JAKARTA, SUARAKALTIM.com.Sebanyak 54 guru besar dari berbagai perguruan tinggi hukum di Indonesia juga mendesak agar Arief Hidayat mundur dari jabatannya sebagai ketua MK dan hakim konstitusi. Desakan mundur ini disampaikan sebagai upaya menjaga marwah dan citra MK lantaran Arief sudah dua kali melanggar kode etik yakni kasus surat sakti untuk menitipkan keponakannya di Kejaksaan dan kasus lobi-lobi politik di DPR terkait perpanjangan masa jabatan Arief.
Pernyataan sikap para guru besar ini disampaikan dalam konperensi pers di STIH Jentera, Puri Imperium, Jakarta. Hadir dua orang perwakilan guru besar yakni Prof Sulistyowati Irianto dan Prof Mayling Oey bersama pengajar STHI Bivitri Susanti dan pengajar Universitas Airlangga Herlambang P Wiratraman.
Dalam pernyataannya, para guru besar memandang hakim MK harus diisi oleh orang yang memiliki kejujuran, kebenaran, dan keadilan. Hakim tidak boleh memiliki ambisi pribadi terhadap kekuasaan yang justru meruntuhkan martabat lembaga penjaga konstitusi tersebut.
“Tanpa pemahaman hakiki tersebut, hakim tidak bisa menjadi garda penjaga kebenaran,” demikian sikap resmi dari para guru besar itu dalam bentuk surat resmi yang akan dikirim ke Arief Hidayat, tembusan ke 8 hakim konstitusi, Sekjen MK, dan Ketua DPR pada Selasa 13 Februari mendatang.
Menurut kami, hakim konstitusi yang terbukti melanggar etik, maka dia tidak punya kualitas lagi sebagai negarawan. Sebab, negarawan sejatinya orang yang tidak akan mempertahankan posisinya setelah dijatuhi sanksi pelanggaran etik. Negarawan sejati bukan hanya tidak akan melanggar hukum, tetapi dia akan sangat menjaga etika pribadi, terutama etika bernegara.
“Negarawan tanpa etika batal demi hukum kenegarawanannya dan tidak memenuhi syarat menjadi hakim konstitusi,” demikian sebait dari isi surat yang akan diberikan kepada Arief Hidayat dan lainnya.
Guru Besar Universitas Indonesia Prof Sulistyowati Irianto mengatakan gerakkan para profesor peduli MK yang meminta Arief Hidayat mundur bukanlah gerakan spontan, melainkan sudah lama bergerak dalam tindakan anti korupsi. Selain pelanggaran etik yang dilakukan Arief juga dikarenakan dengan putusan MK yang menolak pengujian UU MD3 terkait hak angket DPR terhadap KPK.
“Mengapa saya ikut bersama 54 profesor yang lain, karena di dunia ini ada dua kerajaan besar, yakni kerajaan kebenaran yang dijaga oleh para ilmuan seperti kita dan kerajaan keadilan yang dijaga oleh para hakim. Jadi seharusnya hakim ini memiliki sikap etik yang baik dalam menjalankan tugasnya,” kata Prof Sulistyowati di Universitas STHI Jentera Jakarta, Jumat (9/2/2018).
Dia beralasan seruan moral ini demia menjaga marwah MK menjadi lebih baik. “Memang Arief tidak melanggar hukum, tetapi melanggar etik. Yang kita ketahui bersama etika itu segala-galanya dibandingkan yang lain. Sanksi moral lebih berbahaya daripada sanksi badan atau sanksi hukum,” ujarnya.
Menurut Sulis, MK ini hasil reformasi yang berdarah-darah dan kedudukan MK ini sangat mahal dan hanya satu level dari Tuhan yang ada di dunia. “Jadi, sifat kenegarawanannya harus yang utama. Dampak sikap Arief saat ini pun dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan dan martabat MK itu sendiri,” ujarnya.
Guru Besar Universitas Indonesia, Prof Mayling Oey merasa perlu untuk ikut bergabung dengan para profesor yang lain karen rasa pedulinya terhadap MK. “Hakim konstitusi harus berintegritas dan hampir sama seperti malaikat. Jangan sampai putusannya ‘haram’, hanya sekedar memperoleh keuntungan semata,” kata dia.
