SUARAKALTIM.com- Jurnalis, salah satu pendiri Lakpesdam NU, dan pemimpin umum majalah bulanan Risalah Islamiyah. Lahir di Singosari, Malang, pada 12 Maret 1936, M. Said Budairy tumbuh dari keluarga pesantren. Bapaknya, Budairy, adalah pedagang, guru, dan aktivis NU, pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Malang dari Partai Nahdlatul Ulama. Ibunya bernama Mutmainnah binti Kiai Alwi Murtadho adalah seorang mubaIighah, pergi dari kampung ke kampung untuk memberikan ceramah keagamaan di majelis taklim kaum perempuan. Kiai Alwi Murtadho adalah salah satu anggota Konstituante dari Partai NU.
Said menempuh pendidikan agama di Pesantren Bungkung Singosari. Sementara pendidikan umum didapat dari Madrasah lbtidaiyah Nahdlatul Ulama, Madrasah Tsanawiyah Nahdlatul Ulama, dan SMA. Saat Malang mengalami situasi sosiai dan pemerintahan penuh gejolak, jalan-jalan dikuasai para ”Iaskar rakyat” pada 1947, Said mengungsi ke Kediri di rumah KH Abu Suja. Di sana dia sempat mengaji.
Keterlibatan Said di NU sudah sejak kecil. Semasa kanak-kanak, dia aktif di Athfal, organisasi kepanduan di bawah Gerakan Pemuda Ansor. Dia juga salah satu pendiri lkatan Pelajar Nahdlatul Ulama dan pada 1954 menjadi ketua cabang Kabupaten Malang. Saat muktamar pertama IPNU pada 28 Februari 1955 di Malang, dia bertemu Presiden Soekarno dan tokoh utama NU antara lain Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Masykur, dan Kiai Zainui Arifin. Tahun 1959 hingga 1961 dia menjadi sekretaris perwakilan pimpinan pusat IPNU. Pada tanggal 17 April 1960 di Kaliurang, Yogyakarta, bersama 12 pemuda, pelajar, dan mahasiswa NU, Said turut mendirikan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Keaktifannya di NU menghantarkan Said menjadi anggota DPR-GR/MPRS dari Fraksi NU. Dia pernah menjadi anggota MPR-RI (Badan Pekerja) fraksi PPP.
Jelang Muktamar NU ke-27di Situbondo, Said aktif mengonsolidasi gerakan NU kembaii ke Khittah 26. Rumahnya di Gang G, Bilangan Mampang, Jakarta Selatan, menjadi tempat pertemuan untuk menggerakkan, menyiapkan, dan merumuskan kembali khittah NU 26, sehingga terkenal dengan sebutan ”Kelompok G”. Dari kelompok ini muncul ”Majlis 24”, beranggotakan 24 orang, Said ada di antara mereka. Dari keiompok Majlis 24 lantas mengerucut menjadi ”Tim 7”. Gus Dur dan Zamroni dipilih menjadi ketua dan wakil ketua, Mahbub, Fahmi, Danial Tanjung, dan Ahmad Bagdja sebagai anggota. Said sendiri ditunjuk sekretaris. Mereka inilah ujung tombak gerakan khittah yang terkenal hingga sekarang dalam sejarah perkembangan NU. Pascamuktamar, Said duduk sebagai salah satu bendahara PBNU. Tahun 1985 ia ikut mendirikan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam), Iantas menjadi direkturnya hingga delapan tahun.
Perjalanannya di bidang jurnalistik dimuiai 1 Juni 1961, di harian Duta Masyarakat. Tahun 1971, Duta Masjarakat gulung tikar karena tekanan Orde Baru. Tahun 1970, Said menjadi pemimpin umum majaiah bulanan Risalah Islamiyah yang diterbitkan organisasi di lingkungan NU, yakni Misi Islam, Jakarta. Pada 1973, Said sempat menjadi pemimpin perusahaan koran Pedoman.
Pada 1 April 1974, terbit koran resmi Partai Persatuan Pembangunan bernama harian umum Pelita yang beralamat di Jalan Asemka Nomor 29-30, kawasan Jakarta Kota. Pemimpin umum Pelita adalah M. Syah Manaf. Barlianta Harahap memegang redaksi. Said Budairy dan Darussamin sebagai waklinya.
Said disingkirkan pelan-pelan di koran ini karena memberitakan kecurangan-kecurangan Goikar pada Pemilu 1977. Pelita menerima surat peringatan keras dari Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Said menyimpan baik-baik surat bertanggal 4 Juni 1977 ini. Isi surat menentang pemberitaan pembunuhan Kiai Hasan Basri serta pembakaran rumah di Situbondo. Pelita dianggap, “Memutarbalikkan fakta, berlebihan, bersifat menghasut, dan mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat.” Surat ini ditandatangani Sudomo. Semasa aktif sebagai jurnalis, Said ikut mengurus Persatuan Wartawan Indonesia Pusat. Dia pemah menjabat ketua departemen pendidikan dan agama (1963-1967), wakil sekretaris jenderal (1967-1970), serta bendahara (1970-1973).
Pasca Muktamar Situbondo, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menerbitkan Warta Nahdlatul Ulama, tabloid bulanan di Jakarta. Warta NU terbit pertama kali pada September 1985, delapan bulan setelah Muktamar Situbondo. Said duduk sebagai Pemimpin Umum. Di Majelis Ulama lndonesia memangku ketua Komisi lnformasi dan Komunikasi, yang baru dibentuk dalam Musyawarah Nasional MUI ke-7 di Jakarta pada 2005. Dia yang mengusulkan komisi baru ini. Perannya, memantau program-program di televisi. Pada 1999, usai perubahan politik mengubah struktur pemerintahan Orde Baru, Budairy menjadi anggota Lembaga Sensor Film. Maret 2001 hingga Maret 2003, dia juga diminta sebagai ombudsman majalah Pantau.
Said mengembuskan napas terakhir pada 30 November 2009 di Rumah Sakit Islam Jakarta. Almarhum meninggalkan seorang istri, Hayatun Nufus, yang juga aktivis NU sejak remaja, dan empat orang anak. Jenazahnya dikebumikan di San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat.
(Sumber: Ensiklopedia NU)