www.suarakaltim.com– Sepekan yang lalu kita dikejutkan dengan adanya seorang caleg yang meminta kepada keluarganya untuk memindahkan kuburan. Hal itu dilakukan karena keluarganya tadi tidak mendukung dia. Di tempat lain ada pula yang meminta kembali uang bantuan yang diberikan saat kampanye, karena dirinya tidak terpilih. Fenomena seperti ini sering kita temui di musim pemilu. Jika kita tarik benang merahnya, maka fenomena seperti itu erat kaitannya dengan ambisi mencari kekuasaan. Bagaimana ambisi terhadap kekuasaan di dalam Islam?
Pernah suatu ketika, dengan niat ingin memberi kontribusi yang lebih besar kepada umat, Abu Dzar al-Ghifari datang kepada Rasulullah SAW dan meminta agar dilantik menjadi pejabat.
Sambil menepuk pundak Abu Dzar, Nabi SAW berkata, “Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah, sementara kepemimpinan itu adalah amanat. Pada hari kiamat nanti, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut,” (HR Muslim)
Di lain kesempatan, Rasulullah SAW juga pernah memberi nasihat kepada Abdurrahman bin Samurah,
يَا عَبْدَ الرَّحْمنِ بن سَمُرَةَ لاَ تَسْألِ الإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيْتَها عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَ إِنْ أُعْطِيْتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْها
“Wahai Abdurrahman bin Samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin. Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepadamu karena diminta, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepadamu bukan karena diminta, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Masih dalam makna yang sama, Abu Musa al-Asy’ari pernah meriwayatkan bahwa suatu ketika aku dan dua orang dari kaumku datang menghadap Nabi saw. Salah seorang mereka berkata, “Ya Rasulullah angkatlah kami sebagai pejabatmu!” Satu orang lagi juga mengatakan perkataan yang sama. Lalu Rasulullah SAW bersabda:
لَنْ أَوْ لاَ نَسْتَعْمِلُ عَلَى عَمَلِنَا مَنْ أَرَادَهُ
“Kami tidak akan memberikan jabatan pemerintahan ini kepada orang yang meminta dan berambisi untuk mendapatkannya,” (HR. Bukhari-Muslim)
Beratnya Tanggungjawab Pemimpin
Ya, dalam Islam memimpin atau menjadi pemimpin bukanlah perkara yang ringan. Tanggung jawabnya berat. Tidak hanya mengatur kesejahteraan hidup rakyat saja, tapi lebih daripada itu, seorang pemimpin juga harus memastikan tegaknya syariat Allah Ta’ala dalam aturan hidup rakyatnya. Sebagaimana yang ditegaskan oleh para ulama bahwa secara umum ada dua tugas utama seorang pemimpin, yaitu: menjaga agama dan mengatur urusan dunia dengan aturan agama. Karena itu, tanggungjawab seorang pemimpin terhadap rakyatnya cukuplah besar. Tidak hanya ditanya tentang kesejahteraan hidup rakyatnya tapi juga bertanggungjawab terhadap tegaknya agama di tengah-tengah mereka. (Lihat: Al-Ahkamus Sulthaniyah, 1/3)
Karena kesulitan itu, seorang Muslim tidak diperkenankan meminta jabatan atau amanah apapun pada orang lain. Dulu, para Sahabat dan orang-orang shaleh setelahnya selalu menghindar dan merasa keberatan menjadi seorang pemimpin. Mereka merasa potensi yang dimiliki sangat jauh dari kriteria seorang pemimpin. Tak sedikit bahkan harus disiksa oleh penguasa zhalim karena menolak tawaran tersebut. Semua itu tidak lain karena mereka paham konsekuensi yang harus ditanggung ketika menjadi seorang pemimpin. Terutama ketika dimintai pertanggungjawaban oleh Allah kelak di akhirat.
Kesadaran semacam ini cukup mempengaruhi jiwa para sahabat, karena itu ketika Umar bin Khatab diangkat menjadi khalifah, beliau pernah berujar, “Seandainya seekor keledai terperosok di kota Baghdad niscaya Umar akan dimintai pertanggungjawabannya kelak, seraya akan ditanya, mengapa tidak kau ratakan jalan untuknya?”
