ICW Kritik Wacana Tak Pidana Koruptor yang Kembalikan Uang Korupsi

Boneka didandani koruptor dimasukkan dalam jeruji besi proyek jalan yang terbengkalai di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (13/12). Kritikan terhadap pelaku koruptor terus disuarakan oleh aktivis untuk mendorong tindakan lebih tegas dalam pemberantasan korupsi dan penegakan hukum lainnya.(KOMPAS / AGUS SUSANTO)

JAKARTA, SUARAKALTIM.com – Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik kesepakatan Kementerian Dalam Negeri bersama dengan Kejaksaan Agung, Polri dan Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP). Kesepakatan tersebut, yakni penghentian penyelidikan perkara korupsi oknum pejabat daerah yang mengembalikan uang hasil korupsinya.
 
“Pernyataan itu tidak tepat dan bertentangan dengan Pasal 4 UU Tipikor,” ujar Peneliti Divisi Korupsi Politik ICW Almas Sjafrina di  Jakarta, Kamis (1/3/2018).
 
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menyebutkan dengan jelas Bunyinya: Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Sementara Pasal 2 dan 3 mengatur tentang waktu pidana dan denda setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.
 
Dengan dasar hukum itu, kata Almas, maka penyelidikan korupsi oknum pejabat yang mengembalikan uang korupsi tidak bisa dihentikan dan harus tetap berjalan.
 
Kementerian Dalam Negeri bersama dengan Kejaksaan Agung, Polri dan Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) sebelumnya menandatangani kesepakatan bersama dalam penanganan aduan korupsi di daerah.
 
Polri Komjen Pol Ari Dono Sukmanto mengungkapkan, dalam kesepakatan tersebut, oknum pejabat pemerintahan daerah yang terindikasi melakukan korupsi bisa dihentikan perkaranya jika mengembalikan uang yang dikorupsinya.
 
“Kalau masih penyelidikan kemudian si tersangka mengembalikan uangnya, kami lihat mungkin persoalan ini tidak kita lanjutkan ke penyidikan,” kata Ari di Grand Sahid Jaya, Jakarta, Rabu (28/2/2018).
 
Namun demikian, penghentian perkara dilakukan sesuai dengan mekanisme yang telah disepakati. Polri atau Kejaksaan Agung terlebih dahulu berkoordinasi dengan APIP untuk melakukan penelitian di internal pemerintahan daerah yang terindikasi korupsi.
 
Jika APIP hanya menemukan indikasi pelanggaran administrasi maka akan ditangani di internal kelembagaan. Sebaliknya, apabila ditemukan unsur tindak pidana, maka aparat hukum menindaklanjutinya.
 
“Kalau memang itu pelanggaran administrasi, akan ditindaklanjuti oleh APIP. Kalau memang tindak pidana, APIP akan menyerahkan ke APH, apakah itu nanti Kejaksaan atau Kepolisian,” ujar Ari.
 
BACA JUGA
 
 
 
 
Namun demikian, kata dia, oknum pejabat daerah yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi dan berniat mengembalikan uang negara yang dikorupsi, maka Polri atau Kejagung bisa mempertimbangkan penghentian perkara yang bersangkutan.
 
Kabareskrim menambahkan, anggaran penanganan perkara korupsi di kepolisian kerapkali lebih tinggi dibandingkan kerugian negara dari korupsi dengan jumlah yang kecil. Anggaran penanganan korupsi per perkara di kepolisian Rp 208 juta.
 

“Nah kalau yang dikorupsi Rp 100 juta negara kan tekor, nanti belum penuntutan berapa lagi, sampai dengan masa pemidanaan,” ujar Ari.

sk-022/artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “ICW Kritik Wacana Tak Pidana Koruptor yang Kembalikan Uang Korupsi “