Oleh: Beggy Rizkiansyah (kolumnis Kiblat.net)
suarakaltm.com – Bencana itu terjadi pada gadis pembawa bendera. Siang itu ia berjalan kaki sejauh 1,5 km dari sepulang sekolah menuju rumahnya. Yuyun, 14 tahun hendak mencuci bendera merah putih di rumahnya sebagai persiapan upacara hari senin di sekolahnya, SMPN 5 Padang Ulak Tanding, Bengkulu.
Di tengah perjalanan melewati kebun karet, 14 pemuda mencegatnya. Ia kemudian dipukul kayu dan diperkosa oleh belasan pemuda tersebut hingga tewas. Sebelum peristiwa berlangsung, pemuda belasan tahun itu mengumpulkan uang untuk berpesta tuak.
Di Jakarta, kita tentu masih ingat bagaimana penyair Sitok Srengenge yang menghamili mahasiswi Universitas Indonesia dan melakukan pelecehan seksual pada mahasiswi asal bandung. Modusnya sama, melalui minuman keras. Ia menawarkan dan mencekoki minuman keras pada korbannya.
Alkohol memang bukan penyebab satu-satunya tindak kriminal. Namun tak dapat dipungkiri, pelaku kriminal terbiasa meminum alkohol sebelum melakukan tindak kriminal agar lebih percaya diri. Lebih menyedihkan lagi kriminalitas dipicu minuman keras ini marak dikalangan pemuda, entah itu minuman beralkohol tradisional ataupun minuman beralkohol bermerek (legal).
Nyatanya, studi di Inggris menyebutkan bahwa industri minuman beralkohol memang menyasar pangsa pasar muda. Industri ini menyasar anak muda dan memberikan citra dalam iklan mereka bahwa minum-minuman beralkohol akan membawa teman dan kesenangan.
Wayne D. Hoyer dan Deboran J. Maclinis (2009) dalam Consumer Behaviourmenilai Iklan minuman beralkohol memberikan kesan positif dan minum-minuman beralkohol adalah perbuatan yang pantas dan positif. Dan terpenting semakin mereka mengenal produk ini maka semakin mereka akan condong untuk mengkonsumsinya.
Di Indonesia misalnya, Industri minuman beralkohol seperti produsen Bir Bintang (PT. Multi Bintang Indonesia) mengeluarkan produk minuman 0% alkohol yang bermerek “Bintang Zero.” Minuman ini menyasar anak muda perkotaan. Jika menilai produk ini dari sisi kandungan (bahan baku) semata, minuman ini bisa jadi memang tak beralkohol. Namun penilaian kita harus melampaui aspek tersurat semata.
Pemakaian merek “Bintang” bukan tanpa alasan. Menurut pihak Multi Bintang Indonesia, merek “Bintang” disebabkan awareness terhadap merek “Bintang” cukup tinggi dan dipersepsikan memiliki kualitas tinggi.
Hal ini tentu saja absurd. Merek Bintang sudah sangat identik dengan alkohol. Pengamat branding, Simon Jonatan menilai merek Bintang tetap dipakai karena sejak 1999 semua produk alkohol dilarang beriklan. Jika lama tak diiklankan, potensi produk akan menurun. Maka Bintang Zero dipakai sebagai bridging(jembatan) untuk mengenalkan kebesaran Bir Bintang.
“MBI punya bir Bintang dan sekarang mengeluarkan soft drink. Namun, lebih dari itu, tujuan utamanya adalah agar mereka bisa beriklan. Bir Bintang beriklan melalui Bintang Zero. Logikanya, kalau ada Bintang zero alkohol, berarti ada yang beralkohol. “Harapannya, bir Bintangnya naik,” terang Simon Jonatan.
Mendekatkan bir di persepsi anak muda memang tantangan bagi industri miras. Di negeri mayoritas muslim, Bir identik dengan keharaman. Maka persepsi ini dikalangan masyarakat muda perlu diubah, agar tidak lagi resisten terhadap bir. Hal itu dilakukan dengan memakai produk yang lebih halus seperti 0% alkohol.
