Diterbitkan Prokal. co Jumat, 18 Januari 2019 07:57
PROKAL.CO, Media daring menjamur. Tapi tak akan membunuh koran. Tak membuatnya mati. Amerika Serikat membuktikannya. Juga Hong Kong dan Inggris. Dengan sajian yang kualitasnya bikin kangen, seperti yang disampaikan Ketua SPS Pusat Dahlan Iskan saat menghadiri Muscab SPS Kaltim di Samarinda kemarin.
ZAINAL Muttaqin kembali terpilih sebagai ketua SPS Kaltim periode 2019-2022. Didaulat secara aklamasi. Tokoh SPS Pusat, Dahlan Iskan dan Ahmad Djauhar hadir.
Dengan tema Pers Bermutu, Inovatif, dan Profesional, Muscab SPS Kaltim diharapkan bisa menjawab beragam tantangan dan persoalan media ke depan. Zainal mengutarakan bahwa yang mengemuka adalah semangat untuk mendorong media online bergabung di SPS.
Sebab utusan peserta, yaitu pengurus pusat, cabang, pimpinan atau pengelola surat kabar, tabloid dan majalah se-Kaltim dan Kaltara. Hadir pula pengelola media online.
Dalam penyampaian sore itu. Dahlan membahas kualitas koran serta persoalan organisasi SPS. Sedangkan Djauhar menyoal media abal-abal.
“Media yang tidak mengikuti aturan. Abal-abal. Merugikan pers yang menjunjung tinggi jurnalisme. Itu yang dilawan Dewan Pers saat ini,” sebut pria yang juga menjabat ketua harian SPS Pusat dan wakil ketua Dewan Pers tersebut.
“Pada 2014, oplah koran nasional sembilan juta eksemplar per hari. Saat ini, tersisa sekitar enam juta eksemplar per hari. Turun drastis,” lanjut Djauhar. Dia berharap ada benang merah, khususnya peningkatan kualitas media. Menurutnya, koran adalah karya intelektual, membuatnya tidak mudah dan murah.
Koran tak akan mati dengan kehadiran media online. Yang sangat mungkin membunuh koran, kata Dahlan Iskan, ada dua; pemegang saham dan harga kertas.
Kertas adalah komponen utama penerbitan koran. Harganya terus naik. Nyaris 100 persen saat ini dari Rp 7 ribu per kilogram menjadi Rp 13 ribu per kilogram. Penyebabnya, pabrik kesulitan bahan baku. Kertas koran tidak terbuat dari kayu atau pulp. Tetapi dari sampah koran pertama.
Penurunan oplah, membuat bahan baku pembuatan kertas terus berkurang. Pabrik kertas menaikkan harga. Imbasnya ke penerbitan koran. Oplah turun lagi. “Begitu terus siklusnya. Berputar. Terjadi di masa sekarang dan akan datang,” kata Dahlan.
Sebab itu, pada konferensi SPS bulan depan, Dahlan berharap bisa menemukan bahan baku pembuatan kertas yang baru. Tak lagi bergantung pada sampah koran pertama. Bisa dari plastik. Yang mirip kertas. Atau kain. Yang juga mirip kertas. Serikat Perusahaan Pers diharapkan mampu menemukan solusi.
Dahlan juga mengungkapkan filsafat organisasi. Yang merupakan wadah di mana kepentingan bersama diperjuangkan. “Dunia koran pun sudah terbagi dalam kelompok-kelompok. Apakah keberadaan SPS masih relevan? Menurut saya tidak,” kata Dahlan. “Bagaimana bisa satu organisasi menampung keperluan yang berbeda-beda?” tanyanya lagi.
Dia menyebut, koran di Amerika, Hong Kong, dan Inggris sangat eksis. Tidak mati. Dengan kualitas luar biasa bagus. “Saya baca versi online. Sehingga kita kangen kalau tidak baca,” ujarnya.
Paling utama adalah kualitas. Siapa mau eksis, kualitas harus baik. “Nomor satu kualitas, dua kualitas, tiga kualitas, empat juga kualitas! Nomor lima baru hal lain. Itu yang akan saya bahas di konferensi (SPS Pusat) nanti,” jelas Dahlan.
Mengenai potensi ke depan apakah bisa memiliki mutu baik, dia tidak menjawab lugas. Menurutnya, koran adalah alat perjuangan. Wartawan pejuangnya. Ciri pejuang adalah tidak terlalu mempertimbangkan kesejahteraan, justru memperjuangkan sesuatu. Si lemah, si miskin, si tertindas, diperjuangkan. Tantangan saat ini, yaitu menurunnya jiwa perjuangan tersebut.
Lingkungan kerja, persaingan pendapatan atau gaji, dan hal yang bersifat duniawi juga tantangan yang menggerus sifat pejuang. “Kalau saya mengamati koran-koran, apakah juga semakin bagus? Saya belum bisa ambil kesimpulan,” sebut mantan menteri BUMN era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu.
Diungkapkan, kualitas berangkat dari perjuangan. Jika nilai-nilai perjuangan menurun, atau bahkan cenderung tidak ada pada jiwa wartawan, sulit meningkatkan kualitas sajian. Dorongan meningkatkan kualitas muncul dari nurani terdalam.
“Sekitar tiga bulan lalu saya pernah kemukakan di depan SPS pusat. Ada teori tipping point.Bahwa mungkin kita sulit untuk memperbaiki sesuatu jika belum rusak parah. Belum cukup alasan untuk memperbaiki karena hanya kerusakan sepele,” ulasnya.
Sehingga tidak terjadi perbaikan mendasar. Kerusakan belum parah. Jika nanti sudah rusak parah menuju hancur, baru sadar ternyata perlu perbaikan dari awal. Itulah tipping point. Saat tercapainya pada masa kritis, ambang batas, titik pergolakan. (dwi/k15)
BACA JUGA