namun, saat di Ambon pula saya dikejutkan oleh berita tentang rencana penggabungan Suara Maluku dan Ambon Ekspres. Ongki Anakoda maupun Novi Pinontoan tak keberatan kalau kedua koran tersebut bersatu lagi. Di jajaran direksi, Machfud Waliulu dan Elly Sutrahitu juga menjawab senada.

Isu ini kemungkinan berkembang dengan beroperasinya perusahaan percetakan PT Ambon Press Intermedia. Direkturnya Elly Sutrahitu, dengan direktur pelaksana Machfud Waliulu. Suara Maluku dan Ambon Ekspres dicetak di percetakan ini. Mesin cetak Suara Maluku masih ada dan berfungsi, tapi pasokan kertas hanya diberikan ke PT Ambon Press Intermedia.

Syamsu Nur, direktur harian Fajar dan komisaris Suara Maluku dan Ambon Ekspres, membantah, “Sementara, tidak ada rencana penggabungan. Hanya percetakan saja yang digabung. Belum tahu kalau nanti kondisi Ambon aman.”

Percetakan bersama itu merupakan kebijakan Kelompok Jawa Pos, yakni memisahkan penerbitan koran dengan perusahaan percetakan. Tujuannya, selain efisiensi juga agar perusahaan percetakan bisa memperoleh sumber dana lain. Ini peluang bisnis di daerah. Bisnis pers daerah menjamur, tapi hampir semuanya tak mempunyai mesin cetak. Di Jayapura misalnya, satu-satunya media yang mempunyai mesin cetak hanya Cenderawasih Pos dari Kelompok Jawa Pos. Padahal di Jayapura ada lima suratkabar.

Percetakan bersama ini ternyata menimbulkan masalah baru, karena dinilai lebih menguntungkan Ambon Ekspres. Menurut Sutrahitu, sejak 2001, dia sudah mengusulkan pada Jawa Pos agar diberi mesin cetak berwarna. Mesin cetak yang ada selain generasinya lama, hasil cetakannya kurang bagus. Usul tak diterima Dahlan Iskan. Ia bahkan menggabungkan percetakan Suara Maluku dengan Ambon Ekspres.

Saat bom meledak di Tulukabessy pada 27 Juli 2002, Suara Maluku tidak bisa memberitakan peristiwa besar itu. Karena sampai tanggal 30 Juli, Suara Maluku tak terbit. Selepas itu, Suara Maluku terbit kembali, tapi pukul 11.00. Padahal, Ambon Ekspres sudah hadir di pasaran pukul 06.00. Bahkan koran lain, Koran Info, yang juga dicetak di PT Ambon Press Intermedia, bisa hadir bersamaan dengan Ambon Ekspres.

Apa yang terjadi? Rupanya ada kesepakatan antara Suara Maluku dan Ambon Ekspres. Barangsiapa yang datang menyerahkan hasil lay out lebih dulu, ia yang akan dicetak duluan. Namun, apapun hasil kesepakatan itu, Ambon Ekspres diuntungkan karena letak percetakan tersebut di Galunggung. Daerah ini adalah basis kuat Islam. Sebelah Galunggung adalah Kebun Cengkeh, markas Laskar Jihad. Meskipun kondisi sudah aman, awak Suara Maluku tak berani mengantar hasil lay out malam hari. Hasil lay out baru dikirim menjelang pagi, pukul 06.00. Padahal koran sudah selesai di-lay out tengah malam.

Apakah hal ini tak akan memicu konflik lagi?

Saya kira, ini soal waktu saja. Bom sudah ditanam Kelompok Jawa Pos, sejak konglomerat media ini masuk ke Maluku.suarakaltim.com/Eriyanto/Mon, 2 September 2002/foto :ist/http://www.suluttoday.com)