Cerdas Memilih Hiburan

Ketika sedang penat, seseorang sering kali membutuhkan hiburan untuk mengembalikan semangatnya. Caranya bisa berbeda-beda. Ada yang memilih mendengarkan musik, berselancar di internet, menonton film di bioskop, atau sekadar berada di depan televisi sambil makan camilan.

Semuanya bergantung pada selera masing-masing. Namun, apa pun hiburan yang dipilih, generasi muda sebaiknya cerdas saat memilihnya.

Fajar Firdaus Saeful Fikri (23 tahun), misalnya,  memilih tayangan hiburan sesuai suasana hati alias mood, memilah dari genre, juga terlebih dahulu menyimak judulnya. Pemuda asal Bogor, Jawa Barat, itu gemar menyaksikan tayangan motivasi yang diakses via internet. Khusus film layar lebar, dia menyukai genre laga produksi luar negeri dan drama untuk film Indonesia.

Tayangan yang menurutnya layak ditonton adalah sesuatu yang bermanfaat dan membawa perubahan, misalnya, cara berpikir yang lebih terbuka.  Mahasiswa semester delapan jurusan sistem informasi Universitas Gunadarma itu lumayan antimenyimak acara lebai tanpa faedah.

Sejauh ini, Fajar yang telah bekerja sebagai staf di Yayasan Baraya Bangun Bangsa menilai, film-film yang ditontonnya masih dalam batas layak disimak. Namun, ada sebuah tayangan video di internet buatan warga asing yang menurutnya sudah kelewatan dan menghina agama.

Fajar mengaku kesal dan segera melaporkan tayangan tersebut, juga mengajak teman temannya melakukan hal sama agar video di blokir oleh pihak Youtube.  Dia menghargai kebebasan berekspresi yang sering diusung dalam sebuah karya. Hanya, hasil kreativitas tersebut, menurut dia, tidak boleh menyinggung pihak lain ataupun suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

“Seniman harus lebih cerdas daripada penikmat karyanya. Lihat dulu apakah karya yang disebarkan akan membawa dampak negatif atau positif,” ujar pria yang sedang me rampungkan penulisan buku berjudul Agent of Change Semuda Mungkin kepada Republika.

Perwakilan generasi muda lain, Devanya Khoirunisa (17 tahun), mengaku suka menyi mak tayangan hiburan yang berunsur mendidik dan informatif. Misalnya, tayangan realitas atau acara memasak yang membuatnya termotivasi, mengambil hikmah, dan belajar sesuatu.

Perempuan kelahiran Jakarta ini juga gemar menonton film di bioskop sekitar dua bulan sekali. Siswi kelas XII SMK Islam PB Soedirman 2 Jakarta ini menggemari film fantasi, seperti Harry Potter, juga sinema-sinema bergenre drama dan horor. Sebelum menonton film, Devanya biasanya melihat cuplikan, membaca ulasan film, atau bertanya kepada teman-temannya yang sudah menyimak tayangan. Hal tersebut dia lakukan agar tidak terkecoh.

Devanya berpendapat, tayangan televisi yang hanya berisi candaan untuk menjatuhkan orang lain atau membuka aib sesama tanpa tujuan jelas amat tidak layak disimak. Baginya, setiap tayangan harus memiliki nilai positif, nilai didik, dan nasihat yang disampaikan ke pa da para penontonnya. “Kalau bisa buat konten umum aja yang semua kategori bisa nonton, enggak takut kalau ada anak kecil yang tiba-tiba nonton,” ujar siswi yang aktif dalam organisasi rohani Islam (rohis) tersebut.

Selera berbeda ditunjukkan Embun Ayu dya Pawestri (17 tahun). Menurut dara asal Yogyakarta ini, tayangan yang layak disimak adalah yang membuat penonton bisa belajar sesuatu.

Pesan positif yang disampaikan itu tidak harus dinyatakan gamblang, tetapi bisa melalui pesan tersirat supaya tidak terkesan menggurui. Dia memberi contoh, sebuah tayangan layanan masyarakat yang tidak secara terang-terangan mendoktrin anak muda harus mematuhi orang tua, tetapi menyampaikannya lewat parodi.

Siswi kelas XII SMAN 1 Kalasan Yogyakarta itu juga berpendapat, tayangan yang dianggap negatif sekalipun sebenarnya bisa mengajarkan hal positif bergantung pada bagaimana sudut pandang seseorang. Akan lebih bagus lagi jika para seniman dan sineas menyampaikan karya dalam kemasan positif sekaligus menarik. Hal itu untuk menghindari publik untuk langsung berpikiran negatif tentang karya.

“Dengan pengemasan dan penyampaian yang baik, karya akan terus dikenang sebagai karya yang bagus, bukan karya yang menimbulkan kontroversi karena pe nyampaian yang salah,” kata penyuka buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams tersebut.

Belum memenuhi syarat

Psikolog anak Seto Mulyadi ber pen dapat, secara umum, tayangan hiburan di Indonesia belum memenuhi persyarat an yang sesuai dengan standar pen didikan. Pria yang biasa disapa Kak Seto itu menyoroti kurangnya etika, estetika, juga unsur edukatif, nasionalisme, dan olah raga yang penting bagi anak.

“Jadi, perlu sekali lebih mengampanyekan agar membuat dan menonton hiburan-hiburan edukatif yang bisa mendukung hak anak untuk tumbuh dan berkembang secara lebih sehat dan optimal,” ujar pria kelahiran Klaten, 28 Agustus 1951 itu.

Dia menyayangkan, sebagian besar tayangan hiburan di televisi masih menekankan pada aspek komersial. Dampak dari tayangan yang kurang sesuai untuk tumbuh kembang anak itu pada akhirnya akan mengarah pada hilangnya kesempatan membangun karakter positif bang sa.

Pencipta karakter Si Komo itu percaya betul bahwa pendidikan karakter bangsa dimu ai dari anak-anak. Apabila anak dan remaja terus-menerus terpapar contoh buruk dari ta yang an hiburan, bisa dipastikan karakter po sitif, seperti kejujuran, keberanian, disiplin, etos kerja, kesantunan, dan saling menghargai kurang terpatri dalam diri anak.

Pengawasan oleh semua pihak menjadi kunci jawaban untuk penanggulangan masalah tersebut. Pria yang menjabat sebagai ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) itu meminta keluarga, rukun tetangga, rukun warga, seniman pembuat karya, Komisi Penyia ran Indonesia (KPI), dan terutama pemerintah untuk serius menghadirkan tayangan hiburan ramah anak.

Khusus bagi generasi muda, Kak Seto mengingatkan untuk menyimak tayangan sesuai usia, yang bisa menghibur sekaligus me miliki unsur edukatif. Filter diri selain dari ke luarga, saudara, dan tetangga, perlu dibangun agar tidak mudah terpengaruh oleh tayangan yang berpotensi memberikan dampak negatif.

Penerima penghargaan Peace Messenger Award di New York, AS, pada 1987 itu tidak bermaksud membatasi apa yang boleh atau tidak boleh dilihat. Justru, pada zaman yang serbadigital ini, generasi millennial yang kerap dijuluki “kids zaman now” bisa mengem bang kan kreativitas tanpa batas lewat media sosial ataupun Youtube.

“Selain menjadi penonton, anak muda bisa menciptakan dan men de sain sendiri tayangan hiburan yang lebih positif serta edukatif,” kata pria yang menjadi peng gagas dan pemeran da lam film anak berunsur musikal Tangan-Tangan Mungil pada 1981 ini.

 

sumber: http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/trend/17/12/06/p0j8pz284-cerdas-memilih-hiburan