Demikianlah tanggung jawab seorang pemimpin. Hakikat pemimpin itu sendiri dijelaskan oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya:
إِنْ شِئْتُمْ أَنْبَأْتُكُمْ عَنِ الإِمَارَةِ وَمَا هِيَ؟ أَوَّلُهَا مَلامَةٌ، وَثَانِيهَا نَدَامَةٌ، وثَالِثُهَا عَذَابٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلا مَنْ عَدَلَ
“Jika kalian mau, aku akan memberitahu kalian tentang kepemimpinan (al-imârah), apakah itu? Awalnya adalah celaan. Yang kedua adalah penyesalan Yang ketiganya adalah azab pada Hari Kiamat kecuali orang yang berlaku adil,” (HR. al-Bazar dan ath-Thabrani)
Berambisi Terhadap Kekuasaan
Tampaknya, apa yang pernah disampaikan oleh Rasulullah SAW di atas sudah banyak dilupakan oleh banyak umat Islam hari ini. Kepemimpinan menjadi ajang rebutan banyak orang. Ia menjadi sesuatu yang cukup menggiurkan. Dengan menjadi seorang pemimpin, siapapun akan mudah memenuhi tuntutan hawa nafsunya berupa kepopuleran, penghormatan dari orang lain, kedudukan atau status sosial yang tinggi di mata manusia.
Tidak mengheranan bila kemudian untuk mewujudkan ambisi tersebut, banyak elit politik yang tidak segan-segan melakukan politik uang dengan membeli suara masyarakat pemilih atau mayoritas anggota dewan. Atau ‘sekedar’ uang tutup mulut untuk meminimalisir komentar miring saat berlangsungnya kampanye, dan sebagainya. Bahkan ada yang ekstrim, ia pun siap menjegal siapapun yang dianggap sebagai rival dalam perebutan kursi kepemimpinan tersebut. Bahkan tali persaudaraan pun tidak lagi dihiraukan. Mayat yang sudah dalam liang kubur sekalipun, ketika keluarganya yang berbeda pilihan politik dengan sang pemilik tanah, mayat tersebut disuruh bongkar dan dipindahkan dari tanah miliknya. Nasalullaha al‘afiah!
Karena itu, Rasulullah SAW menggambarkan kerakusan terhadap jabatan melebihi dua ekor serigala yang kelaparan lalu dilepas di tengah segerombolan kambing. Beliau bersabda, “Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah gerombolan kambing lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya karena ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi (HR. Tirmidzi)
Namun fitnah seperti ini memang sudah menjadi bagian dari nubuwat Nabi SAW sepeninngal beliau, bahwa akan ada kondisi di mana kepemimpinan menjadi ajang rebutan banyak orang. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa nabi SAW bersabda:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ، وَسَتَصِيرُ نَدَامَةً وَحَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya kalian akan berambisi akan jabatan kepempimpinan. Padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.” (HR. Bukhari)
Maka Rasulullah SAW menasihati—terutama bagi yang tidak mampu—agar tidak meminta-minta diangkat menjadi pejabat. “Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin. Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepadamu karena diminta, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepadamu bukan karena diminta, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya,” (HR. Bukhari-Muslim)
Menjelaskan hadis tersebut, Ibnu Hajar berkata, “Siapa yang mencari kekuasaan dengan begitu tamaknya, maka ia tidak ditolong oleh Allah.” (Fathul Bari, 13: 124)
Masih dalam pembahasan yang sama, Ibnu Hajar juga menukil perkataan Al Muhallab, dimana ia berkata, “Meminta kepemimpinan di sini tidak dibolehkan ketika seseorang tidak punya kapabilitas di dalamnya. Termasuk pula tidak dibolehkan jika saat masuk dalam kekuasaan, ia malah terjerumus dalam larangan-larangan agama. Namun siapa saja yang berusaha tawadhu’ (rendah hati), maka Allah akan meninggikan derajatnya.” (Fathul Bari, 13: 125)
Syaikh As-Sa’di juga berkata, “Kepemimpinan atau bentuk penguasaan (kedudukan) apapun terhadap makhluk, tidak sepantasnya diminta oleh seorang hamba atau menjadi ambisi yang terus dikejar-kejar. Justru yang harus dilakukannya adalah memohon keselamatan kepada Allah. Sebab, dia tidak tahu apakah kekuasaan itu berujung baik atau buruk baginya? apakah dia mampu atau tidak mengembannya? maka ketika ia meminta atau berambisi untuk memperolehnya maka dia akan memikul sendiri beban tersebut, dan dalam keadaan tersebut Allah tidak akan memberi taufiq dan pertolongan dalam setiap urusannya. Sebab ambisinya dibangun atas dua hal yang harus dihindari:
Pertama: Tamak terhadap dunia dan kedudukan. Ketamakan tersebut akan menjadikannya terus menumpuk harta serta merasa tinggi di atas manusia yang lain.
