Kain Kafan Oleh-oleh Untuk Wali Kota

 

Oleh : Akhmad Zailani

Apa oleh-oleh yang pas untuk seorang Wali kota? 

Wali kota, yang saya anggap sangat berjasa.  Saya ingin membalas budi baiknya.

Pertanyaan itu muncul  di hari terakhir dari 8 hari saya tiba di Madinah. 

Apa perlu seorang wali kota yang sudah memiliki segalanya diberi oleh-oleh? 

Apalagi dari saya, hanya seorang wartawan muda sederhana, kala itu. 

Wali kota bisa beli apa saja, yang dia mau.

Tapi saya ingin memberikan oleh-oleh. Pertanyaan atau lebih tepatnya keinginan itu terbawa hingga ke Mekkah.

Saya ingin memberikan oleh-oleh yang spesial. Selain tentu saja,  mendoakan sang wali kota di tempat-tempat mustajab  berdoa  di Madinah dan Mekkah.

Akhir  tahun 2003. 

Cuaca di bulan Desember kota Mekkah  tak jauh berbeda dengan di Indonesia. Berkisar antara 29 derajat celcius hingga 31 derajat celsius. Bagi saya sama saja. Walaupun ada yang menyebutnya berbeda. Bila dingin sangat dingin. Hingga 5 derajat celsius. Ada kawan yang pernah  beberapa kali umroh merasakan hingga 5 derajat celsius. Bila musim panas sangat panas. 

Tapi saat itu, di haji akbar itu cuaca Kota Mekkah sama dengan cuaca di Indonesia. Tidak begitu panas dan tidak begitu dingin.

Berbeda dengan di Madinah. Sangat dingin. Air mineral yang di taruh di dekat jendela kamar hotel  semalaman pun bisa dingin seperti yang di simpan di dalam kulkas.

 

Saya perlu memberikan oleh-oleh kepada pak H. Achmad Amins,  yang saat itu menjabat sebagai wali kota Samarinda, karena beliau yang “menyuruh” saya naik haji.

Di akhir tahun 2003 hingga awal 2004  saya mendapat kesempatan naik haji yang pertama kalinya.

Kloter pertama.

Haji reguler.

Arbain.

Selama 40 hari. 

8 hari berada di Madinah. 

20 hari berada di Mekkah

4 hari di Arafah dan Mina.

Saat itu usia saya belum 30 tahun.  Itu pun setelah disuruh untuk kedua kalinya. Di tahun sebelumnya,  wali kota yang dikenal tegas itu sudah meminta saya untuk segera mendaftar, tapi saya menolak. Di tahun haji berikutnya, beliau kembali menyuruh saya untuk segera mendaftar. 

’Nunggu apa lagi nyawa (kamu).  Nunggu tuha kah? Lekasi sana datangi Marwoto (Kabag Sosial), minta  daftarkan,’’ beliau setengah mengusir saya.

Setelah berpikir beberapa hari, saya mengikuti saran beliau.

Saya termasuk beruntung. Karena di tahun berikutnya,  naik haji tidak bisa lagi   langsung berangkat di tahun itu juga, tapi menunggu hingga beberapa tahun.  Sekarang ini, kabarnya menunggu hingga 10 tahun lebih. Saya bersyukur untuk itu. 

Di masa kepemimpinan pak Achmad Amins menjabat wali kota, setiap tahun sekitar 20 hingga 30 orang non PNS diberangkatkan ke tanah suci, Mekah dan Madinah.  Mereka di antaranya imam masjid/langgar,  kaum atau marbot masjid, tukang memandikan jenazah, tenaga kesehatan, guru gaji, tokoh agama, tokoh masyarakat dan lain-lain yang sebagian besar warga yang bukan PNS, termasuk wartawan. Mereka menjadi petugas haji. 

Pak Achmad Amins memang berbeda dengan wali kota Samarinda lainnya. Bila dibandingkan dengan wali kota sebelum atau sesudah beliau menjabat. 

Pak Achmad Amins menjabat sebagai wali kota selama 2 periode. Periode pertama 2000-2005, yang saat itu, kepala daerah masih dipilih oleh  anggota DPRD.  Selanjutnya, periode ke kedua  2005-2010,  . Beliau lah wali kota pertama di Samarinda yang dipilih langsung melalui pemilihan kepala daerah di Kaltim. Beliau juga Wakil Kepala Daerah pertama di Kaltim.

