SETIAP kali banjir datang, ada cerita seru yang menyertainya. Cerita-cerita akan mulai berkurang bersamaan dengan surutnya air. Selalu begitu.
Lalu untuk mengobati warga yang rumahnya kebanjiran, datang lah bantuan. Dari berbagai pihak. Termasuk tokoh publik yang pada banjir-banjir sebelumnya tak pernah terlihat, namun di musim Pilkada serentak 2020 ini beramai-ramai menggulurkan bantuan. Syukurlah. Terpenting warganya dulu dibantu. Masalah banjirnya, nanti saja dulu dibicarakan. Bila perlu “banjirnya dipelihara”. Supaya nanti Pileg atau pemilihan lgislatif dan pemilihan kepala daerah (pilkada) bisa “dikonsumsi lagi” dengan menebar simpati yang dikemas melalui nasi bungkus, obat gatal, indomie dan lainnya.
Di media sosial, khususnya facebook, juga ramai orang berkomentar. Dengan latar belakang profesi. Dari yang pengangguran sampai yang berkhayal jadi walikota. Isi komentar warga, tentu saja tak kalah dengan solusi bakal calon kepala daerah.
Tapi saya tak ingin menceritakan tentang calon kepala daerah yang rumahnya kebanjiran. Nanti malah ada netizen yang cerdas ikut berkomentar; rumah dan lingkungan perumahannya saja kebanjiran selama bertahun-tahun, tak bisa berbuat apa-apa gimana mau memberikan solusi untuk mengendalikan banjir di beberapa wilayah di Samarinda. Saat menjadi pejabat tak mampu memberikan solusi agar tidak banjir.
‘’Solusinya disimpan bertahun-tahun,’’ sindir seorang sahabat wartawan, yang tinggal satu perumahan dengan mantan pejabat tinggi Kaltim yang tahan bertahun-tahun rumahnya kebanjiran itu.
Maksudnya, saya tak ingin mnceritakan panjang lebar. Hehehe. Cukup itu saja.
Saya juga punya cerita.
Suatu hari di awal periode ke dua Walikota Samarinda H Achmad Amins, tahun 2005, Pemkot Samarinda mengadakan seminar atau loka karya tentang pengendalian banjir.
Berbagai tokoh yang terkait dengan bidang pengetahuannya di undang. Sebenarnya di tahun 2005 an sudah banyak juga warga yang merasa pintar, sok tahu mengatasi banjir, namun tidak hadir.
Tapi melihat beberapa latar belakangnya yang beragam jauh terkait dengan penanganan banjir. Apalagi yang disampaikannya itu bukan sesuatu yang baru, menurut saya biar saja tak perlu hadir.
+ : Bukankah ada juga anggota dewan, yang menjadi wakil mereka?
– : Tapi anggota anggota dewannya tidak aspirasi?
+ : Tidak aspirasi bagaimana? Kan sudah reses. Sudah bertemu warga. Sudah menyerap aspirasi
– : Iya. Resesnya begitu-begitu saja. Aspirasi kita tidak ditindaklanjuti. Lebih ke seperti mencari proyek saja.
+ : Lho siapa juga yang memilih? Bahkan berkali-kali lagi. Seperti keledai yang terperosok berkali-kali pada lubang yang sama?
Saat lokakarya.Dari pagi sampai sore. Masalah banjir, begitu serius di bahas. Secara teknis. Bukan orang sembarangan. Bukan kaleng-kaleng. Ada aktifis lingkungan. Ada pejabat negara, yang siap menganggarkan, ada anggota perwakilan masyarakat yang berpengalaman dan berpengetahuan luas.
Tapi melalui koran saya tulis, saat itu, tidak berguna. Sekalipun berhari-hari dilakukan seminar atau lokakarya. Karena setelah keluar lokakarya, seperti hilang ingatan. Tak tahu apa yang dilakukan. Dan air masih saja parkir sembarangan. Retarding basin atau parkir air bila terjadi kelebihan debit air semakin berkurang. Tidak becus! Dan lain sebagainya. Intinya; menyalahkan pemerintah kota.
‘’Jangan asal pender nyawa! (jangan asal bicara kamu)’’ ujar Achmad Amins kepada saya saat bertemu dalam ruangannya. Sidin sambil baca koran.
Saya sudah mengenal sidin atau beliau (H Achmad Amins) sejak lama. Sejak masih kepala dinas pasar kota Samarinda. Makin kenal saat sidin menjadi wakil Walikota Kota Samarinda. Sidin Wakil Walikota yang pertama di Kaltim saat ada undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah diterapkan.
