Apabila engkau seorang sultan, kemarilah dan pimpin pasukanmu. Namun, apabila engkau mengakui aku sebagai sultan, maka aku memerintahkanmu sekarang juga untuk datang dan memimpin pasukanku
SUARAKALTIM.com- Kalimat tersebut ditulis oleh Sultan Muhammad II dalam surat yang ditujukan kepada ayahnya. Ketika itu Sultan masih berusia 12 tahun, dan dia harus mendapati dirinya terdesak dalam sebuah peperangan melawan pasukan salib di Varna-Bulgaria.
Sementara ayahnya, Murad II telah memutuskan untuk mengasingkan diri dari berbagai urusan duniawi, hanya menyibukkan dirinya ber-taqarrub kepada Allah SWT. Murad II selalu menolak setiap anaknya meminta bantuan, namun kali ini dia tak dapat mengelak, kalimat di atas tak mempunyai jalan keluar selain kembali turun gunung membantu anaknya memenangkan peperangan.
Itulah salah satu potret kecerdasan Muhammad II yang juga dikenal sebagai Muhammad Al Fatih. Melihat perjalanan sejarah Khilafah Ustmaniyah, rasanya tidak berlebihan menyebut beliau sebagai titik tolak kemajuan Khilafah Ustmaniyah. Beliau telah membawa Khilafah Ustmaniyah dari fase “begitu-begitu saja” menuju fase perkembangan dan kemajuan yang bisa jadi tak pernah diimpikan oleh seorang Ertugrul Gazi pendiri khilafah tersebut.
Salah satu titik tolak tersebut adalah penaklukan Konstantinopel. Konstantinopel bukanlah wilayah biasa-biasa saja, yang sekedar menambah luas wilayah kekuasaan ketika ditaklukan. Banyak hal yang membuat penaklukan Konstantinopel terasa istimewa.
Pada masa tersebut, konstantinopel dianggap sebagai kota terbesar, terkaya, dan terindah. Semua dikarenakan posisi strategisnya yang berada di jalur utama perdagangan antara laut Aegean dan laut Hitam. Posisi yang strategis serta keindahan yang dimiliki oleh Konstantinopel digambarkan oleh Napoleon Bonaparte dalam sebuah kalimat yang agak berlebihan, “kalaulah dunia ini sebuah negara maka Konstantinopel lah yang paling layak menjadi ibu kota negara.”
Selain itu, dalam tatanan dunia lama ketika hegemoni kekuasaan masih menjadi milik kekaisaran serta kerajaan, menguasai Konstantinopel yang notabene ibu kota kekaisaran Byzantium bisa berarti mempertegas hegemoni kekuasaan khilafah Ustmaniyah di mata dunia. Penaklukan Byzantium akan membuat kekaisaran manapun berpikir berulang kali jika ingin berkonfrontasi dengan khilafah Ustmaniyah.
Namun, di luar semua itu. Sebagai seorang muslim, yang setidaknya mengucap syahadat tujuh belas kali sehari. Persaksian bahwa “tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad SAW adalah utusan Allah” telah membawa Muhammad Al Fatih kepada kepercayaan yang penuh terhadap firman Allah SWT maupun perkataan Rasulullah SAW yang terabadikan dalam hadits-haditsnya.
Maka ketika Al Fatih mendengar hadits yang berbunyi “Kalian pasti akan membebaskan Konstantinopel, sehebat-hebat pemimpin adalah pemimpinnya, dan sekuat-kuat pasukan adalah pasukannya”, dia menganggapnya sebagai sebentuk bisyarah yang menginspirasi serta memotivasi dirinya.
Maka dari itu, Al Fatih pun menyadari bahwa untuk memperoleh kemenangan istimewa diperlukan persiapan yang istimewa juga. Al Fatih menyadari bahwa “sehebat-hebat pemimpin” serta “sekuat-kuat pasukan” bukanlah hal yang mudah untuk diwujudkan.
Dengan anugerah kecerdasan yang dimiliki, pemahaman agama yang baik, serta takdirnya sebagai seorang pemimpin sebuah kekhilafahan Islam, membuat Muhammad Al Fatih merasa wajib untuk meneruskan apa yang pernah diupayakan oleh para salafus sholih dalam merealisasikan bisyarah tersebut.
Dimulai dari shahabat Abu Ayyub Al Anshari RA, kemudian khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dari kekhalifahan Umayyah, khalifah Harun Ar Rasyid dari kekhalifahan Abbasiyah, Sultan Bayazid I serta Sultan Murad II dari kekhalifahan Ustmaniyah telah melakukan ikhtiar yang maksimal untuk menaklukkan konstantinopel, meskipun Allah belum mengizinkan kemenangan untuk mereka.