JASA

Karena jasa pak Pak Amins lah sehingga saya bisa naik haji. Maka saya perlu berterima kasih kepada beliau.  Sebagai tanda terima kasih, saya harus memberikan oleh-oleh.

Apa oleh-oleh untuk wali kota itu, sesekali pertanyaan itu bermain di pikiran saja.  Terutama bila pulang berjalan kaki dari salat, melewati sejumlah toko.

Terus terang. Saya sebelumnya pernah membelikan sepasang sepatu untuk Pak Achmad Amins.

Saat itu, karena dinilai berhasil memperjuangkan insentif para Ketua RT, saya dan seorang teman “ditunjuk” atau lebih lepatnya diberi proyek untuk melaksanakan pengadaan  jaket  seluruh Ketua RT di Samarinda.

SEPATU

Saya orang yang tahu berterima kasih dan mengingat kebaikan seseorang. Untuk membalas budi baik itu, setelah selesai proyek jaket untuk Ketua RT, saya bertanya berapa nomor sepatu beliau. Setelah diberitahu, saya sempat  bingung juga.

Saya mencari-cari sepatu di semua  toko sepatu yang ada di Samarinda. Saya mencari sepatu olah raga yang termahal.  Pikir saya yang mahal pasti bagus.  Yang bagus pasti dari merk terkenal. 

Semula saya ingin membelikan sepatu olah raga untuk Pak Achmad Amins. Karena Pak Achmad Amins suka berolah raga.  Olah raga jalan kaki itu dilakukan beliau jauh sebelum menjabat sebagai wali kota.  Biasanya sore hari setelah jam kerja kantor.  Saat masih menjabat wakil wali kota  usai jam kerja, sesekali beliau terlihat berjalan kaki  di beberapa jalan di kota Samarinda.  Sambil melihat-lihat parit dan jalan-jalan. Sendirian.  Tidak ada ajudan.  Menyapa dan bersalaman dengan masyarakat yang ditemui di jalan. Setelah menjabat wali kota, sore hari pak Achmad Amins masih berolah raga jalan santai, tapi hanya  di seputaran kampus Unmul Gunung Kelua.

Setelah berkeliling ke berapa toko sepatu, akhirnya sepatu yang  paling mahal  saya dapat di sebuah toko dekat pusat perniagaan Citra Niaga.  Tapi bukan sepatu olah raga yang diharapkan beliau.  saya membelikan sepatu kerja. ”Dari kulit, ini yang termahal di sini,” kata pemilik toko.

Sepatu saya berikan. Pak Amins suka.

“ Wah bagus ini. Terima kasih lah,’’ ujar beliau.

Tapi pada hari-hari  selanjutnya, saya mengetahui, sepatu itu tidak pernah beliau pakai. Sepatu itu dipakai oleh anak lelakinya.

Maka ketika melaksanakan ibadah haji, saya tidak lagi kepikiran untuk membelikan sepatu. 

Selain itu, hadiah sepatu juga biasa-biasa saja untuk seorang wali kota.

Saya ingin membalas kebaikan.  Karena melalui perantara beliau,  saya mendapat undangan Allah SWT untuk naik haji.

BAJU

Bagaimana kalau oleh-olehnya baju? 

Selain sepatu, saya pernah memberikan baju kemeja ke wali kota.

Bahkan tak hanya ke pak Amins,  juga ke wakil wali kota saat periode 2000-2005 itu, H Syaharie Jaang.  Saat itu saya antar ke rumahnya.  Mungkin beliau tidak ingat.

Saya dan teman membeli dua baju. Batik dengan warna dominan kuning untuk pak Amins. Kenapa kuning? Karena beliau dulu orang Golkar.  Untuk pak Syaharie Jaang, batik yang ada warna merahnya. Karena beliau saat itu masih orang PDIP.  Kemeja itu saya beli di Malaysia, saat meliput festival pencak silat bersama rombongan dari Kaltim.

ATAU BUAH-BUAHAN

Selain orang yang ingin membalas budi. Saya juga orang yang ingin setia kawan. Saat pak Amins sakit, saya pernah membawakan buah-buahan ke rumah dinas, setelah pulang dari rumah sakit.