Sidin biasa saya panggil “bos”, ketika itu. Beberapa kali saya wawancara berbagai permasalahan kota Samarinda. Tak hanya banjir. Tentang relokasi warga bantara Sungai Karang Mumus, tempat-tempat hiburan (yang berbau maksiat), tentang APBD seperti apa saja yang diprioritasnya, kenapa begitu, apa alasannya, soal macet dan banyak lagi.
Hampir setiap hari saya bertemu dan wawancara dengan sidin. Saat menjabat Wakil Walikota, ruangan sidin waktu itu masih numpang di ruangan Bagian Keuangan. Di lantai dasar Balaikota, di samping WC. (Water Closet atau tempat khusus untuk buang air besar atau air kecil).
“Kenapa terungut (melamun) bosku?” begitu biasa saya menyapa setelah membuka pintu ruangan sidin. Sapaan saya ini kala itu “terasa wajar”, karena sebagai wakil walikota saat itu, sidin seperti kedada gawian (tidak ada kerjaan). Atau lebih tepatnya “tidak diberi pekerjaan yang besar-besar.
‘’Jadi apa menurut nyawa untuk mengatasi banjir di Samarinda ini?’’ suara Achmad Amins.
Apa yang ditulis bubuhan netizen wayah (sekarang) ini sepertinya sudah saya sampaikan semua kala itu, sekitar 14 tahun yang lalu. Seperti meolah banyak terowongan air yang besar di bawah jalan. Bila anda belum paham, saya kasih bayangannya ; tak hanya orang, mobil pun bisa lewat, bila tidak banjir. Saya contohkan seperti di luar negeri. Terus, membuat banyak saluran pembuangan air (bukan untuk resapan) di wilayah-wilayah banjir. Pipa-pipa besar saluran air itu pembuangannya langsung mengarah ke hilir Sungai Mahakam. Bila belum paham juga, saya kasih bayangan lagi, seperti pembuangan air di kamar mandi, yang ada tutup kecilnya itu. Nah, buat seperti itu di jalan-jalan di daerah yang terendam banjir.
Apalagi? Soal pengerukan Sungai Karang Mumus.
Perlu kalian tahu, DAS (daerah Aliran Sungai) di kota Samarinda ini bukan hanya Sungai Karang Mumus (SKM) saja. Ada banyak. Ada sekitar 27 anak sungai di dalam kota Samarinda. Mengenai anak sungai mana saja yang “sudah dikubur mati” (ditimbun tanah) dan di atasnya jadi pemukiman warga, silahkan anda cari sendiri). Daftar sungainya bisa kalian baca di sini : https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_sungai_di_Samarinda
Khusus soal pengerukan SKM ini, bisa saya tulis agak panjang sedikit di sini. Pernah didebatkan, pengerukannya mulai dari hulu atau dari hilir? Dari hilir ini maksudnya di sekitar muara sungai dekat Jembatan Satu menuju sungai Mahakam. Silahkan pikir, jika anda menyebutkan pengerukan di mulai di tengah seperti di sekitar dekat Pasar Segiri atau gang Nibung atau di sekitar sungai jembatan S Parman hingga di sekitar dekat jembatan menuju Unmul?
Pernahkah diukur berapa kedalaman sungai SKM di bagian hulu hingga ke hilir? Bila asal keruk terus menerus dan atau asal buang lumpurnya, sehingga semakin menjadi lebih semakin dalam di bandingkan di wilayah badan sungai setelahnya dari wilayah badan sungai sekitar Jembatan Baru terus hingga jembatan dua dan jembatan, apa bisa air akan cepat mengalir menuju ke Sungai Mahakam? Terus apa pengerukan hanya di beberapa tempat di badan SKM saja, sementara badan Sungai Mahakam, yang arah ke hilir (menuju laut, mulai wilayah Selili hingga ke Pulau Atas dan seterusnya tidak dikeruk)? Akan nampak lucu bila ada action pengerukan di sekitar badan Sungai Mahakam antara sekitar KantorGubernur hingga sekitar badan Sungai Mahakam dekat Jembatan Mahakam?
Lalu soal karena ada tambang batu bara yang disebut-sebut jadi penyebab banjir, juga pernah jadi bahan diskusi atau wawancara dengan sidin; tapi di Jakarta atau di beberapa daerah di Jawa tidak ada tambang batu baranya kenapa banjir jua? Tambang batu bara itu untuk menghidupkan perekonomian masyarakat, banyak membuat “folder” hahaha dan lain sebagainya, akan banyak bila dituliskan semua di sini.
