Oleh: Akhmad Lazuardi Saragih
DIANANTA Putra Sumedi, berusia 37 tahun, berprofesi sebagai jurnalis dan seorang penulis. Ia terhitung sejak 4 Mei 2020 lalu di tahan di Direktorat Perawatan Tahanan dan Barang Bukti (Dir Tahti) Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan.
BELAKANGAN, kasus yang menimpa Diananta oleh penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Kalsel telah dilimpahkan berkas perkaranya, bersamaan dengan Diananta sebagai tersangka ke Kejaksaan Negeri Kotabaru. Kotabaru berada di ujung timur laut provinsi Kalsel. Jarak tempuh melalui darat dari Banjarmasin selama 8 jam.
Berkas perkara Diananta oleh polisi telah dinyatakan lengkap atau P-21. Ia pun selanjutnya akan disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Kotabaru.Itu artinya, kasus yang menimpa Diananta memasuki babak baru.
Padahal sebelumnya, sebanyak 48 wartawan di Banjarmasin bersama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Balikpapan serta Forum Intelektual Dayak Nasional telah mengajukan diri sebagai penjamin untuk Dianantaagar ia ditangguhkan untuk ditahan. Surat penangguhan penahanan pun telah dikirimkan pada 8 Mei 2020 lalu. Mereka juga menggalang dana guna membiayai keluarga Diananta.
Namun sayangnya, penangguhan penahanan Diananta ditolak penyidik Ditreskrimsus Polda Kalsel. Menurut Kasubdit V Ditreskrimsus, AKBP Zainal Arifin, permohonan penangguhan penahanan terhadap Diananta tak dapat dikabulkan. Selain itu, Zainal juga mengatakan kasus yang menimpa Diananta telah mengandung unsur SARA. Tidak dipenuhinya penangguhan penahanan, kata Zainal, lebih didasari pada alasan subyektif penyidik.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan Komisaris Besar Polisi Mochammad Rifai menyatakan kebenaran tentang berkas perkara Diananta Putera Sumedi yang dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Kotabaru. Rifai tak menjelaskan secara detail tentang pemindahan perkara tersebut ke Kotabaru.
***
KRONOLOGIS yang menimpa Diananta Putera Sumedi, kelahiran 2 November 1983 ini seperti yang ditulis Majalah Tempo Edisi 2492-9 Mei 2020di kolom Hukum dengan judul “Sebatang Kara Menanggung Pidana”. Tempo pun menelusuri ikhwal kasus ini. Kronologisnya; Diananta yang tengah mewancarai Ketua Majelis Umat Kaharingan Sukirman dan sejumlah tokoh di kantor pengacara Bujino Adrianus Salan di Banjarmasin pada Jumat siang, 8 November 2019.
Bujino sendiri didapuk sebagai pengacara Diananta. Menurut Bujino, Diananta mewancarai satu demi satu peserta pertemuan dikantornya. Kasus yang diangkat adalah soal dugaan penyerobotan lahan adat di tiga desa di Kabupaten Kotabaru ke Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan.
Hasil dari wawancara itu diturunkan Diananta dalam berita berjudul “Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel” yang tayang di media daring Banjarhits.id dan di Kumparan.com, mitra Banjarhits.id dalam program Kumparan 1001 Media Online, pada Jumat malam, pukul 19.00 waktu setempat. Diakhir artikel, mengutip ucapan Sukirman soal potensi konflik antara suku Dayak dan Bugis akibat penyerobotan tersebut.
Dalam perjalanannya, Sukirman dan para tokoh kembali berkumpul dalam acara silaturahmi FIDN.Diananta hadir dalam pertemuan itu untuk meliput.Dalam laporan kronologi yang disampaikan kepada Dewan Pers, Diananta menyebutkan Sukirman tak menyampaikan protes saat pertemuan itu.
Bujino mengatakan, Sukirman malah memberi tanggapan bagus terhadap artikel yang ditulis Diananta. Malah Sukirman membagikan tulisan tersebut ke media sosial, kata Bujino. Usai acara, Diananta menulis artikel baru dengan judul “Dayak se-Kalimantan Akan Duduki Tanah Sengketa di Kotabaru”.
Namun, angin berubah.Sukirman melaporkan artikel berjudul “Tanah Dirampas Jhonlin.Dayak Mengadu Ke Polda Kalsel” ke kepolisian pada pertengahan November 2019.Sukirman menggangap Diananta keliru mengutip ucapannya. Ia khawatir artikel itu akan memicu konflik antarsuku di Kalimantan Selatan.