Bagi saya, apakah baju kemeja dan sepatu itu tidak dipakai,  dan buah-buahan itu dimakan atau tidak,  tidak lah begitu penting. Saya sudah merasa puas, membalas budi baik orang.

Saat menunaikan ibadah haji di akhir tahun 2003 hingga awal tahun 2004 itu, saat melemparkan jumrah, tak terduga, saya juga bertemu pak Syaharie Jaang bersama istri, Hj. Puji Setyowati

KAIN IHRAM

Lalu apa oleh-oleh untuk Pak Amins?

Saat berjalan-jalan di sekitar Masjidil Haram, tak sengaja saya banyak melihat sekelompok jamaah, mungkin dari Yaman, yang mencuci dan menjemur kain ihram.  Di pagar-pagar sekitar tempat wudhu, di sisi  Masjidil Haram.

Di waktu lain, malam hari saya juga sempat ngobrol saat nongkrong sambil minum kopi mengusir hawa dingin kota Mekkah di  depan sebuah kedai di persimpangan jalan kota Mekah;  bahwa kain ihram itu bisa dipakai sebagai kain kafan.  Dibersihkan lalu direndam dalam ember  yang berisi air zam- zam.

Lalu ide itulah yang muncul di kepala saya. Mungkin, ini ide sedikit gila.  Masih sih wali kota diberi oleh-oleh kain kafan, dari kain yang biasa dipakai untuk kain ihram. Saya mungkin tak perlu lagi menjelaskan simbol atau makna tentang kain ihram, “pakaian” yang berwarna putih dan tanpa jahitan  saat melaksanakan ibadah haji dan umroh.  Sekarang ini orang bisa mencari tahunya apa saja dari google.

KAIN KAFAN

Saya ingin memberikan kain kafan yang terbaik untuk Pak Amins. Dari kain ihram.  Dan lebih tebal dari kain kafan yang umumnya digunakan. Dan bukankah harganya juga sedikit lebih mahal?.  Dan yang lebih penting lagi, kain kafan itu  sudah direndam dengan air zam zam,  air suci bagi umat Islam.

Bukankah menyenangkannya, bila roh telah terpisah dari badan dan badan tidur selamanya, berselimutkan  kain kafan yang tebal, yang telah direndam dengan “air dari sorga”?

AWAL JANUARI 2004

Namun, pada akhirnya, setelah selesai menunaikan ibadah haji, oleh-oleh kain kafan itu tidak jadi saya berikan untuk Pak Amins.  Saya ragu-ragu.  Saya tidak enak hati. Jangan-jangan malah beliau tersinggung? Kok oleh-olehnya “hanya” 3 bungkus kain ihram?  Kain ihram yang nanti bila meninggal dunia, bapak bisa gunakan ini sebagai kain kafan. Jangan-jangan nanti disangka mendoakan agar cepat mati.  Padahal isi doa saya, yang baik-baik untuk beliau. Saya juga berdoa di tempat-tempat mustajab.  Di antaranya, saya berdoa agar pak Amins bisa terpilih kembali sebagai wali kota Samarinda untuk kedua kalinya.

Karena ragu-ragu akhirnya saya mengurungkan keinginan untuk menyerahkan oleh-oleh yang “mengingatkan mati” itu.   

Bukankah yang penting niatnya baik? Dan yang lebih penting, sudah mendoakan?

7 SEPTEMBER 2005

Ibu saya meninggal dunia. Mendadak. Perasaan saya, tiba-tiba mati lampu di malam hari. Tidak ada cahaya. Gelap. .

Saat itu masa kampanye pemilihan wali kota Samarinda.  Pak Amins mencalonkan diri  sebagai wali kota untuk kedua kalinya.

Saya ingat, pak Amins datang melayat ke rumah kami, dan ikut  melakukan salat jenazah untuk almarhumah ibu saya.

Maaf, pak Amins, oleh-oleh kain kafan itu akhirnya  untuk ibu saya tersayang.

Kain ihram yang sudah dibasuh dengan air zam zam itu akhirnya digunakan untuk “pakaian” almarhumah ibu saya, yang meninggal setahun kemudian, setelah menunaikan ibadah haji. *  (akhmadzailani@suarakaltim.com).