Cukup banyak yang saya sampaikan. Karena sebagai wartawan banyak ketemu orang dan banyak pemikiran yang saya serap, dan saya sampaikan ke beliau.
Tapi, sama dengan (hasil) seminar atau lokakarya itu, diskusi atau wawancara saya sekitar 16 tahun lalu (atau bila boleh saya tambahi loncat ke tahun 2020 ini, dari komentar banyak netizen di media sosial) hasilnya adalah …. tak akan berubah. Siapapun walikota dan wakil walikotanya. Bila tidak percaya, boleh menunggu sekitar 16 atau 20 tahun lagi dari sekarang.
Bila kalian masih berpikir dengan apa yang saya dan juga achmad amins pikirkan dulu, sekitar 20 tahun yang lalu maka maaf, sama saja pemikiran anda telah ketinggalan sekitar 20 tahun yang lalu. Saya boleh ketawa : Hahaha
Dari banyak “pertengkaran” (wawancara dan diskusi) saya dengan H Achmad Amins,dan bukan hanya persoalan banjir. Tapi persoalan kota lainnya, termasuk pertambahan penduduk yang begitu pesat, sekitar 16 yang lalu atau tahun-tahun sebelumnya lagi, sekitar 20 tahun yang lalu saat sidin mulai menjabat di periode pertama sebagai walikota Samarinda (tahun 2000) maka solusi apa yang mungkin bisa dilakukan?
“Kota baru. Samarinda Baru” itu lah kesamaan pendapat kami. Saya tak ingin mengaku-ngaku k sidin yang lebih dulu menyarankan perlu adanya “Samarinda Baru”. Karena inspirasi dari saya, tidak. Saya menyarankan “Samarinda Baru” melalui tabloid Humas Pemkot Samarinda “ Habar Samarinda”, yang kemudian saya ubah menjadi “Samarinda Baru” Lalu kemudian H Achmad Amins menamakan bandara di Sungai Siring menjadi Bandara Samarinda Baru (BSB)..
Kenapa Samarinda Baru? Karena “Samarinda Lama” ibarat kapal sudah sarat penumpang dan “barang-barangnya”, mall, perkantoran, banyak pertokoan, hotel-hotel, kendaraan dan mobil-mobil (orang kaya baru) tidak selanjut pembangunan jalan yang dibangun dan lain sebagainya. Tentu saja akan banyak memakan anggaran bila membenahi berbagai persoalan. Saya ibaratkan sederhana, Samarinda lama sekarang ini, seperti mobil yang mmerlukan banyak perawatan.
Di mana lokasi“Samarinda baru” ? Sebenarnya ada dua pilihan. (ini hasil bekesahan dengan almarhum Achmad Amins), yaitu ke arah makin ke hilir Samarinda, lokasinya di sekitar BSB dekat Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur. Satunya di sekitar Loa Kulu, dekat Kutai Kartanegara. Selain itu, ada dua kabupaten lainnya yaitu Kutai Barat dan Mahakam Ulu. Walaupun tidak dekat. Di Loa Kulu ini juga sempat atau pernah ada “kesepakatan” antara Walikota H Achmad Amins dengan Bupati Kukar H Syaukani HR. Kesepakatan untuk membangun Bandara di Loa Kulu. Kesepakatan dua sahabat lama ini selanjutnya batal. Mungkin ada pihak yang berkepentingan. Mungkin. Dan mungkin ada netizen yang banyak berkomentar, sementara yang berkepentingannya sendiri tidak berkomentar sama sekali.
“Nyawa ini, pintar mengucik-ngucik (mengorek-ngorek) aja!” ujar H Achmad Amins di lain hari. Bila saya terus mengejar pertanyaan hingga detail.
Mengenai lokakarya dan seminar yang “itu” tadi. Saya tidak ingin mengucik-ngucik lagi, maka semua pemikirannya saya himpun dalam sebuah buku. Berjudul : MELAWAN BANJIR, upaya Pemerintah kota Samarinda Mencegah banjir di “Kota Air”. Kata Pengantarnya Walikota Samarinda H Achmad Amins. Tapi saya menuliskan Kata pendahuluannya.
Buku sederhana yang bermlah 158 halaman, yang diterbitkan di tahun 2005. Di tahun ketika Achmad Amins ingin mencalonkan diri kembali sebagai Walikota Samarinda untuk periode k 2.