Menurut data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan tahun 2018, 3,3% penduduk Indonesia usia di atas 10 tahun mengonsumsi minuman beralkohol (miras). 38,7% mengonsumsi miras tradisional dan 29,5% mengonsumsi bir. Angka tertinggi ada di Sulawesi Utara, NTT, Bali, Gorontalo dan Maluku yang diatas 10%. Khusus di DKI, angkanya berada di bawah 5%. (Riskesdas Kementerian Kesehatan : 2018)
Meski demikian, di DKI, menjadi satu daerah terpenting dalam persoalan minuman keras. Di Jakarta, kaum muda cenderung bebas mengonsumsi minuman keras. Tempat-tempat ngebir seperti Beer Garden menjamur di berbagai tempat di Jakarta. Ada 4 cabang di Jakarta. Pada Ramadhan 2018, meski dilarang, Beer Garden Kemang bahkan tetap beroperasi pada bulan suci umat Islam sehingga dipaksa tutup oleh Satpol PP DKI.
Konsumsi miras di kalangan anak muda memang menjamur bahkan hingga ke minimarket. Beberapa tahun lalu, di teras minimarket waralaba seperti 7 Eleven(Sevel) bukan pemandangan aneh melihat anak-anak muda berkumpul sambil nge-bir.
Menteri Perdagangan Rachmat Gobel kemudian mengeluarkan Peraturan lewat Permendag Nomor 6 tahun 2015 yang melarang penjualan minuman beralkohol di minimarket. Peraturan tersebut menjadi salah satu faktor bangkrutnya minimarket waralaba tersebut.
Sikap politik pemerintah terhadap peredaran minuman keras memang sangat dibutuhkan. Sulit berharap dari kesadaran masyarakat semata mengingat lihainya industri minuman keras menggarap calon konsumen mereka, terutama ke pasar anak muda.
Di Jakarta, political will Gubernur DKI Anies Baswedan membawa angin segar. Pemerintah DKI berencana menjual saham mereka di PT Delta Djakarta, Tbk. Pemprov DKI memang memiliki 26,25% saham Delta Djakarta (setelah digabung dengan saham yang dimiliki Badan Pengelola Investasi dan Penyertaan Modal DKI Jakarta).
PT Delta Djakarta, Tbk adalah produsen dari bir merek Anker dan distributor merek bir asing seperti Carlsberg dan San Miguel. Mayoritas saham dimiliki oleh San Miguel Malaysia (58,33%).
Awalnya perusahaan ini didirikan tahun 1932 oleh seorang berkebangsaan Jerman. Kepemilikan kemudian berubah kebangsaan, menjadi milik Belanda dan bersalin menjadi NV De Oranje Brouwerij. Pada tahun 1967, sejalan dengan program nasionalisasi perusahaan bir itu diserahkan kepada Pemerintah DKI. Lalu bersalin namanya menjadi PT Delta Djakarta tiga tahun kemudian. Tahun 1984, perusahaan itu melantai di bursa saham.
Kiprahnya di bursa saham memang tidak jelek. Sejak 2015 hingga 2018 sahamnya berada di kisaran 5000-an rupiah per lembar. Laba bersih yang raup pada 2018 sebesar 232 miliaran rupiah. Secara finansial memang DKI diuntungkan dengan saham yang dimiliki. Namun persoalan menjalankan pemerintahan bukan persoalan untung rugi seperti swasta.
Aspirasi masyarakat, dampak sosial dan tujuan pembangunan menjadi penentu. Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI memberikan jawaban yang menarik. Menurutnya,
“Saya belum pernah mendengar sedikit pun yang bisa menunjukkan argumen bahwa memproduksi minuman beralkohol bagian dari pembangunan.”
Ia kemudian menegaskan garis politiknya. Uang negara wajib digunakan untuk program pembangunan. Karena itu dibentuk BUMN dan BUMD untuk mengerjakan proyek pembangunan yang dibiayai negara. Dia menolak uang negara diinvestasikan pada perusahaan yang tak memiliki aktivitas pembangunan. (Tempo.co, 20 maret 2019)
“Karena itu berkali-kali saya katakan, pemerintah seharusnya memikirkan produksi air bersih bukan air beralkohol,” kata Anies dalam sambutannya di Musrenbang Jakarta Utara di kantor Wali Kota Jakarta Utara, Selasa, 19 Maret 2019. (Tempo.co, 20 maret 2019)
Sejauh ini Anies memang konsisten pada politik air di Jakarta. Setelah berusaha mengambil kembali hak pengelolaan air di Jakarta dari swasta. Hasil penjualan saham sebesar 1,2 triliun dikabarkan akan dipakai untuk pemasangan pipa air yang baru.
