KETIKA hujan datang, dan Samarinda banjir, di antara pasangan calon (paslon) Gubernur Kaltim, ada yang nampak seperti kegirangan, berjingkrak-jingkrak, menggulung celana , lalu turun menengok warga yang kebanjiran.
Dengan memasang wajah prihatin, didampingi tim sukses turun ke wilayah banjir bak pahlawan yang bisa mengusir banjir dengan membawa bantuan. Umumnya bantuan indomie. Seakan-akan turut merasakan penderitaan warga.
Tapi sungguh sayang, sayang seribu sayang, solusi, ide-ide dan sumbang pemikiran, pelit diberikan. Atau, jangan-jangan tidak punya solusi mengendalikan banjir di Samarinda? Buntu pemikiran. Padahal ide cerdas itu yang diperlukan daripada indomie.
Bila sesekali hujan turun, dan Samarinda banjir, ada paslon yang seperti mendapat “ amunisi” untuk menyerang H Syaharie Jaang. Kenapa Syaharie Jaang seorang yang “diserang”? Bukankah ada wakil-wakil rakyat, yang bisa bekerja saat reses mendengarkan aspirasi warga, mendata dan mencatat sejumlah titik di daerah pemilihan (dapil) mereka, lalu saat pembahasan anggaran (APBD), titik-titik wilayah banjir itu dibicarakan, dibahas apa penyebabnya bersama dengan jajaran pemerintah daerah, lalu diperjuangkan dan dianggarkan untuk program pengendaliannya. Bukankah anggota DPRD juga menjadi panitia anggaran (panggar)? Bukan hanya anggota di DPRD Samarinda saja, tapi juga di DPRD Kaltim dapil Samarinda. Memang masalah tehnis. Tapi setidaknya, sumbang saran dan pemikiran, bagaimana membebaskan ibukota propinsi Kaltim ini dari banjir. Wali kota Samarinda tentu saja akan mengikut, tidak ingin mendebat, apalagi bila ada solusi banjir yang mujarab dan didukung cukup anggaran yang tersedia.
Bila sebagai wali kota Samarinda. Syaharie Jaang harus bertanggung jawab itu benar. Tapi Syaharie Jaang bukan “superman”, yang bisa “memindahkan air” yang parkir di tempat yang rendah ke sungai dalam sekejap.
Penyelesaian banjir di Samarinda “harus dikeroyoki”. Masyarakat juga harus peduli. Karena tidak sedikit warga, yang hanya menonton saja, ketika wali kota Samarinda “ berupaya memotivasi”, dengan turun langsung ke parit untuk memunguti botol-botol plastik dan sampah-sampah yang menyumbat saluran-saluran air.
Ah, seandainya saat turun ke lapangan itu, anggota dewan yang dapilnya kebanjiran juga ikut turun bersama dengan masyarakat yang memilih mereka, ikut membersihkan saluran-saluran sebelum turun hujan alangkah indahnya i?
Begitu pula dengan paslon-paslon gubernur dan wakilnya. Tidak hanya bisa menyalahkan.
Saat 2 kali debat kandidat gubernur dan wakil gubernur Kaltim, yang kita tonton , sungguh sayang seribu sayang, tidak ada keluar solusi atau pemikiran tentang pengendalian banjir, yang disampaikan dari tim ahli masing-masing paslon. Yang ada malah banjir dijadikan senjata untuk “menjatuhkan” saingan. Padahal, andai saja cagub atau cawagub tersebut menjadi wali kota sSamarinda belum tentu bisa menuntaskan banjir.
***
BACA PULA
Program Nomor 2, Jaang-Awang Lebih Masuk Akal
Syaharie Jaang, Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, Kaning dan Rita
Syaharie Jaang lebih Unggul dari 2 Sisi; Figur & Rekam Jejak`yang Baik
Datangi Lokasi Kebakaran, Syaharie Jaang Hampir Menangis
Awang Ferdian, Sedikit Bicara Ingin Banyak Bekerja
DI KALTIM, selain di Samarinda, di Balikpapan juga banjir. Di Bontang, Kutai Timur, Berau tidak begitu banjir, karena banyak resapan air. Di beberapa bagian wilayah Kukar dan sekitarnya juga kadang-kadang banjir. Di Paser dan Penajam Paser Utara (PPU) tidak banjir karena juga banyak resapan air.
Bukanlah hal yang aneh, bila di kota-kota besar, yang penduduknya banyak seperti Samarinda, Balikpapan yang dekat laut dan kota-kota besar lainnya di Indonesia banjir. Hal yang “aneh” adalah setiap menjelang Pilkada, “banjir” dijadikan “senjata” untuk menjatuhkan saingan. Keberhasilan-keberhasilan “ditutupi” dengan masalah banjir, yang tujuan akhirnya, ujung-ujungnya untuk memikat hati pemilih.
Tudingan karena adanya tambang batu bara di Samarinda, ternyata terbantahkan dengan sendirinya. Alam menjawab. Karena di Balikpapan yang tidak ada tambang batu baranya juga malah banjir. Balikpapan yang tanahnya berbukit-bukit juga banjir. Samarinda sendiri, daratannya lebih rendah dari sungai Mahakam. Di wilayah Kukar, yang banyak tambang batu bara juga tidak begitu banjir. Malahan, bekas lubang-lubang galian batu bara menjadi folder tempat penampungan air. Ada pula warga yang menjadikan lokasi bekas penambangan batu bara menjadi usaha perikanan.
***
AMPUHKAH “senjata banjir” untuk melumpuhkan simpati masyarakat Samarinda agar tidak memilih Syaharie Jaang? Biasanya tidak. Buktinya, Syaharie Jaang dua kali dipercaya sebagai wali kota Samarinda. “Jualan banjir” tanpa solusi dan ide, dianggap masyarakat seperti mengelabui. Setelah terpilih, lupa atau belum tentu bisa mengatasi banjir.
Senjata dengan hanya menuding Samarinda sebagai kota tidak layak huni, tidak nyaman untuk tinggal di Samarinda karena banjir dan menyalahkan Syaharie Jaang ternyata tidak laku. Masyarakat Samarinda tetap memilih Syaharie Jaang. Karena, ada keberhasilan-keberhasilan lain yang dilihat mayoritas warga Samarinda. Malahan, sebagaian besar masyarakat Samarinda yang tidak menyalahkan Syaharie Jaang, membela dan balik menyalahkan pihak-pihak yang menyerang.
***
Ada candaan sedikit menyindir dari masyarakat Samarinda. Sebelum menjadi calon gubernur atau wakil gubernur, coba aja dulu menjadi calon wali kota Samarinda. Syukur-syukur bila terpilih. Coba apa upaya yang dilakukan untuk mengatasi banjir di Samarinda? Karena Samarinda lokasinya berbeda dengan Balikpapan, Kutai Timur atau Bontang. Bila tidak lupa akan janjinya, atau malah miskin pemikiran, ide-ide atau jangan-jangan nanti malah bingung, tidak mampu mengendalikan banjir di Samarinda. Lalu siapa lagi yang dicari untuk disalahkan? ****
https://www.facebook.com/syaharie.jaang.7/videos/10204196359305842/