Sesuai dengan kesepakatan, keinginan saya yang didukung sidin, buku itu kemudian dibagikan kepada masing-masing anggota DPRD Kota Samarinda. Selain semua anggota DPRD Samarinda, saya juga membagikan buku tersebut ke seluruh anggota DPRD Kaltim. Semula dipesani dibagi ke anggota DPRD Dapil Samarinda. Tapi saya membagi untuk semua. Paling tidak bisa menambah pengetahuan. Atau motivasi untuk belajar. Atau paling tidak bisa dijadikan koleksi. Asal jangan dipakai mengganjal kaki meja atau kursi anggota dewan bila kurang tinggi. Jangan serius, yang terakhir bercanda.
Di akhir-akhir jabatan Achmad Amins, di tahun 2010 buku itu kembali saya bagikan kepada seluruh anggota DPRD Samarinda, mlalui Sekretaris DPRD Kota Samarinda Hermanto. Saya juga membagikan ke seluruh anggota DPRD Kaltim. Selain itu juga saya bagikan kepada seluruh lurah dan camat se Kota Samarinda.
Makna, atau sebutlah harapan, keinginan (sya tak ingin mnyebutnya tuntutan, terlalu kasar) dari pemberian buku tentang banjir secara gratis itu tentu sudah bisa dipahami dan dimngerti dengan dengan baik. Buku sederhana memang. Bila pun tidak ada waktu untuk membaca, namun semoga bisa menjadi dorongan atau motivasi untuk berbuat dan berupaya mengendalikan banjir di Samarinda.
:Soal judul : Melawan Banjir. Tak perlu diperdebatkan panjang lebar. Seperti saat ini ada : Lawan Corona, dan lawan lain-lainnya. Itu bisa saja dimaknai ayo atau mari bersama-sama kita melawan. Jangan menyerah. Saya sudah menunjukkan kepedulian. Membuat dan membagikan buku. Cara lain, untuk mengendalikan banjir. Biar lah untuk membagikan nasi bungkus, obat gatal, mie instan
Begitulah. Atau demikian lah. Kenapa saya memberi judul : Banjir, Saya yang salah.
Saya di sini warga, yang punya hak kuasa penuh (hak suara) untuk memilih wakil rakyat dan kepala daerah. Bagi saya, sangat sulit menyalahkan apa yang sudah saya pilih. Maka akan lebh bijak kalau kita katakan; saya yang salah.
Syukur-syukur, bila yang telah saya pilih itu bisa memperbaiki diri, dan ikutan bilang ; sebenarnya, saya yang salah.
Bila kita telah sama-sama mengakui :”Saya yang salah”, maka mulai lah secara serius, fokus melakukan langkah-langkah perbaikan. Bagaimana caranya? Cara saya, sebagai warga tidak buang sampah sembarangan, membersihkan sampah bila ada yang masih membuang sembarangan ke parit-parit, yang dapat menyumbat dan memperlambat aliran air. Itu yang hanya bisa saya lakukan.
Untuk para pengambil kebijakan, para penyusun anggaran, silahkan kalian berpikir mencari solusi terbaik (bukan mencari proyek untuk keuntungan pribadi dan kelompok) dan serius berupaya mengurangi banjir yang terjadi di Samarinda.
Silahkan undang ahli-ahli di bidangnya di Indonesia atau bila perlu dari luar negeri, sebagai masukan ilmu sebagai langkah-langkah tepat dalam menanggulangi banjir di Samarinda. Cermati, ada kata “serius”, salah satu contoh pemahamannya begini : banjirnya di sini, tapi kok bangun paritnya jauh i di sana, di wilayah yang masih banyak resapan airnya? Mungkin bisa dimengerti.
Akhirnya, ke depan keseriusan bersama kita ini, akan terlihat dengan semakin berkurangnya wilayah-wilayah banjir di kota Samarinda. Moga-moga banjirnya berkurang (terus berkurang setiap tahun), banjirnya tidak lama, hanya beberapa jam (di bawah dua jam, konon kabarnya di bawah dua jam tidak disebut banjir kata orang bidang pengendalian banjir Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Samarinda (PUPR). Ini belum diklarifikasi atau dikonfirmasi).
Atau bila terus gagal juga. Beberapa kali ganti walikota, 20 tahun, 50 tahun atau 100 tahun lagi, mungkin perlu pelaksanaan pembangunan “Samarinda Baru”. Tidak perlu dipikirkan lagi. Nanti pemikiran anda, para pengambil kebijakan jauh tertinggal lagi dari hasil diskusi saya dengan H Achmad Amins, sekitar 20 tahun yang lalu bila dihitung mundur dari sekarang
Ini cerita saya. Mana cerita anda? Silahkan buat tulisannya.
- Akhmad Zailani adalah warga kota Samarinda tinggal di Jalan Sentosa, dulu sekitar dekat rumahnya sering banjir bila turun hujan lebat berapa jam, sekarang tidak lagi.