Keberataan Sukirman atas tulisan tersebut berujung diperiksanya Diananta oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Kalimantan Selatan.Penyidik memeriksa Diananta.Dan, pada 28 April 2020, polisi menetapkan Diananta sebagai tersangka penyebar ujaran kebencian. Ia dituduh melanggar Pasal 45A ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU-ITE) dengan ancaman hingga enam tahun penjara dan denda maksimal Rp 1 miliar.
Sebelumnya, Ketua Komisi Hukum dan Perundangan-undangan Dewan Pers Agung Dharmajaya menyayangkan penahanan Diananta.Iapun Kaget proses ini berlanjut ke penahanan wartawan karena Pernyataan Penilian dan Rekomendasi Dewan Pers tak menyebut sedikit pun soal konsekuensi. “Ini tiba-tiba kok menjadi tersangka,” ujarnya.
Sebelumnya, PT Jhonlin Agro Raya mengadukan Banjarhit dan Kumparan ke Dewan Pers pada 11 November 2019.Mereka meanggap tiga artikel Banjarhits di Kumparan soal sengketa lahan di Kabupaten Kotabaru adalah informasi bohong dan mengandung fitnah.Wartawan Banjarhits juga dianggap tak berupaya meminta konfirmasi kepada PT. Jhonlin.
Selanjutnya, Dewan Pers pun memeriksa para pihak pada 9 Januari 2020. Dewan Pers memutuskan artikel tersebut melanggar kode etik pada 5 Februari 2020.Berita Banjarhits di Kumparan dianggap tidak berimbang dan membuat opini yang menghakimi. Tulisan itu juga disebut mengandung prasangka atas perbedaan suku, agama, rasa dan antargolongan.
Kendati demikian, Dewan Pers tak menimpakan kesalahan itu pada Banjarhits saja.Dewan Pers menyatakan Kumparan adalah penanggungjawab ketiga artikel itu.“Notabene yang bertanggung jawab adalah Kumparan,” kata Agung Dharmajaya.
Kepolisian sendiri menyatakan, salah satu pertimbangan penyidik memidanakan Diananta adalah Banjarhits tidak memiliki badan hukum.Pasal 9 ayat 2 Undang-Undang Pers mewajibkan perusahaan pers mendaftar ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.”Banjarhits bukan perusahaan pers,” kata Mochammad Rifai.
Mochammad Rifai juga mendapatkan informasi penayangan berita Banjarhits tidak melewati proses redaksi di Kumparan. Rifai mengatakan Kumparan tak bertanggung jawab terhadap berita yang dibuat Banjarhits.”Itu tercantum dalam perjanjian antara Banjarhits dan Kumparan,” kata Rifai.
Majalah Tempo juga menelusuri terkait salinan kontrak antara Kumparan dan salah satu mitra mereka.Disana tercantum soal tanggung jawab tersebut dalam dua pasal.Pasal 3 ayat 2 menyebutkan Kumparan tak bertanggungjawab terhadap konten pemberitaan, baik yang ditayangkan di situs mitra maupun Kumparan.Pasal 9 ayat 5 menyebutkan Kumparan terbebas dari somasi, proses hukum, dan ganti rugi yang diterima mitra.
Alhasil, Dewan Pers pun menyoroti isi kontrak tersebut dalam Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi. Mereka merekomendasikan Kumparan mengubah pasal soal tanggung jawab berita di dalam perjanjian kerja sama dengan para mitra, situs berita lokal yang digandeng dalam program Kumparan 1001 Media Online sebagai pengisi kanal di Kumparan.
Hal yang menjadi kusut dalam kasus Diananta: setelah ia dilaporkan ke polisi dan Dewan Pers, Kumparan menghapus berita yang dipersoalkan dari situsnya. Padahal penghapusan berita tak bisa sembarangan – perlu ada penjelasan di halaman yang beritanya dihapus. Kumparan juga memutus kontrak dengan Banjarhits pada Januari lalu. Selain itu Diananta juga tak merekam hasil wawancara yang dilakukan dengan narasumber.
***
SOROTAN TAJAM pun langsung memantik kasus yang menimpa Diananta Putra Sumedi.Human Right Watch(HRW) menyoroti penahanan Diananta.Hukuman pidana untuk dugaan pencemaran nama baik adalah hukuman yang tidak proporsional, berpotensi menghambat kebebasan media, dan sering disalahgunakan oleh polisi. Mereka yang dirugikan oleh publikasi seharusnya mencari ganti rugi melalui hukum perdata.