Kedua: merasa diri paling mampu dan lupa memohon pertolongan kepada Allah.
Sedangkan bagi mereka yang tidak berambisi terhadapnya, dan jabatan itu diberikan kepadanya tanpa meminta bahkan ia merasa dirinya tidak mampu memikulnya, maka Allah akan menolongnya dan tidak membiarkan beban tersebut dipikulnya sendiri. Sebab, urusan kepemimpinan duniawi itu mencakup dua hal: memperbaiki kemaslahatan agama dan kesejahteraan dunia rakyatnya.
Maka kekuasaan itu bertanggungjawab bagaimana rakyatnya mau melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan agama. memenuhi segala hak rakyatnya, mengatur bagaimana amalan jihad bisa terus dijalankan, karena itu dia merupakan fadhu kifayah yang membebani banyak tanggungjawab.” (As-Sa’di, Bahjah Qulubil Abrar, 106)
Semakna dengan penjelasan di atas, Ibnu Qayim menerangkan lebih lanjut bahwa, “Perbedaan antara orang yang berambisi dengan kekuasaan dengan orang yang cinta menjadi pemimpin demi dakwah kepada Allah seperti antara orang yang mengangungkan perintah Allah dan menyeru kepada-Nya dengan orang yang mengangungkan hawa nafsu dan menuruti keinginannya. orang yang menyeru kepada Allah, mencintai dan mengagungkan-Nya wajib baginya menaati perintah-Nya dan tidak bermaksiat kepada-Nya. Meninggikan kalimat Allah dan menjadikan agama seluruhnya hanya milik Allah. Orang seperti ini mencintai kepemimpinan dalam agama. bahkan dia memohon kepada Allah agar menjagi imam bagi orang-orang yang bertaqwa. Dan ini sangat berlawanan dengan orang-orang yang meminta jabatan, mereka hanya berambisi untuk mendapatkan kedudukan dan kekuasaan di dunia. Sehingga orang-orang mengagumi dan mengidolakan mereka, melayani setiap kepentingan mereka sebagai pejabat tinggi yang punya kekuasaan atas rakyatnya. Dari sini awal terjadinya berbagai macam kerusakan. (Ibnu Qayyim, Ar–Ruh, 202-203)
Dari penjelasan Ibnu Qayyim di atas, kita mampu memahami kisah Nabi Yusuf yang meminta kekuasaan sebagaimana disebut dalam ayat,
اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْض
“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir).” (QS. Yusuf: 55).
Begitu pula dengan doa Nabi Sulaiman,
وَهَبْ لِي مُلْكً
“Dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan.” (QS. Shad: 35).
Maknanya, ketika dia mendapat kepercayaan dari masyarakat dan melihat dirinya mampu mengemban amanah serta bisa membawa kemaslahatan umat, baik dalam urusan dunia maupun agama, maka tidak mengapa berdoa atau meminta agar dijadikan sebagai pemimpin. Sebagaimana ketika sosok Ustman bin Affan memohon kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah jadikanlah aku sebagai pemimpin bagi kaumku! Beliau bersabda: “Engkau adalah pemimpin bagi mereka, perhatikanlah orang yang paling lemah di antara mereka, dan angkatlah seorang muadzin dan jangan upah dia karena adzannya.” (HR. Abu Daud dan Ahmad). sk-011/kiblat.net