Menurutnya, jika berbicara soal etika ketika ia mengajarkan kepada mahasiswanya kerap menekankan pentingnya etika. Namun, bagaimana hakim konstitusi yang melakukan pelanggaran etik? Ia mengatakan gerakan yang dilakukan para guru besar ini bukan hanya menginginkan Arief mundur, tetapi juga agar penerapan etik di MK lebih baik.
Akademisi Universitas Airlangga, Herlambang mengatakan sebagai seorang akademisi yang mengajarkan etika kepada mahasiswa, kasus Arief menimbulkan kegelisahan di dunia peradilan konstitusi terutama persoalan etika hakim.
“Terlebih adanya putusan MK terkait hak angket terhadap KPK kemarin (08/02) ditolak, ini menunjukkan seolah-olah apa yang telah diputus oleh Dewan Etik atas pelanggaran etiknya melakukan lobi-lobi atau barter kepada DPR itu benar atau terkonfirmasi,” bebernya.
Dosen STHI Jentera, Bivitri Susanti mengatakan bayangkan ketika melihat putusan MK diawal putusanya terdapat irah-irah sinar ketuhanan yang seharusnya hakim konstitusi yang memutus memiliki standar etik yang tinggi. “Diharapkan semoga yang bersangkutan tersentuh hatinya ketika 54 guru besar ini telah meminta kepada Arief untuk mundur demi menjaga keutuhan marwah dan penegakkan etik di MK,” kata dia.
Saat dikonfirmasi, Arief Hidayat enggan berkomentar banyak. Namun, ia merasa kebingungan harus mengikuti yang mana (Karena terdapat orang pro dan kontra terhadap dirinya). “Saya ikuti saja ketentuan hukum yang berlaku. Indonesia adalah negara hukum, bukan pada petisi surat ataupun konperensi pers,” kata Arief kepada Hukumonline.
Lalu, ia pun mengirimkan quote kepada Hukumonline yang berisi “Jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu, dan yang membencimu tidak percaya itu” (Ali bin Abi Thalib).
Tidak ideal
Terpisah, Prof Jimly Assidiqie menyerahkan semua kepada sikap Arief Hidayat. “Kan saya orang luar, itu terserah Arief. Tetapi, tindakan para senior ini, saya tidak mengidealkan untuk menyuruh seseorang pejabat untuk mundur. Itu tidak sehat dan tidak dapat dibenarkan juga,” katanya kepada Hukumonline.
Namun, kata Jimly, ini menjadi pelajaran bagi kita semua. “Nah, adanya hal ini menjadi kritik bagi kita semua agar memperbaiki mekanisme pencalonan dan pemilihan hakim konstitusi,” kata dia.
Menurutnya, mekanisme perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi selama ini tidak tepat. Karena itu, prosedur pencalonan dan pemilihannya harus lebih detail yang diatur dalam peraturan masing-masing tiga lembaga yang mencalonkan hakim konstitusi yakni presiden, Mahkamah Agung (MA), dan DPR.
Dia menjelaskan proses untuk mendapatkan hakim konstitusi itu melalui tahapan pencalonan dan pemilihan. Dalam proses pencalonan hakim konstitusi harus memiliki unsur partisipatif dan transparan. “Partisipatif ialah ada keikutsertaan masyarakat dan transparan ialah keterbukaan. Dalam praktik yang sebelumnya hal ini belum diterapkan sepenuhnya,” kata dia.
Lalu, kata dia, dalam proses pemilihan harus objektif dan akuntanbel. “Jadi saya lebih cenderung pada penataan rekrutmen hakim konstitusinya harus segera diperbaiki,” tegasnya. “Saya sudah katakan ini kepada DPR dan juga kepada ketua MK tapi tidak ditindaklanjuti. Sampai saat ini belum ada Perma, Perpres dan aturan di DPR yang mengatur secara lebih detail proses pencalonan dan pemilihan hakim konstitusi,” katanya. sk-001. Telah diterbitkan pertama kali oleh hukumonline.com dengan judul 54 Profesor Ini Mendesak Arief Mundur dari Jabatannya.
