Capres 2019 Dan Kuda Hitam: Catatan Atas Survei Indo Barometer

OLEH: SYAHGANDA NAINGGOLAN
Capres 2019 Dan Kuda Hitam: Catatan Atas Survei Indo Barometer

Ilustrasi/Net

KEMARIN, 15 Februari, saya menerima postingan berisi 136 halaman slide hasil survei Indo Barometer (IB) dan ringkasannya 5 halaman. Media mengangkat dalam berbagai sudut pandang. Ada yang memberi judul, jika Prabowo tidak mencalonkan diri, maka Anies akan menjadi kuda hitam.
 

Ada pula yang memberi judul lainnya yang tetap membandingkan elektabilitas Jokowi vs Prabowo yang tetap jauh jaraknya, meski mengecil dibanding survei November 2017, serta berita Ahok, penista agama yang sedang dipenjara, dan yang bulan Januari lalu terungkap gagal dalam membina rumahtangga, menempati urutan capres ketiga terpilih.

Survei IB ini berjudul “Dinamika Pilpres 2019: Tiga Skenario Pilpres 2019: Siapa Kuda Hitam”

Meskipun IB gagal dalam survei-survei nya yang menjagokan Ahok di pilkada lalu di Jakarta, maupun menjagokan Rano Karno di Banten, tetap saja hasil survei-surveinya perlu dicermati, karena survei seperti ini menciptakan propaganda politik yang mempengaruhi opini publik.

Skenario ini, sebagaimana judul survei, mengetenghakan skenario A, di mana Jokowi dipertarungkan dengan Prabowo, face to face, hanya ada dua capres. Basis rasionalnya adalah perang wacana dan koalisi pilkada saat ini.

Lalu, skenario B, Jokowi dipertarungkan dengan capres selain Prabowo. Diasumsikan Prabowo tidak nyapres. Basisnya adalah “zig zag”. Lawan menjadi kawan. Jokowi akan mengambil Prabowo sebagai cawapres. Kandidat hanya ada dua pasang.

Skenario ke selanjutnya, ada tiga pasang calon dengan capres Jokowi, Prabowo dan Mr. Y. Basis rasional skenario ini adalah adanya tiga king maker yang tidak puas hanya dua calon. King maker itu adalah SBY, JK dan Mega.

Beberapa temuan yang aneh dan perlu kita cermati adalah:

1. Budi Gunawan, kepala lembaga rahasia alias intelijen negara lebih dikenal/populer dari pada ketua MPR, Zulkifli Hasan, ketua PKB Muhaimin Iskandar, ketua partai Hanura dan ketua DPD Osman Sapta Odang, mantan Panglima TNI Moeldoko, ketua DPR RI Bambang Soesatyo dan Ketua Umum Golkar/Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto. Apakah ini dapat diterima akal sehat?

2. Tingkat kesukaan terhadap Capres Gatot Nurmantyo (GN) dibanding Anies adalah 70,2:54,9. Namun, ketika skenario pasangan dua capres, antara Jokowi vs capres non Prabowo, elaktibikitas Anies jauh di atas GN (12,1% vs 7,8%). Apakah ini logik? Bagaimana menjelaskan arti suka pada “voting behaviour”?

3. Nama cawapres yang lebih disukai publik antara Ridwan Kamil, eks walikota Bandung vs Anies Baswedan, berbeda jauh, yakni 73,5% vs 54,9%. Tapi ketika disurvei, nama Anies paling tinggi untuk cawapres, baik pertanyaan terbuka maupun tertutup, dibanding lainnya. Istilah lebih disukai disini tidak jelas maknanya jika dikaitkan dengan alasan memilih atau faktor memilih lainnya: kecocokan, tegas, dekat dengan rakyat, pintar, dan orangnya baik.

4. Jokowi diinginkan 57,8% responden untuk jadi presiden kedua kalinya. Tapi dalam elaktabilitas Jokowi vs Prabowo, angkanya Jokowi hanya 48,8%. Juga Jokowi vs Anies, elektabilitas Jokowi tetap tidak mencapai 50%. Bagaimana arti menginginkan kembali tersebut?

5. Dalam simulasi pada skenario A, dari 11 pasangan wakil yang dipasangkan dengan Jokowi, membuat tingkat total elektabikitas capres/cawapres ini lebih kecil dari elektabikitas Jokowi sendirian. Misalnya, Jokowi-Puan Maharani elektabilitas cuma 34%. Demikian juga ketika cawapres dipasangkan dengan Prabowo, hampir semua lebih kecil. Kenapa demikian? Apakah mungkin semua cawapres ini beban bagi capres?