Andreas Harsono, Peneliti Senior Indonesia di Human Rights Watch mengatakan, pencemaran nama baik dalam hukum perdata adalah tanggapan yang lebih proporsional untuk dugaan ujaran yang bersifat memfitnah. “Mengancam seorang penulis dengan pidana penjara karena pencemaran nama baik memiliki efek mengerikan pada kebebasan berbicara untuk semua jurnalis,” kata Andreas.
Human Rights Watch pada tahun 2010 menerbitkan analisis tentang dampak negatif undang-undang pidana pencemaran nama baik di Indonesia termasuk hukum terkait teknologi informasi dan mendesak pencabutan hukum-hukum itu. Undang-undang tersebut mengandung bahasa yang sangat tidak jelas dan memungkinkan pembalasan terhadap jurnalis dan orang lain yang telah melakukan tuduhan korupsi, penipuan, atau pelanggaran terhadap kepentingan yang berkuasa atau pejabat pemerintah.
“Kepolisian Indonesia dan perusahaan-perusahaan yang dirugikan seharusnya berhenti menggunakan tuduhan pencemaran nama baik untuk mengintimidasi, menahan, atau menuntut para jurnalis dan orang lain yang menggunakan hak atas kebebasan berbicara. Dengan masuknya kasus dugaan pencemaran nama baik terlebih dahulu ke hadapan Dewan Pers, Indonesia menyediakan sarana untuk dengan cepat mengatasi dan memperbaiki ketidakakuratan di media,”ucap Andreas.
Sebelumnya, laman Human Rights Watch, telah merilis tulisan dengan judul“Indonesia: Blogger Held Over Land Dispute Report – Criminal Defamation Has Chilling Effect on Media Freedo”.Prinsipnya, Human Rights Watch menilai pemidanaan dengan dalih pencemaran nama baik dapat menghambat kebebasan bermedia.
Human Rights Watch (HRW) merupakan sebuah organisasi non-pemerintah yang berbasis di Amerika Serikat yang melakukan penelitian dan pembelaan dalam masalah-masalah pelanggaran hak asasi manusia.Kantor pusatnya berada di New York City.
***
KAMIS, 21 MEI 2020 sebuah diskusi virtual yang diinisiasi Anang Fadilah, Jurnalis di kotaBanjarmasin mengangkat tentang kepedulian terhadap kasus yang menimpa Diananta Putra Sumedi. Diskusi digelar melalui platform Zoom mengangkat tema “Urun Rembug: Membangun Solidaritas atas Kriminalisasi dengan Jerat UU ITE, Jurnalis Diananta Putera Sumedi Mantan Pemred Banjarhits di Kalimantan Selatan”. Diskusi dipandu Jupriadi Asmaradhana alias Upi Asmaradhana.
Peserta diskusi di antaranya, Denny Indrayana, Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM era SBY. Wakil Ketua Komisi HAM, Hairansyah. Andreas Harsono,Peneliti Senior Human Rights Watch. Sasmito Madrim,Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Ade Wahyudin, Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers. Ahmad Fathana, dari LBH Pers. Novi Abdi, Ahli Pers Dewan Pers.
Terdapat pula Wahyu Dhiyatmika dari Sekjen AMSI. Kisworo Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel. Ratna Ariyanti dari IFJ. Era dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Hendrayana, Direktur LPDS Jakarta. Diskusi berlangsung selama 3 jam lebih.
Terdapat tiga hal yang menjadi poin penting dalam diskusi. Pertama, kasus yang menimpa Diananta merupakan kasus pers, kebebasan berekspresi dan juga soal ketidakadilan terhadap masyarakat adat.
Kedua, kasus Diananta, diharapkan dapat menjadi momentum gerakan bersama semua elemen masyarakat sipil, mengingat kasus tersebut melibatkan sejumlah aktor-aktor bukan saja dalam skala lokal tetapi di tingkat nasional.
Ketiga, kasus Diananta juga menjadi bagian penting dalam membela kasus-kasus serupa yang banyak terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Peserta diskusi juga bersepakat untuk merekmoendasikan tiga hal penting. Pembentukan tim hukum, tim kampanye non litigasi serta tim logistik. Mereka juga bersepakat membuat grup WhatsApp Tolak Kriminalisasi Jurnalis dengan tagar #BebaskanAnanta.
Grup ini pun menjadi sarana komunikasi dan koordinasi untuk penanganan perkara Diananta.Disepakati juga membuat akun media sosial sebagai bagian dari kampanye.
Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM), Hairansyah, mengatakan ada kerangka besar yang dapat dilihat kasus yang menimpa Diananta. Persoalan konflik agraria merupakan dasar masalah yang terjadi.
“Konflik agrarian ini bisa menjadi awal dari berangkatnya kasus. Dan, inilah yang menjadi pangkal salah satu kasus yang bisa melanda kalangan jurnalis,” kata Hairansyah.