Berikut nama 54 profesor yang meminta Arief Hidayat mundur dari jabatannya:
1. Prof. A. P. Moenta (Universitas Hasanudin) 2. Prof. Abdush Shomad (Universitas Airlangga) 3. Prof. Ade Manan Suherman (Universitas Jendral Soedirman) 4. Prof. Agus Pramusinto (Universitas Gadjah Mada) 5. Prof. Ahmad Alim Bachri (Universitas Lambung Mangkurat) 6. Prof. Ali Agus (Universitas Gadja Mada) 7. Prof. Amir Imbaruddin (STIA LAN Makassar) 8. Prof. Anna Erliyana (Universitas Indonesia) 9. Prof. Anwar Borahima (Universitas Hasanudin) 10. Prof. Asep Saefuddin (Institut Pertanian Bogor) 11. Prof. Bagong Suyanto (Universitas Airlangga) 12. Prof. Bambang Widodo Umar (Universitas Indonesia) 13. Prof. Budi Santosa (Institut Teknologi Sepuluh November) 14. Prof. Cahyono Agus (Universitas Gadjah Mada) 15. Prof. Denny Indrayana (Universitas Gadjah Mada) 16. Prof. Frans Limahelu (Universitas Airlangga) 17. Prof. Giyatmi (Universitas Sahid) 18. Prof. Hariadi Kartodihardjo (Institut Pertanian Bogor) 19. Prof. Hendra Gunawan (Institut Teknologi Bandung) 20. Prof. Janianton Damanik (Universitas Gadjah Mada) 21. Prof. Kholil (Universitas Sahid) 22. Prof. Komarudin Hidayat (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah) 23. Prof. M Hawin (Universitas Gadjah Mada) 24. Prof. M Yamin Lubis (Universitas Sumatera Utara) 25. Prof. Marchaban (Universitas Gadjah Mada) 26. Prof. Maria SW Sumardjono (Universitas Gadjah Mada) 27. Prof. Mayling Oey (Universitas Indonesia) 28. Prof. Mohammad Maksum (Universitas Gadjah Mada) 29. Prof. Muhadjir Darwin (Universitas Gadjah Mada) 30. Prof. Muhammad AS Hikam (Universitas Presiden) 31. Prof. Nadirsyah Hosen (Monash University) 32. Prof. Ningrum Natasya Sirait (Universitas Sumatera Utara) 33. Prof. PM Laksono (Universitas Gadjah Mada) 34. Prof. Purwo Santosa (Universitas Gadjah Mada) 35. Prof. Ratno Lukito (Universitas Negeri Islam Sunan Kalijaga) 36. Prof. Riris Sarumpaet (Universitas Indonesia) 37. Prof. Rusli Muhammad (Universitas Islam Indonesia) 38. Prof. Saparinah Sadli (Universitas Indonesia) 39. Prof. Sigit Riyanto(Universitas Gadjah Mada) 40. Prof. Siti Zuhro (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) 41. Prof. Sjafri Sairin (Universitas Gadjah Mada) 42. Prof. Sri Nugroho Marsoem (Universitas Gadjah Mada) 43. Prof. Sulistyowati Irianto (Universitas Indonesia) 44. Prof. Sunjoto (Universitas Gadjah Mada) 45. Prof. Susetiawan (Universitas Gadjah Mada) 46. Prof. Syamsuddin Haris (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) 47. Prof. Syafruddin Karimi (Universitas Andalas) 48. Prof. Tri Lisiani (Universitas Jendral Soedirman) 49. Prof. Tri Widodo (Universitas Gadjah Mada) 50. Prof. Wahyudi Kumorotomo (Universitas Gadjah Mada) 51. Prof. Yeremias T. Keban (Universitas Gadjah Mada) 52. Prof. Faturochman (Universitas Gadjah Mada) 53. Prof. Sangkala (Universitas Hasanudin) 54. Prof. Asyumardi Azra (Univeristas Islam Negeri Syarif Hidayatullah) |