6. Munculnya nama Ahok di atas Anies Baswedan sebagai capres dalam pertanyaan “top of mind” responden sangat terasa ganjil. Padahal Ahok dikalahkan dengan beda telak oleh Anies dalam pilkada, dan saat bersamaan Ahok terhina di penjara serta mencuat kasus skandal rumahtangga saat periode survei dilakukan.

Kegagalan Konsep

Beberapa temuan aneh di atas dapat dilihat dari lemahnya konsep tiga skenario Pilpres 2019. Kelemahan konsep 1) pertarungan 2019 mengasumsikan adanya situasi politik yang biasa2 saja. Di mana elit-elit politik bertarung hanya untuk jabatan. Asumsi ini memunculkan adanya skenario B, di mana pasangan Jokowi-Prabowo berhadapan dengan kandidat lainnya. Skenario ini telah merusak persepsi publik tentang value yang sedang ditawarkan elit, khususnya antara kelompok oposisi yang dipimpin Prabowo vs pemerintah Jokowi.

Begitu juga asal pasang cawapres pada capres Jokowi vs Prabowo pada skenario A, menihilkan adanya persepsi publik tentang pengelompkan elit berdasarkan nilai nilai yang mereka perjuangkan. Seperti penempatan Gatot Nurmantyo dan Anies, yang diasumsikan berseberangan dengan Jokowi, tentu jika dipasangkan dengan Jokowi akan merusak pola atau cara menilai responden atas apa yang ditanyakan. Mix feeling untuk menjawab pertanyaan  terjadi pada responden ketika utak atik seperti ini dilakukan seenaknya.

Adanya kemungkinan tiga pasang kandidat capres/cawapres tentu bisa terjadi. Tapi perlu penjelasan ideologis selain pragmatis saja. Pada penjelasan ideologis, jika Mengawati menarik diri dari Jokowi, misalnya, sehingga memunculkan capres ketiga, maka harus dirujuk adanya kontrak politik ideologis antara Megawati dengan Jokowi yang gagal selama ini.

Merujuk pada wacana, di mana Megawati Institute merilis Desember 2017, kegagalan  Rezim Jokowi dalam hal kemiskinan, ketimpangan sosial, dan semakin berkuasanya Oligarki, dapat dimaknai adanya pertanyaan tentang Nawacita dan Trisakti. Dalam hal   realitas kontemporer, Megawati sudah berseberangan dengan Jokowi pada Pilkada Jatim dan Jabar. Jadi bukan (hanya) antara Jokowi vs Prabowo. Sebagaimana rasional skenario A.

Dalam sebuah riset, konsep adalah tulang punggung. Kegagalan konsep akan menular menjadi kegagalan menurunkan konsep menjadi variabel dan indikator penelitian yang ingin ditemukan.

Tantangan Konsultan Survei

Indonesia saat ini dihadapi dengan sutuasi genting. Politik identitas dan struktural berlangsung dengan kekerasan, yang terus berlangsung sejak pilkada dki, pilkada saat ini dan kemungkinan akan pecah lebih dahsyat pada pilpres 2019.

Pembunuhan para kyai, penyerangan tempat Ibadah beberapa agama, penangkapan penangkapan kandidat kandidat cagub/cabup saat berlangsung pilkada dll. sedang terjadi.

Penggunaan kekuasaan untuk mempengaruhi struktur politik dan kekuasaan lokal juga massif terjadi.

Sementara semua survei menunjukkan elektabikitas presiden incumbent tidak melebihi 50%. Partai pendukung Jokowi 2014, PDIP belum menunjukkan akan mendukung Jokowi kembali. Partai Golkar yang saat ini mendukung Jokowi adalah partai yang bisa membatalkan dukungannya setiap saat dan bahkan belum pernah sukses menang mendukung capres dalam pilpres. Ini artinya tingkat kepastian Jokowi rentan dibanding SBY saat menjelang 2009.

Situasi ini ditandai pula dengan adanya regenerasi politik secara massif, karena faktor usia dari tokoh-tokoh elit yang ada.

Untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa ke depan, peranan lembaga survei sebagai alat propaganda pemenangan seorang kandidat, sudah saatnya diperbaiki.

Hal ini hanya bisa terjadi jika survei survei dilakukan dengan meminimalisir   bias citra, melainkan lebih mengutamakan fakta. Sehingga masyarakat tidak a priori dan terus terbelah.

Kita saat ini bukan sedang menanti kuda hitam, melainkan menanti pemimpin yang benar.[***]
*Penulis adalah Direktur Sabang-Merauke Circle (SMC).