Mantan Direktur Yayasan Dalas Hangit (YADAH) Kalimantan Selatan ini juga meyoroti soal profesionalisme aparat penegak hukum dalam menangani kasus pidana yang menimpa Diananta.
Hairansyah ingin memastikan agar seluruh proses peradilan yang jujur dan bertanggungjawab serta berkeadilan. Ia pun juga ingin memastikan keamanan dan keselamatan Diananta selama proses penahan di Lapas.
Sementara itu, Prof. Denny Indrayana menyebut kasus yang menimpa Diananta bakal menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers dan berpendapat.
Bagi Denny, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU-ITE) bisa menjadi dalih dalam menjerat para pelaku yang bekerja di bidang media serta menyuarakan pandangan serta berpendapat.
Denny berharap, semua kalangan bisa menggaungkan masalah yang melanda Diananta ini lebih kuat lagi.
“Saya kira harus ada yang menggaungkan masalah ini ke tingkat nasional agar lebih dilihat dan didengar serta menjadi sorotan publik,” ucapnya.
Denny pun meminta presiden harus mengetahui kasus yang melanda Diananta ini. “Kalau perlu sampai ke Istana. Kita gunakan instrumen dan saluran komunikasi agar hal ini bisa didengar oleh presiden. Kita ingin presiden mendengar masalah ini,” tutur Denny.
Hal yang sama juga disampaikan Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan, Kisworo. Menurutnya, semua pihak wajib mengawal kasus yang melanda Diananta.
Ia berharap, kejadian ini bisa menyadarkan secara kolektif berbagai kalangan, bahwa kasus Diananta merupakan sebuah pencideraan terhadap kemerdekaan pers dan demokrasi. Ia pun meminta kepolisian segera melepaskan Diananta dari jeratan hukum tanpa syarat.
“Semua pihak yang bertanggungjawab terhadap kebebasan pers sedianya wajib mengawal kasus ini. Setidaknya hal itu tidak menciderai semangat kebebasan pers itu sendiri. Patut diingat, kebebasan pers merupakan jaminan proses demokrasi di Indonesia agar terus bergerak maju,” Kata Kisworo.
Andreas Harsono, dalam kesempatan di diskusi yang sama juga prihatin dengan kondisi keluarga Diananta. Ia mendapat kabar kepindahan penahanan Diananta ke Kotabaru membuat keluarganya tertekan secara psikologis.
“Saya mendapatkan kabar soal tekanan psikologis yang dialami istri Diananta dan keluarga. Istrinya pun menyatakan bahwa ia merahasiakan soal kabar ayahnya yang ditahan,” ucapnya.
Andreas meminta agar disediakan ruang donasi dan logistik guna mengurangi beban yang dialami keluarga Diananta.
Penahanan Diananta Putra Sumedi telah menjadi sorotan media international. The Jakarta Post menurunkan tulisan dengan judul “Human Rights Watch urges police to release journalist charged with defamation in South Kalimantan ”yang dirilis pada Rabu, 20 Mei 2020. Tulisan tersebut memuat soal keprihatinan Human Rights Watch atas kemunduran proses berdemokrasi di bidang kebebasan pers dan berpendapat.
Kini, sorotan publik terhadap penahanan Diananta oleh kepolisian semakin masif. Dukungan moral serta berbagai upaya hukum pun dilakukan oleh berbagai pihak.
Untuk memusatkan perhatian terhadap pembelaan kepada Diananta dibentuklah “Koalisi untuk Masyarakat Adat dan Kebebasan Pers”. Dari risalah rapat forum telah dihasilkan sedikitnya 21 pengacara telah bersedia menjadi anggota tim Hukum Koalisi untuk Masyarakat Adat dan Kebebasan Pers untuk kasus Diananta.
Saya mengenal baik dengan Diananta. Kami kerap diskusi. Dan, saya pun ingin mengatakan, kasus yang mendera sahabat kita ini merupakan sekelumit kasus yang bisa jadi bakal melanda kalangan jurnalis dan penulis lainnya.
Patut diingat, institusi Polri di negeri ini terkesan menjadi paling mengancam kebebasan pers. Tak sekali dua sengketa pers ditarik paksa menjadi persoalan pidana. Bila kasus Diananta ini tak dikawal dengan baik, maka akan semakin terperosoknya kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia.(jejakrekam)
Penulis adalah Mantan Wartawan/Penulis Lepas dan Alumni FISIP Unlam
Tinggal di Banjarmasin
(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)
Sumber/foto dokumntasi : jejakrekam