Kadrie Oening bersama istri. Foto istimewa
1.
AKU KEKASIHMU
Jikalau aku kuasa
kuingin kembali ke awal dunia
sampai mengenal yang mulia
agar lepas dari siksa neraka
Kuhadap wajahku
kupandang wajahmu
kulepas penengaranku
kudengar suara kalammu
Betapa semula daku
meninggalkanmu
tapi demi kasihmu
kurasakan selalu pandanganmu
kurasakan dikau
menjelajah tubuhku
tiada jarak aku
patutkah aku khianat
aku kekasihmu
Samarinda, April 1974
***
2.
TASDIKKANLAH
Kenapa dikau masih dalam perjalanan.
Matahari dan bulan penunjuk jalan
Nabi dan rasul sudah dipancangkan
Selama makhluk dan insan memberi salam selamat jalan
Tiada kerajaanmu diciptakan
Dalam titik awal perjalanan
Sudah penuh dengan puji dan celaan
Seharusnya tanyakan padaku
Aku akan memberi jawab padamu
Semuanya adalah kerajaan
Tasdikkanlah, aku puas hanya
Bayangan, dalam Kun, Nya
Samarinda, 1973
***
3.
KITA DEKATI
Kau akui ia Laisa
Kau akui ia Kuasa
Sebenarnya, demi masa
Kenapakah masih jua bertepuk dada
Mari naik ke puncak aras-NYA
menonton keempat Malaikat
Beribu berjuta tiada, lidah …
Dapat menghitungnya hanya bayangan titik
Kilatan Nurnya
Mari kita dekati
Ia akan turun bersama kita
Berdiam dan bergerak dengan iramanya
Tongkat Musa akan berlalu
Pintu Syir akan terbuka
Rindu kasih bersama-Nya
***
4.
PUJI SYUKUR KEPADAMU
Nun sekian abad yang lalu
Kau pardu daku khalifahmu
Sebelum aku tiada
Hingga dari tiada ada
Berabad-abad dengan hitunganku
Kau hampari permadani
Perjalananku
Kini aku nyenyak lupa padaku
Akan janji dihadapanku
Ya, Allah ke mana aku pergi
Ke mana aku pergi dan lari
Kasihmu terpatri di hatiku
Rahmatmu terjeli di tubuhku
Cukuplah sudah
Kataku puji syukur kepadamu
Samarinda, 1973
***
5.
KARENANYA
Kubaca namamu
Yang kau beri daku dahulu
Melalui lidah orangtuaku
Kudengar panggilan namaku
Betapa indah
Bergerak seluruh tubuhku
Hanya tersentuh nama diriku
Ingin aku jadi saksi
Tnggal kebesaran-Mu
Tiada mungkin, tiada mungkin
Kau jua jadi saksimu
Kucoba-coba beruadaha
Ikhtiar hidup berkelana
Hatiku hangus membara
Tubuh hancur pantas diterima
Kata dan logat jua
Awal dan akhir tiada dua
Karenanya, karenanya
karenanya, karenanya
1974
***
6.
DENGAN NIKMAT-MU
Berbisik warna di mataku
Membelai suara di anak telingaku
Hingga ujung rambutku
Dalam lubuk hatiku
Kudengar belaian kasihmu
Karena kasihmu
Pedih sangat peringatnmu
Untuk pagar kebenaranmu
Kasih sayang kepada hambamu
Dan berbisik mencuil hatiku
Napas berganti membawa langkahku
Betapa pans mesin gairahku
Embun menetes salju hatiku
Betapa aku dengan izinmu
Bleh berkata bersenda gurau
Dengan nikmatmu
***
KADRIE OENING (1923 – 1989)
LAHIR di Samarinda, 1923. Merupakan anak ke empat dari enam bersaudara, putra Oening- Judah. Oening, seorang nahkoda kapal, berasal dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan,
Kadrie Oening menikah dengan Siti Aminah pada tahun 1945. Dikaruniai seorang anak perempuan yang lahir pada tahun 1974 dan diberi nama Aminatul Adriah.
Kadrie Oening lulus OSVIA 9 Sekolah Pamongpraja) di Makassar dan terjun di lingkungan birokrasi. Ia pernah menjabat Wedana di Penajam, Camat di Samarinda Seberang dan Balikpapan.
Selama dua periode (1969-1979) ia menjabat sebagai Walikota Samarinda. Setelah pensiun ia tetap aktif dalam berbagai organisasi. Di antaranya sebagai Ketua KONI Kalimantan Timur. Atas jasanya ia memperoleh Satya Lencana Pembangunan dari Pemerintah Republik Indonesia.
Sejak muda menyukai seni sastra dan teater. Melalui sastra itu pula dia berjuang untuk membangkitkan semangat masyarakat dalam menentang penjajahan. Ia sering mementaskan karya dramanya di Balai Prajurit Samarinda. Sejumlah puisinya disertakan dalam Antologi Seorang Lelaki di Terminal Hidup dan Apa Kata Mereka tentang 3 yang Tidak Mauk Hitungan.
Kadrie Oening meninggal dengan tenang di Samarinda, 8 Juni 1989. Sempat di makamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Muslimin di Jalan Abul Hasan, sekitar tahun 2018 kemudian dipindah ke Makam Pahlawan Jalan Kesuma Bangsa.