Maka dari itu, Al Fatih pun menyadari bahwa untuk memperoleh kemenangan istimewa diperlukan persiapan yang istimewa juga. Al Fatih menyadari bahwa “sehebat-hebat pemimpin” serta “sekuat-kuat pasukan” bukanlah hal yang mudah untuk diwujudkan.
Maka dimulailah pembentukan Janissaries, sekelompok pasukan elit yang dididik sejak dini dan khusus dipersiapkan untuk penaklukan konstantinopel. Pasukan ini tak hanya digembleng pada aspek fisik dan taktik namun juga mendapatkan pendidikan agama yang mumpuni. Pada akhirnya, terkumpullah 40.000 pasukan elit yang senantiasa mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya, dan yang terpenting mereka memahami mengapa harus menaklukkan Konstantinopel.
Selanjutnya, Sultan Muhammad Al Fatih membangun sebuah benteng di pinggir selat Bosphorus. Benteng tersebut dikenal dengan nama Rumli Haisar, tingginya 82 meter dan dilengkapi 7 menara citadel. Dengan pembangunan benteng tersebut, urat nadi Konstantinopel menjadi terputus, karena selat Bosphorus sebagai jalur utama transportasi dan perdagangan ke Konstantinopel menjadi di bawah kendali Al Fatih.
Namun masalah utamanya adalah benteng Theodosius, benteng ini memiliki tinggi 30 meter dan ketebalan 30 meter pula. Seribu tahun lebih benteng tersebut kokoh berdiri dan belum terkalahkan. Dan selama benteng tersebut belum mampu ditembus maka selama itu pula kekaisaran Byzantium berkuasa.
Kehebatan dan kekuatan benteng Theodosius ternyata melenakan penguasa Byzantium. Ketika Orban seorang ahli senjata asal Hungaria menawarkan model senjata baru temuannya kepada mereka. Mereka malah menyatakan tak berminat dan merasa puas dengan kekuatan benteng Theodosius.
Situasi ini dimanfaatkan dengan baik oleh Al Fatih, dia pun segera membeli teknologi Orban. Akhirnya pada tahun 1452, Orban berhasil menyelesaikan sebuah senjata terbesar di masa itu. Sebuah meriam raksasa dengan panjang 8,2 meter, diameter 760 centimeter, mampu melontarkan bola besi seberat 680 kg sejauh 1,6 kilometer. Meriam ini dikenal dengan nama “The Muhammed’s Greats Gun”.
Setelah semua persiapan selesai, barulah dimulai penyerangan terhadap Konstantinopel. Total 250.000 pasukan menuju Konstantinopel, sebagian menyerang melalui darat, sebagian menumpangi 400 kapal perang untuk menyerang melalui laut.
Banyak kejadian-kejadian menarik yang terjadi selama penyerangan ini. Dimulai dari meriam buatan Orban yang ternyata benar-benar mampu membuat kerusakan yang signifikan terhadap benteng, namun ternyata hanya bisa ditembakkan tiga jam sekali. Yang tentunya memberi banyak waktu kepada prajurit Konstantin untuk memperbaiki kerusakan.
Lalu 400 kapal perang yang tidak mampu berbuat banyak karena Teluk Tanduk Emas yang merupakan bagian terlemah Konstantinopel ternyata dilindungi oleh rantai raksasa yang tak mampu dihancurkan oleh pasukan laut Al Fatih.
Situasi ini sempat menyisipkan rasa frustasi di barisan tentara Al Fatih. Namun Al Fatih tak kehilangan akal, dia segera menyadari bahwa kehebatan meriam Orban bukanlah penentu kemenangan perang ini. Penentu kemenangan adalah Teluk Tanduk Emas yang dilindungi rantai raksasa, maka harus dipikirkan cara yang tepat untuk menaklukkan rantai tersebut.
Singkat cerita, Al Fatih mengadakan rapat tertutup dengan para panglimanya. Rapat tersebut menghasilkan sebuah keputusan yang cukup fenomenal, yaitu kapal-kapal perang diangkat melalui bukit untuk melewati rantai raksasa. Pasukan Byzantium tentu tak menduganya, mereka seakan tak percaya bahwa ada manusia setelah Nuh AS yang nekad mempertemukan bukit dengan kapal.
Akhirnya, pada tanggal 29 Mei 1453 setelah pengepungan selama 54 hari Konstantinopel berhasil ditaklukkan. Bendera hitam putih bertuliskan kalimat tauhid berkibar di atas benteng dan Sultan Muhammad Al Fatih menginjakkan kaki di gerbang masuk Konstantinopel untuk pertama kalinya.
Selain menjadi titik tolak kemajuan kekhilafahan Utsmani, penaklukan Konstantinopel juga mampu menginspirasi lintas generasi umat Islam setelahnya bahwa janji Allah dan Rasul-Nya selalu benar adanya.
Referensi: “BEYOND THE INSPIRATION” karya Ustadz Felix Y. Siauw
Penulis: Rusydan Abdul Hadi