Satu poin penting yang tak bisa dilupakan adalah industri miras meski sangat menguntungkan, amat rentan terhadap berbagai kebijakan. Menjalankan bisnis produk haram di tengah masyarakat Muslim membuat mereka amat bergantung pada kebijakan penguasa yang ramah.
Dijualnya saham Pemprov DKI di PT Delta Djakarta akan menjadi simbol tak lagi berpihaknya pemerintah pada industri ini. Hal ini tentu saja menggusarkan bukan hanya PT Delta Djakarta, tetapi juga industri miras ini secara keseluruhan.
Hanya saja, seperti upaya perang terhadap swastanisasi air yang dihadang Menteri Keuangan Sri Mulyani, pada proses penjualan saham ini menghadapi tantangan tak ringan. Beberapa pihak di DPRD DKI menolak upaya penjualan saham tersebut.
Penolakan datang dari dua partai di DPRD DKI, yatu Partai Nasdem dan PDIP. Keduanya senada, mempersoalkan keuntungan finansial yang akan ditinggalkan DKI jika saham tersebut dijual. Bestari Barus dari Nasdem misalnya, mengatakan
“Mengapa dijual? Saya sebagai anggota DPRD tidak setuju. Kalau mau jual itu perusahaan yang tidak sehat. Banyak di pemda itu perusahaan mati. Kalau yang sehat, ngapain (dijual)?”
Begitu pula Gembong Warsono, Ketua Fraksi PDIP DRPD DKI Jakarta. Menurutnya alasan Pemprov DKI tidak logis. Namun hambatan paling berat datang dari Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetio Edi Marsudi dari PDIP. Menurutnya,
“Dikatakan setahun dapat Rp 50 miliar, terus mau dijual Rp 1 triliun. Kita makan riba, itu buat saya. Saya sebagai orang muslim, ya mohon maaf ya, lebih jahat riba daripada orang minum bir.”
Sikap Prasetio Edi ini memang mengherankan. Pada tahun 2015, mantan Manajer Bengkel Cafe milik Taipan bernama Aguan ini hendak membatasi jam operasi diskotek. Menurutnya pembatasan jam operasi efektif mengurangi penyalahgunaan narkotika dan minuman beralkohol.
Ia juga menjelaskan minimarket menjadi tempat penjualan miras yang dikonsumsi anak-anak. “Saya bisa kasih satu contoh soal usaha yang ada minumannya. Contoh (Prasetyo menyebut sejumlah minimarket), saya suruh stop karena korban anak-anak. Saya sebagai wakil rakyat prihatin. Saya melihat anak-anak SD, SMP, SMA umur 15 tahun itu minum sampai tengah malam,” jelasnya kala itu.
Lantas mengapa sikap Prasetio Edi saat ini kontradiktif dengan menolak penjualan saham bir DKI? Bagaimana mungkin ia ingin membatasi penjualan miras di satu sisi, dan di lain sisi ia mendukung pemprov untuk menanam uang di pabrik miras? Bukankah ia paham bahwa industri miras jelas terpukul dengan aturan pembatasan penjualan yang didukungnya? Sehingga industri itu mencoba menyiasati pasar dengan menciptakan produk untuk anak muda?
Apalagi saat ini PT Delta Djakarta, Tbk adalah pemain nomor dua indsutri miras terbesar di Indonesia setelah PT Multi Bintang Indonesia. Bagaimana mungkin ia mendukung pemain besar sekaligus ingin membatasi gerak industri tersebut. Ada apa di balik penolakan saham bir ini?
Satu hal yang pasti, anggota DPRD seharusnya menjadi penyambung lidah rakyat di parlemen DKI. Anies Baswedan adalah gubernur yang dipilih lebih dari separuh rakyat DKI dalam pilgub silam. Dan salah satu janjinya yang didukung rakyat adalah penjualan saham tersebut. Amat aneh jika sebagai anggota DPRD, jika melawan aspirasi rakyat yang diusung Anies Baswedan.
Maka pertanyaan kita saat ini, jika bukan penyambung lidah rakyat, maka lidah siapa yang hendak diwakilkan para anggota DPRD pro minuman keras tersebut? Haruskah kita menunggu tragedi seperti Yuyun dan korban-korban Sitok lagi agar mereka berubah pikiran?